Pemikiran
KH Muhammad Hasyim Asy'ari
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
|
REPUBLIKA,
13 Februari
2018
KH
Muhammad Hasyim Asy’ari (14 Feb 1871-25 Juli 1947) adalah guru para kiai,
khususnya di Jawa. Karisma dan pengaruhnya tetap langgeng sampai hari ini.
Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan (1 Agustus 1868-23 Juli 1923) adalah
sahabatnya yang sama-sama pernah berguru pada Kiai Saleh Darat Semarang dan
pada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Kiai Hasyim beruntung bisa
mengalami Indonesia merdeka, sementara Kiai Dahlan wafat dalam usia yang
relatif muda.
"Resonansi"
ini akan mencoba membicarakan pemikiran Kiai Hasyim tentang ideologi berbangsa
dan bernegara, sesuatu yang tidak mudah, karena harus dirakit dari berbagai
pernyataan dan sikapnya yang patriotik, baik saat menghadapi penjajah Belanda
maupun ketika berhadapan dengan kekuasaan Jepang di Indonesia. Karya-karya
tulisnya dalam bahasa Arab tidak banyak berbicara tentang ideologi kebangsaan
dan kenegaraan.
Jika
dilihat dari rentang waktu perjalanan hidupnya, Kiai Hasyim muda selama 25
tahun berada dalam rahim abad ke-19, suatu abad yang merupakan puncak
cengkeraman kolonialisme dan imperialisme Eropa, termasuk penjajahan Belanda
di Indonesia. Jika kacamata AJ Toynbee kita pakai, abad itu adalah di antara
yang terberat menimpa sebagian besar dunia Muslim yang hampir seluruhnya
jatuh ke tangan kekuasaan Eropa.
Menurut
Toynbee, Barat sudah sejak akhir abad ke-16 berkat penaklukan lautan telah
memasang tali laso ke leher umat Islam dan tali itu ditarik pelan-pelan agar
umat ini tercekik. (Lihat AJ Toynbee,
Civilization on Trial and the World and
the West. Cleveland and New York: The World Publishing Company, 1963, hlm 248).
Tetapi, sebelum tujuan jahat itu menjadi kenyataan, pada abad ke-19 umat
Islam mulai tersentak dari tidur nyenyaknya. Tali lasso yang berada di
lehernya dilepaskan secara berangsur, sekalipun sistem penjajahan baru
berakhir pada pertengahan abad ke-20.
Kelahiran
Kiai Hasyim adalah dalam situasi global yang menghina itu, saat Barat memang
mau menghancurkan umat Islam secara keseluruhan. Dan, itu pulalah yang
dilakukan Belanda di Indonesia. Maka, tidak mengherankan patriotisme Kiai
Hasyim telah tertanam sejak usia muda, dan semangat antipenjajahan ini
bertahan sampai hari tuanya. Belanda dengan berbagai cara berupaya
membujuknya agar semangat antipenjajahan Kiai Hasyim bisa melunak, tetapi
malah semakin menguat.
Bagi
Kiai Hasyim, sistem penjajahan wajib dilawan dengan segala kekuatan,
sekalipun tidak mudah karena umat Islam hidup dalam iklim perpecahan yang
parah. Kiai Hasyim amat risau dan resah menghadapi perpecahan umat Islam yang
menjadi penyebab utama dari kelumpuhan dan kehancurannya. Diberitakan pada
1937, seorang utusan Belanda menemui Kiai Hasyim untuk diberi Bintang Jasa
Perak dan Emas, tetapi rayuan ini tidak mempan. Inilah pernyataan Kiai Hasyim
kepada para santrinya:
Sepanjang
keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika dipanggillah
Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberi tahu bahwasanya pemerintah
jahiliyah di Makkah telah mengambil keputusan menawarkan tiga hal untuk Nabi
Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang berlimpah; dan 3)
gadis yang cantik.
Akan
tetapi, Baginda Nabi Muhammad menolak ketiga-tiganya itu dan berkata di
hadapan kakeknya, Abdul
Muthalib: “Demi Allah, umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di
tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti
berjuang, aku tidak akan mau. Dan, aku akan berjuang terus sampai cahaya
Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur lebur menjadi korban.”
Maka,
kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani Baginda Nabi Muhammad SAW
dalam menghadapi segala persoalan. (Lihat Fathoni dalam medsos, "Pesan
Kiai Hasyim Asy’ari saat Menolak Bintang Jasa dari Belanda", 30 Juli
2017). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar