Minggu, 17 Januari 2016

Terorisme dan Ancaman Keindonesiaan

Terorisme dan Ancaman Keindonesiaan

Kacung Marijan  ;   Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 15 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DIBANDINGKAN awal 2000-an, serangkaian aksi terorisme di sejumlah daerah di Indonesia mengalami penurunan. Dibentuknya satuan khusus di kepolisian untuk mengatasi terorisme, Densus 88, pada 26 Agustus 2004 boleh dikatakan cukup efektif untuk menekan serangkaian aksi teror itu.

Di antara prestasi Densus 88 adalah penyergapan yang menyebabkan tewasnya Dr Azahari di Batu pada 9 November 2005. Juga, penyergapan yang menyebabkan tewasnya Noordin M. Top di Surakarta pada 17 September 2009.
Tewasnya dua dedengkot teroris asal Malaysia itu memang tidak menghentikan sama sekali aksi terorisme di Indonesia. Sampai sekarang, misalnya, Densus 88 belum bisa menangkap dan memotong kelompok Santoso di Sulawesi Tengah secara penuh. Tetapi, institusi tersebut telah menjadi instrumen yang sangat penting dalam menekan dan menangani terorisme dan diakui secara internasional.

Belum Mati

Meski demikian, Densus 88 dan yang terkait belum sepenuhnya mampu mengantisipasi bibit-bibit dan kemunculan terorisme secara lebih kuat. Munculnya aksi teror di depan salah satu pusat perbelanjaan modern tertua di Indonesia, Sarinah, pada 14 Januari 2016 pagi menunjukkan bahwa terorisme masih merupakan bahaya laten yang harus terus diwaspadai. Aksi itu tidak hanya menjadi ancaman serius keamanan dan ketertiban, tetapi juga ancaman bagi keindonesiaan kita.
Aksi terorisme semacam itu memiliki perbedaan dengan aksi terorisme yang pernah terjadi di Papua dan Aceh, misalnya. Di dua wilayah tersebut, aksi terorisme yang pernah dilakukan lebih diarahkan sebagai upaya memperoleh kemerdekaan dari Indonesia. Sementara itu, serangkaian aksi terorisme yang dilakukan para teroris yang terkait dengan ideologi transnasional lebih diarahkan pada perlawanan dan peperangan terhadap negara dan kekuatan internasional yang dalam pandangan mereka dianggap jauh dari tatanan nilai-nilai ketuhanan.
Upaya melakukan penekanan dan perang terhadap kelompok teroris yang bercorak transnasional itu memang gencar dilakukan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Pemerintahan Afghanistan yang dikendalikan Taliban telah dihancurkan dan digulingkan. Kantong-kantong teroris transnasional di berbagai negara juga dihancurkan.
Namun, seperti yang kita ketahui, ideologi garis keras yang ada di belakang aksi-aksi teror itu belum mati. Setelah kelompok Al Qaeda dan jaringannya digempur habis-habisan, belakangan muncul ISIS (Negara Islam Iraq dan Syria/Syam). Yang terakhir ini memang memiliki tujuan menguasai dan mendirikan negara di wilayah Iraq dan Syria. Tetapi, pengikut kelompok yang banyak digerakkan paham ekstremis jihadis Salafi-Wahabi tersebut juga memiliki pengikut dari berbagai negara dan hendak mendirikan format negara serupa di wilayah masing-masing.
Tidaklah mengherankan, pengikut ISIS juga berasal dari Indonesia. Ditengarai, dalam beberapa tahun terakhir ini, mereka aktif melakukan perekrutan, baik dengan maksud untuk melakukan aksi jihad di Syria maupun mengembangkan ideologi serupa di Indonesia.
Keindonesiaan
Belum diketahui secara pasti apakah aksi di Sarinah itu dilakukan anggota dan simpatisan ISIS ataukah kelompok lain. Terlepas dari itu semua, aksi tersebut merupakan aksi serius bagi eksistensi keindonesiaan.
Pertama, para penganut ideologi transnasional itu bermaksud mendekonstruksi bangunan negara Indonesia yang bercorak kebangsaan menjadi negara yang didasarkan pada konstruksi negaraagama bertafsir tunggal. Dikatakan bertafsir tunggal karena kelompok tersebut tidak membenarkan tafsir Islam lain selain tafsir yang ada di kelompok mereka.
Kedua, sebagai implikasi dari tafsir dan cita-cita semacam itu, konstruksi negara-bangsa Indonesia yang dibangun atas prinsip-prinsip keberagaman yang tersatukan atau Bhinneka Tunggal Ika, dalam pandangan mereka, juga harus dihancurkan.
Dalam konstruksi semacam itu, aksi terorisme jelas tidak hanya lawan Densus 88 dan aparat keamanan. Terorisme dengan konstruksi ideologi semacam itu merupakan ancaman bersama bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia.
Yang perlu kita lakukan, dengan demikian, bukan hanya penekananpenekanan terhadap para teroris, seperti melakukan penangkapanpenangkapan. Melainkan juga memangkas akar bagi tumbuh kembangnya ideologi radikal semacam itu.
Berkaca pada beragam teori tentang munculnya terorisme, upaya semacam itu memang tidak sederhana. Terorisme bisa terjadi karena faktor-faktor psikologis sampai faktor-faktor sosial. Faktorfaktor psikologis tidak mudah diatasi karena lebih bercorak individual dan membutuhkan terapi yang bercorak individual pula. Tetapi, faktor-faktor sosial biasanya relatif lebih mudah dirumuskan penanganannya.
Secara sosial, terorisme itu, misalnya, muncul ketika ada ketidakadilan yang menguat dan bercorak masif. Ketidakadilan itu, seperti ketimpangan sosial dan ekonomi, acap kali dijadikan rujukan untuk menanamkan perlawanan dan ideologi kekerasan kepada pengikutpengikut. Ketimpangan tersebut semakin memperoleh pembenar ketika mendapati realitas bahwa yang banyak memperoleh keuntungan dari ketidakadilan itu adalah orang-orang yang dipandang ’’kafir’’ tersebut.
Upaya mengurangi terorisme di Indonesia, dengan demikian, tidak bisa dilepaskan dari konteks bagaimana menata keadilan sosial yang ada di negara kita. Dengan demikian, yang perlu kita gembar-gemborkan bukan sekadar bagaimana mempertahankan negara Indonesia yang beragam, tetapi juga negara Indonesia yang beragam dan berkeadilan sosial. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar