Bidah Pola Perang Para Teroris
Masdar Hilmy ; Wakil Direktur Pascasarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 15 Januari 2016
TEROR kembali
mengguncang Jakarta. Setelah bom di depan Kedutaan Australia (2004) dan bom
Kuningan (2009), kemarin giliran Jl MH Thamrin, tepatnya di depan Gedung
Sarinah dan kedai kopi Starbucks, menjadi target pengeboman para teroris.
Akibatnya,
tujuh nyawa melayang dan belasan lainnya luka-luka. Apa pun motif dan
alasannya, terorisme merupakan tindakan keji yang tidak patut ditoleransi
karena berlawanan dengan ajaran agama mana pun di jagat ini.
Aparat telah
mengonfirmasi, ISIS (Islamic State of
Iraq and Syria) menjadi dalang di balik peristiwa tersebut. Itu berarti
ISIS benar-benar telah ’’menepati janjinya’’ untuk menyerang Indonesia. Lebih
dari itu, serangan tersebut mengirimkan sinyalemen eksistensi ISIS di negeri
ini.
Sebagaimana
pernah diberitakan, ISIS sebenarnya telah menebarkan ancaman kepada 70
negara, termasuk Indonesia, sebagai target serangan pasca serangan Paris
(14/11/2015). Kutipan berikut seperti yang dirilis kantor berita AFP
(11/9/2015) menggambarkan ancaman tersebut.
’’Apa yang,
misalnya, mencegah seorang jihadis menargetkan... komunitas di Dearborn,
Michigan, Los Angeles, dan New York City? Atau menargetkan misi-misi
diplomatik Panama di Jakarta, Doha, dan Dubai? Atau, menargetkan misimisi
diplomatik Jepang di Bosnia, Malaysia, dan Indonesia? Atau, menargetkan para
diplomat Saudi di Tirana, Albania, Sarajevo, Bosnia, dan Pristina, Kosovo?’’
Jihad Bidah
Sudah
selayaknya aparat negara mengambil peran afirmatif dalam rangka menjamin
keamanan dan keselamatan seluruh warga negara dari serangan teroris.
Sikap
ekstrawaspada terhadap ancaman terorisme menjadi penting karena pola
kekerasan para teroris tidak mengadopsi pola konvensional. Namun, meminjam
istilah Bassam Tibi (2002), disebut irregular war, ’’perang tidak teratur’’.
Jika dalam
urusan ideologi atau paham keagamaan para teroris cenderung
konvensional-konservatif, tidak demikian halnya dalam perang. Dalam hal ini,
para teroris cenderung menerapkan bidah (inovasi) dalam mengembangkan pola
perang yang tidak konvensional.
Bidah pertama,
perang dilancarkan kepada semua pihak yang dipersepsi ’’musuh’’. Baik ’’musuh
dekat’’ (al’aduww al-qarib) seperti
aparat keamanan maupun musuh jauh (al’aduww
al-ba’id) seperti AS dan Barat, militer maupun sipil.
Dalam
terminologi keagamaan klasik, perang hanya dilancarkan terhadap kombatan atau
militer. Sementara itu, warga sipil –terutama perempuan, anak-anak, dan orang
tua– tidak termasuk dalam pihak yang diperangi.
Bidah kedua,
perang tidak dilancarkan oleh lembaga yang paling otoritatif, yakni kepala
negara. Perang dilancarkan secara semenamena oleh individu teroris yang tidak
memiliki otoritas formal atau keagamaan apa pun. Dalam tradisi pemikiran
keagamaan klasik, hanya kepala negaralah yang berhak menyatakan negara dalam
keadaan perang.
Bidah ketiga,
perang dilancarkan tidak di medan perang (dar
alharb), tetapi di negeri yang damai (dar
al-salam) seperti Indonesia. Artinya, perang itu ada tempatnya. Serangan
teroris terhadap pusatpusat keramaian di ruang publik, apa pun motif dan
dalihnya, menyalahi kaidah perang yang benar.
Bidah keempat,
para teroris menggunakan cara-cara naif menuju kebinasaan diri seperti bom
bunuh diri. Sekalipun para teroris memiliki justifkasi teologis soal bom
bunuh diri melalui doktrin istisyhad
(mati syahid), jumhur ulama melarangnya karena hal itu bertentangan dengan
semangat memelihara kehidupan. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh al-Jihad
(2009) termasuk ulama yang mengecam penggunaan bom bunuh diri.
Bidah kelima,
para teroris cenderung memaknai jihad sebagai perang fisik (qital) yang dilakukan melalui ’’pintu
belakang’’ (irhabi). Sementara itu,
pemaknaan jihad yang lebih universal dan generik sebagai perang melawan hawa
nafsu atau jihad damai dianggap tidak absah secara teologis karena telah
dinaskh (dihapus) oleh jihad qital.
Solusi Menyeluruh
Untuk mencegah
dan mengatasi aksi terorisme, tidak ada cara lain kecuali melakukan aksi menyeluruh
mulai hulu hingga hilir. Di tingkat hulu, program deradikalisasi dilakukan
melalui upaya dekonstruksi dan delegitimasi paham-paham keagamaan yang dapat
mengarah pada aksi terorisme. Hal itu bisa dilakukan institusi-institusi yang
punya otoritas keagamaan seperti MUI serta ormas-ormas keagamaan seperti NU
dan Muhammadiyah.
Sementara itu,
di tingkat hilir, program deradikalisasi dilakukan melalui pendekatan
keamanan (security approach) dan
penegakan hukum terhadap para teroris. Harus diakui, penerapan pendekatan
keamanan oleh Densus 88 sering menimbulkan antipati dan dendam di kalangan
teroris. Karena itu, pendekatan keamanan idealnya dilakukan setelah seluruh
perangkat lunak dimaksimalkan. Dengan kata lain, fungsi pencegahan (deterrence) harus lebih diutamakan
ketimbag fungsi penegakan (enforcement).
Di atas itu
semua, program-program pembangunan yang berorientasi kesejahteraan harus
benar-benar dijalankan secara konsisten dan simultan.
Sebab, kemiskinan dan berbagai
problematika sosial merupakan reservoir bagi tumbuh suburnya ideologi
radikalisme-terorisme. Barulah ketika semua itu dilakukan, negara tidak bisa
dikalahkan (lagi) oleh para teroris. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar