Reaksi
Berantai Kebudayaan
Nirwan Ahmad Arsuka ; Pemikir dan Penggiat Kebudayaan
|
KOMPAS,
04 Januari 2016
Kita memang harus
berterima kasih secara wajar kepada Ki Hadjar Dewantara dan generasinya.
Menteri pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan pertama RI-yang hari lahirnya
dijadikan hari besar nasional-ini mengabdikan hidupnya untuk kebudayaan
Indonesia agar tak telihat lagi rakyat Indonesia yang "kehilangan roh
kebangsaan merdeka dan cita-cita mereka sendiri mati".
Adukan antara keprihatinan
nasib bangsa di masa depan dan keyakinan akan keunggulan kebudayaan sendiri
yang diwarisi dari masa silam memang gampang menegakkan nasionalisme
kebudayaan. Semakin pekat unsur keyakinan akan kehebatan kebudayaan sendiri,
semakin kaku dan mengerut pula hasil adukan itu. Wacana kebudayaan kita pun
hanya diisi pokok besar pencarian identitas nasional. Dan, tentu saja,
tentang puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa
menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili
identitas bersama.
Pandangan Ki Hadjar,
yang ditopang oleh banyak pihak itu, kita tahu, meninggalkan pengaruh yang
kokoh di departemen pemerintahan yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan
hingga hari ini. Banyak yang sepakat bahwa manfaat yang kita peroleh darinya,
antara lain, adalah terus bertambahnya produk kebudayaan Nusantara yang oleh
UNESCO dinyatakan sebagai warisan dunia.
Kepemimpinan warga
Tapi, produk
kebudayaan yang dihargai dan berhenti di UNESCO, seperti halnya karya-karya
seni yang besar yang baru selesai diciptakan, memang masih berada pada tahap
antara. Agar mereka benar-benar hidup, mereka harus memasuki kehidupannya
yang kedua. Kehidupan kedua, kehidupan yang melepaskan diri dari kuasa
tunggal penciptanya, berawal ketika karya bertemu dengan dunia. Mereka itu
bukan hanya harus bisa menemui dan menggauli manusia, mereka perlu
membentur-bentur dan membentuk zaman.
Hanya lewat
perbenturan intens dengan dunia inilah produk kultural dan kreasi artistik
dapat diketahui kekuatannya yang sesungguhnya. Kekuatan yang memang pantas
dihormati itu terlihat, antara lain, pada sejauh mana mereka akhirnya bisa
menghancurkan sebuah tradisi dan membangun tradisi baru yang lebih kaya.
Produk kultural dan karya artistik yang belum merombak sebuah tradisi
sebenarnya belum pantas untuk dibangga-banggakan.
Kesadaran mendalam
tentang pentingnya produk kultural dan kreasi artistik bergaul rapat dengan
dunia masih tampak diamalkan lebih sungguh-sungguh oleh para pekerja seni dan
budaya ketimbang oleh aparat pemerintah. Pada 2015 yang baru berlalu, kembali
kita melihat para pekerja swasta itu sambung-menyambung memimpin membawa
berbagai karya seni dan budaya kita menemui dunia yang bisa dijangkau.
Sebagian besar mereka berusia muda dan beberapa di antara pekerja itu bukan
pribumi.
Jakarta dan terutama
Yogyakarta yang sudah berkali-kali menyelenggarakan biennale dan festival
seni, tahun lalu makin jauh mendatangi dan menarik publik masuk ke dalam
proses penciptaan. Di Makassar, selapis anak muda bekerja di tengah
keterbatasan menyelenggarakan biennale yang pertama di kota itu. Dengan lebih
dahulu merogoh kantong sendiri, sejumlah orang menerjemahkan puluhan karya
sastra Indonesia ke bahasa Inggris dan Jerman serta bergabung dengan rombongan
besar memenuhi undangan Pesta Buku
Frankfurt sebagai tamu kehormatan. Di banyak tempat di berbagai penjuru,
penciptaan karya dan pelibatan masyarakat juga terus mengalir.
Demokratisasi seni
untuk membawa karya kreatif menemui orang banyak dan terlibat dalam proses
pemaknaan dan penciptaan punya akar yang cukup panjang di negeri kita. Upaya
ini tentu bisa ditelusuri akarnya bukan hanya sampai ke Gerakan Seni Rupa
Baru di pertengahan dekade 1970-an. Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) yang
berdiri dua dekade lebih sebelumnya, tercatat berupaya, sekaligus merangsang
sekian pihak, untuk turun ke bawah dan membuat masyarakat luas ambil bagian
dalam kegiatan artistik dan kultural. Mereka masuk dan mengubah beberapa seni
tradisi menjadi seni progresif-revolusioner.
Dengan akar
demokratisasi seni yang sedalam ini, semestinya kehidupan kesenian dan
kebudayaan kita sudah jauh lebih semarak dari sekarang. Tentu ada banyak hal
yang bisa ditunjuk jadi penyebab belum berhasilnya berbagai mata air
penciptaan dan aneka arus demokratisasi seni menjadi aliran yang cukup besar
untuk menggerakkan turbin. Penyebab utamanya, yang bermula dari macetnya
perwujudan berbagai gagasan cemerlang, adalah belum memadainya mutu sebagian
besar pemimpin dan aparat pemerintah; berapa banyak di antara mereka yang
bisa mengatasi kebiasaan korup dan sanggup menikmati kamus, misalnya? Dari
mereka ini tentu sulit mengharapkan adanya strategi kebudayaan yang
berwawasan luas, yang mereka dukung dengan kerja sama dan komitmen yang
kokoh.
Kita memang punya
catatan tentang pejabat negara yang masa kekuasaannya membuat semarak
kehidupan kesenian dan kebudayaan. Kita selalu ingat Ali Sadikin yang membuat
Jakarta jadi begitu bergairah. Sezaman dengan itu, di Makassar ada HM
Patompo, wali kota "gila" yang juga mengubah kota di Indonesia
timur itu ramai dengan kegiatan kreatif. Selain kepala daerah, kita juga
pernah punya birokrat yang dikenang karena kerjanya yang tidak biasa. Edy
Sedyawati dan Murtidjono memang dua nama yang wajib disebut.
Mengayomi negara
Di luar sejumlah oknum
visioner itu, negara kita bagi sementara pengamat tampak seperti perenang
buta yang kadang timbul dan lebih sering tenggelam di tengah arus penciptaan
dan kebudayaan global. Perangkat pengelolaan negara kita, terutama institusi sipilnya
yang tertinggal jauh dari militer dalam hal kepercayaan publik, memang perlu
didorong untuk terus merombak diri agar makin sesuai dengan tuntutan zaman
dan mudah mengangkat pemimpin yang berpandangan jauh. Dengan bantuan revolusi
teknologi, Republik Indonesia perlu dikawal terus menjadi Rumah Kaca Baru
agar warga bisa menyidik apa yang sudah dan belum dikerjakan oleh para
pejabat dan memberikan umpan balik yang jernih dan bergairah.
Dengan pemilihan
kepala daerah langsung, kita memang telah membesar peluang mendapatkan
pemimpin yang bisa diharapkan, seperti Ahok di Jakarta sekarang atau Abdullah
Azwar Anas di Banyuwangi dan Nurdin Abdullah di Bantaeng. Selain terus
mendukung dan mendampingi mereka, kita juga perlu mendorong agar para
pengganti mereka bisa terus mempertahankan dan mengembangkan apa yang telah
dikerjakan oleh para pejabat visioner itu.
Gerakan yang dalam
sekian kasus tampak seperti "mendampingi dan mengayomi pejabat
negara" itu berjalan seiring dengan kegiatan penciptaan artistik dan
demokratisasi seni yang terus berlangsung. Para pekerja seni dan budaya yang
makin kuat aspirasi politiknya di berbagai penjuru juga jadi makin
berpengalaman menyiasati keterbatasan untuk membawa masyarakat memasuki
penciptaan, mengusahakan kehidupan kedua bagi karya.
Kegiatan para warga
itu memang akan menjadi lebih semarak jika negara terlibat mendukung. Negara
tentu tak perlu mengurusi buah kehidupan pertama kreasi artistik, tetapi
negara bisa berperan sangat besar membantu kehidupan kedua karya itu dengan
payung hukum dan politik anggaran yang memadai. Mereka yang sedang menggarap
RUU Kebudayaan hanya akan benar-benar berguna jika mereka berhasil merumuskan
UU yang berwatak progresif-kosmopolit. Membantu pembangunan dan pengembangan
berbagai ruang kegiatan yang ditopang perbendaharaan yang menyiapkan diri
menjangkau dunia jadi tujuan dasar. Seperti halnya produk pengetahuan alam
dan hayati, produk kegiatan artistik dan kultural juga akan makin panjang dan
semarak hidupnya jika didukung oleh berbagai lumbung pengetahuan dan
penciptaan.
Mengawal kehidupan bintang
Sains dan teknologi
telah merombak hubungan kita dengan dunia dan perlahan-lahan membuatnya jadi
semesta, di mana keajaiban adalah hal yang sehari-hari dan yang sehari-hari
adalah keajaiban. Seni dan kebudayaan yang mampu mengubah hubungan kita
dengan sesama manusia, juga sanggup membuat semesta yang ajaib, dengan cara
yang berbeda dari yang dilakukan oleh pengetahuan empiris. Pertautan antara
pengetahuan ilmiah dan kreasi artistik yang terus-menerus merongrong batas
itu, tentu membentangkan jagat baru yang berlimpah berkah, dengan kemungkinan
perluasan kekayaan pengalaman dan cakupan kepedulian yang senantiasa
meningkat.
Kebudayaan bergerak
dinamis bukan hanya karena banyaknya manusia yang terlibat di dalamnya,
melainkan juga karena terus bermunculannya buah akal budi yang merongrong
tradisi dan meremehkan batas-batas. Jika negara terlibat cerdas menemani
publik dan para pencipta, reaksi berantai penciptaan yang saling topang akan
lebih cepat mencapai besaran yang berdampak luas. Negeri yang sanggup
bergembira mengelola serius reaksi berantai ini akan dengan sendirinya jadi
matahari kebudayaan yang diperhitungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar