Selasa, 05 Januari 2016

Etika dan Hukum

Etika dan Hukum

  Janedjri M Gaffar  ;  Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang
                                                  KORAN SINDO, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Salah satu fenomena menarik di tahun 2015 yang baru saja kita tinggalkan adalah menguatnya perhatian dan tuntutan publik terhadap standar dan penegakan etika pejabat publik. Kesadaran tentang pentingnya etika dan penegakannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesungguhnya telah ada sejak reformasi bergulir. Hal itu setidaknya dapat dilihat dari pembentukan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara. Selain itu, sejak reformasi juga telah banyak dibentuk undang-undang yang mewajibkan adanya standar etika bagi profesi atau jabatan publik tertentu. Bahkan, dari sisi institusi juga telah terbentuk dan bekerja berbagai lembaga pengawas dan penegak etika, antara lain Komisi Yudisial, Dewan Etik Hakim Konstitusi, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, dan Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada 2015 perhatian terhadap etika semakin kuat karena terjadinya beberapa kasus pelanggaran kepatutan oleh pejabat publik yang menjadi sorotan masyarakat. Kasus-kasus itu tidak selalu dilihat dalam perspektif hukum, namun juga disorot sebagai pelanggaran etika dan kepatutan sehingga dapat saja terjadi suatu tindakan tidak termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran hukum, namun telah melanggar etika. Semakin kuatnya etika sebagai pedoman sikap dan perilaku juga ditunjukkan oleh dua pejabat publik setingkat direktur jenderal, yaitu Dirjen Pajak dan Dirjen Perhubungan Darat, yang mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban etik karena merasa gagal mengemban tugas yang diemban.

Namun, masih ada sebagian pejabat dan kalangan yang melakukan upaya pembelaan justru dengan menggunakan alasan hukum. Doktrin supremasi hukum dijadikan sebagai dasar untuk menolak tanggung jawab etik yang harus dijalankan. Hukum ditempatkan sebagai satusatunya institusi sosial yang menentukan ada tidaknya kesalahan serta satu-satunya dasar pertanggungjawaban dan penjatuhan sanksi.
Hal ini seolah menimbulkan pertentangan antara etika dan hukum. Bahkan, pada saat terdapat putusan yang bertentangan dapat menggerus legitimasi etik dari ketentuan hukum yang akan semakin memperkecil ketidakpercayaan publik kepada hukum.

Antara Etika dan Hukum

Etika dan hukum tidak mungkin saling bertentangan. Prinsip ini dapat dilacak secara genealogis dari sisi filsafat. Keduanya merupakan pedoman perilaku manusia sekaligus instrumen sosial untuk mewujudkan tertib kehidupan bermasyarakat yang lahir dari pemikiran dasar tentang manusia dan kemanusiaan. Sebagai pedoman perilaku, etika bersumber dari ajaran-ajaran tentang kebenaran dan standar perilakumanusia yang benar. Dari sinilah lahir etika yang merupakan filsafat perilaku manusia. Sebagai cabang dari filsafat, tentu saja isi dari filsafat perilaku bersifat sangat abstrak dan subjektif.

Untuk menjadikan pedoman perilaku, etika dapat dijadikan sebagai instrumen kontrol dalam membentuk kehidupan tertib sosial. Etika diturunkan menjadi norma hukum yang dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan. Penormaan dan pemositifan dilakukan dengan tujuan dapat terumuskan kaidah yang penegakannya dapat dilakukan secara objektif sehingga dapat menjadi ukuran oleh semua orang.

Mengingat hukum diturunkan dari etika, maka dapat dipastikan bahwa semua pelanggaran hukum adalah pelanggaran etika. Sebaliknya, karena tidak semua kategori perilaku yang benar dapat diformulasikan dalam unsur perilaku yang objektif, tidak semua pelanggaran etika adalah pelanggaran hukum. Etika lebih melihat pada motif, kehati-hatian, dan kepatutan yang sudah seharusnya menjadi pertimbangan pilihan tindakan, apalagi bagi pejabat publik.

Keberadaan hukum tidak menghilangkan fungsi etika sebagai pedoman perilaku dan instrumen kontrol sosial. Bahkan dalam perkembangannya etika semakin dibutuhkan untuk meringankan kerja hukum, yaitu untuk mencegah dan sebagai deteksi dini adanya potensi pelanggaran hukum. Dari perspektif ini, penegakan etika, khususnya untuk profesi atau jabatan publik, tidak lagi dapat ditinggalkan sebagai urusan internal profesi atau jabatan publik tertentu. Tanpa adanya pelembagaan penegakan etika, hubungan dan tindakan profesi dan jabatan yang semakin kompleks tidak mungkin dapat dikontrol dari sisi etik.

Pelembagaan Penegakan Etika

Karena itu, kita membutuhkan peningkatan pelembagaan penegakan etika untuk mendukung penegakan hukum. Setidaknya ada empat bentuk pelembagaan penegakan etika yang diperlukan.

Pertama, walaupun etika bersifat abstrak dan subjektif dalam bentuk kategori perilaku yang dianggap benar, namun saat ini diperlukan penormaan etika dalam bentuk kode perilaku yang memungkinkan menjadi acuan bagi pelaku maupun institusi penegak etika. Tentu saja penormaan ini berbeda dengan norma hukum yang bersifat formal dan tertutup. Kode perilaku disusun dalam bentuk prinsip atau nilai yang harus dipedomani disertai dengan uraian perilaku yang harus dilakukan sebagai wujud dari prinsip atau nilai itu. Pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku tidak ditentukan semata-mata oleh apakah suatu tindakan memenuhi unsur perilaku yang ditentukan, tetapi oleh penilaian wajar apakah suatu tindakan sesuai atau merugikan dan bertentangan dengan prinsip atau nilai yang ditentukan.

Kedua, sifat abstrak dan subjektif dari etika dan kode perilaku memberikan peran besar terhadap siapa pun yang bertugas sebagai anggota lembaga penegak etika. Anggota lembaga penegak etika berbeda dengan penegak hukum yang spesifik harus memiliki latar belakang pendidikan hukum. Anggota lembaga penegak etika dapat berasal dari latar belakang pendidikan apa pun, asal memiliki legitimasi etik yang tinggi. Legitimasi ini tidak hanya dibuktikan dengan putusan formal tidak pernah melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum, tetapi dari keseluruhan perjalanan hidup yang diakui oleh masyarakat.

Ketiga, agar dapat memilih figur yang benar-benar memiliki legitimasi etik tinggi dan tidak mudah diintervensi, lembaga penegak etika harus dibentuk sejak awal sebelum suatu dugaan pelanggaran etika terjadi. Artinya, lembaga ini bersifat tetap. Keanggotaan tidak boleh ditutup hanya dari internal suatu profesi atau jabatan tertentu karena dapat terpeleset menjadi lembaga melindungi rekan sejawat. Keanggotaan hanya dari internal juga mengingkari pandangan bahwa anggota lembaga penegak etika harus memiliki legitimasi etik yang tinggi terlepas dari latar belakang pendidikan dan profesi.

Keempat, keberadaan lembaga penegak etika hanya akan efektif apabila putusannya dipatuhi. Karena itu, putusan lembaga penegak etika harus bersifat final dan mengikat. Putusan lembaga penegak etika bukan merupakan putusan tata usaha negara yang dapat diajukan upaya hukum. Putusan lembaga penegak etika juga berbeda dengan putusan pengadilan karena hanya dapat menjatuhkan sanksi maksimal pemberhentian. Dengan sendirinya terhadap suatu tindakan yang telah diputus oleh lembaga penegak etika, tetap dapat diproses secara hukum. Bahkan ketika putusan hukum menyatakan tidak bersalah, tidak mengganggu putusan lembaga penegak etika karena, sekali lagi, pelanggaran etika tidak sama dengan pelanggaran hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar