Move
ON
Samuel Mulia ; Penulis Kolom “PARODI” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
03 Januari 2016
Halo Indonesia, di
mana pun Anda berada dan apa pun kondisi yang sedang Anda hadapi saat ini,
saya ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru! Kalau tidak salah perhitungan
sudah sekitar sepuluh tahun saya menulis kolom ini, dan seingat saya setiap
pergantian tahun, saya tak pernah mengucapkan selamat tahun baru untuk bapak,
ibu, saudara, dan saudari sekalian.
Halu (sinasi)
Tahun ini saya
memutuskan untuk melakukannya. Saya mau move
on. Kalau selama ini saya tidak mengucapkan selamat Tahun Baru, artinya
saya tidak peduli dengan sesama, saya terlalu egois. Saya tidak mau egois
lagi.
Mengapa saya melakukan
ini? Karena saya ingin memiliki kualitas hidup lebih baik, dan menurut
pendapatnya satu-satunya cara adalah move on. Bergerak maju dan melakukan hal
yang berbeda dari sebelumnya, meninggalkan semua kendala dan jerat yang
membuat tak bisa maju, itu seperti habis sembuh dari sakit yang
berkepanjangan.
Seperti orang sesak
napas kemudian karena minum obat dan sembuh, ia bisa bernapas seperti
sediakala. Lega. Itu kata paling tepat untuk menggambarkannya. Waktu saya
jatuh cinta dengan manusia yang hanya memberi harapan palsu, teman-teman saya
menyuruh cepat-cepat untuk move on.
Waktu nasihat itu diberikan, saya tak menggubris karena katanya cinta itu
perlu diperjuangkan.
Orang kalau tidak bisa
bernapas lega, alias masih senang untuk tidak move on, ia berjuang dengan
mata hati yang buta. Berjuang dengan kebutaan membuat saya seperti orang yang
sedang berhalusinasi. Saya melihat orang yang saya taksir tersebut orang yang
paling cihui sedunia, tak ada yang mengalahkannya.
Di suatu pagi,
beberapa bulan menjelang tahun baru, saya berkata kepada diri saya sendiri
bahwa saya tidak mau lagi diganggu dengan perjalanan asmara yang membuat saya
gila. Pagi itu saya memutuskan untuk keluar dari kubangan dan mau bernapas
lega. Dari manakah saya bisa mendapat kekuatan untuk bangkit setelah dua
tahun jadi buta dan sesak napas?
Pengalaman mengajarkan
bahwa aksi untuk maju ke depan itu hanya bisa dilakukan ketika saya sudah
terpuruk sama sekali untuk memperjuangkan hal yang saya anggap baik. Move on
tidak bisa dilakukan ketika seseorang masih mau setengah berdiri. Awalnya
saya tidak membayangkan bahwa benar-benar terpuruk itu secara alamiah memberi
efek kekuatan untuk bangkit dan melakukan pembenahan.
Terang
Anda tahu, setelah
keputusan untuk bergerak maju itu saya lakukan, mata saya itu seperti
dicelikkan. Saya bisa melihat gambaran yang baru dari peta hidup yang saya
rancang. Karena mata bisa melihat dengan jelas, saya bergerak maju juga
dengan jalur yang jelas. Persis seperti lampu yang menerangi sebuah
kegelapan.
Dan seperti saya
katakan di atas, hal yang terpenting dari keputusan untuk move on adalah
kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup. Memaafkan, misalnya. Atau
menerima keadaan, contoh lainnya. Pikiran yang terang, perasaan yang lega itu
bisa berefek sampai sebegitu dahsyatnya. Sekarang saya malah merasa kasihan
kepada orang yang pernah saya cintai itu.
Lega itu memberi
kemampuan untuk bisa melihat bahwa manusia yang senangnya memberi harapan
palsu itu sejujurnya adalah manusia yang masih belum bisa melepaskan diri
dari kubangan yang dibuatnya. Merekalah yang tak bisa maju ke depan dan tak
bisa bernapas lega.
Tetapi bagaimana kalau
kasusnya menderita penyakit, kalau hal yang dihadapi itu seperti tak ada
harapan sama sekali untuk menjadi lebih baik, atau menjadi lebih ringan?
Belum lagi kalau dana sudah tidak mencukupi lagi?
Problem saya bukan
hanya soal asmara, tetapi penyakit dan kekurangan dana. Maka, waktu mata saya
terbuka, kejengkelan saya tetap ada terhadap penyakit yang saya derita,
tetapi seperti saya katakan, terang dan lega itu mampu memberi efek menerima
keadaan.
Hal terpenting dari
move on itu tidaklah sekadar sembuh dari lumpuh kemudian bisa berjalan, atau
dari tidak punya uang menjadi punya uang. Hal yang jauh lebih penting dari
move on adalah memampukan seseorang untuk tidak melumpuhkan pikiran.
Pikiran yang tidak
lumpuhlah yang memberi solusi yang tidak menjerat ketika saya beberapa kali
kekurangan dana. Waktu masih belum move on, saya mohon sama Tuhan untuk
diberi berkat berupa uang sehingga bisa ini dan bisa itu, termasuk bepergian
mengelilingi dunia yang katanya bulat ini.
Sekarang, dengan
pikiran yang tidak lumpuh saya curhatnya begini. Tuhan, Engkau adalah
pencipta tempat-tempat indah di dunia ini. Mbok saya ini dikasih kesempatan
untuk bisa melihat kebesaran-Mu itu. Tapi masalahnya Tuhan, untuk bisa
menikmati ciptaan-Mu yang belum pernah saya kunjungi itu diperlukan dana,
apalagi sekarang dollar sepertinya ogah turun-turun.
Anda tahu, beberapa
bulan setelah doa yang tak henti-henti, saya bisa berlibur ke Labuan Bajo
dengan sejuta obat yang harus saya bawa karena penyakit yang begitu
banyaknya. Teman seperjalanan saya bilang begini: "Sewa kapal phinisinya
biar saya aja yang bayar." Move on itu benar-benar meningkatkan kualitas
hidup! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar