Industri Hukum
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 16 Januari 2016
Ada-ada
saja: industri hukum. Apa pula itu? Jangankan orang awam hukum, orang yang
belajar dan bekerja di bidang hukum selama puluhan tahun seperti saya pun
merasa aneh dengan istilah industri hukum karena tidak ditemukan dalam
literatur.
Saya
mendengar istilah itu dari Jaya Suprana, dua hari lalu (14 Januari 2015),
menjelang diskusi rutin Kelompok Punakawan di Balairung Museum Rekor
Indonesia (Muri). Kelirumolog yang juga pemimpin Muri ini memang sering
melemparkan hal yang aneh-aneh, menggelikan, dan mengundang tawa, tetapi
substansinya mendalam.
Di
dalam ilmu pengetahuan populer industri diartikan sebagai kegiatan pengolahan
hasil-hasil bumi atau sumber daya alam melalui keterampilan dan ketekunan
dengan menggunakan peralatan-peralatan mulai dari pembibitan, pengolahan
sampai distribusinya. Dalam pengertian ini industri selalu dikaitkan dengan
kegiatan ekonomi. Tetapi kalau kata industri dikaitkan dengan kata hukum
memang menimbulkan pertanyaan serius. Masih agak bisa dipahami jika kata
industri diletakkan di belakang kata hukum, misalnya, hukum perindustrian
atau hukum industri.
Hukum
perindustrian atau hukum industri masih bisa dilacak sebagai bagian dari
studi hukum ekonomi. Namun, kalau kata industri diletakkan di depan kata
hukum, yakni industri hukum, tentu menimbulkan pertanyaan. Apakah istilah itu
dimaksudkan sebagai segala kegiatan untuk menjadikan hukum sebagai alat
pembangunan ekonomi? Kalau itu maksudnya, maka istilah ilmiahnya adalah
politik hukum, tepatnya politik hukum ekonomi, bukan industri hukum.
Politik
hukum industri, misalnya, menjadikan hukum sebagai independent variable yang mengarahkan dan mengatur kegiatan
perindustrian. Tetapi apa arti istilah industri hukum? Jaya tidak memberi
definisi. Definisi itu terlalu mewah dan biasanya menjadi santapan akademisi
di kampus. Jaya menjelaskan istilah itu dengan pengalamannya di lapangan. Dia
berkisah, pada suatu hari dia didatangi oleh seorang yang mengaku pengacara
dan menawarkan jasa untuk membuatkan perkara.
”Loh,
perkara apa? Saya tak punya masalah untukdiperkarakan,” jawabJaya. ”Sebagai
pengusaha Pak Jaya bisa saya buatkan perkara, misalnya, menggugat perusahaan
orang atau kita atur agar Pak Jaya digugat, kemudian Pak Jaya menggugat
balik. Dari sana Pak Jaya bisa mendapat banyak uang melalui proses
pengadilan. Itu bisa kita atur,” jawab pengacara itu.
Gila,
kan? Silakan definisikan sendiri, kalau mau diakademiskan. Jaya pernah juga
menceritakan pengalamannya beperkara karena digugat oleh seseorang. Saat maju
ke pengadilan dia hadapi sendiri karena setelah didiskusikan dengan para ahli
hukum dia berada pada posisi yang sangat kuat dan pasti menang. Tetapi, di
pengadilan tingkat pertama kalah, di tingkat banding juga kalah.
Saat
akan kasasi Jaya ditawari oleh seseorang untuk mengurus dan memenangkan
perkaranya, asal menyediakan sejumlah uang tertentu. ”Loh, saya ini benar, kenapa
harus membayar?” tanya Jaya. ”Kalau Pak Jaya tak mau membayar sejumlah itu,
lawan Pak Jaya yang akan membayar dan mengambil kemenangan dalam perkara ini.
Ini kan bisa diatur,” jawab orang itu enteng.
Jaya
Suprana menceritakan itu dalam diskusi tentang e-justice di kantor Kementerian Ristek saat kementerian itu
dipimpin oleh Gusti Muhammad Hatta. Nah, kalau itu contoh yang dikemukakan
oleh Jaya, maka industri hukum berarti kegiatan profesi hukum yang menjadikan
hukum untuk mencari keuntungan dengan merekayasa hukum secara curang.
Hukum
dijadikan sebagai dependent variable dalam kegiatan merekayasa atau
memanipulasi hukum untuk memperoleh keuntungan secara asal untung, bukan
secara benar menurut hukum. Apa yang dicontohkan oleh Jaya memang banyak terjadi
juga di jagat raya penegakan hukum kita. Saat duduk di Kabinet Presiden Gus
Dur (2001) saya mendapat cerita yang sama dari Baharuddin Lopa (Menteri
Kehakiman dan kemudian Jaksa Agung).
Katanya,
berdasar penelitiannya, banyak pengacara yang menjadikan hukum sebagai alat
untuk merusak harmoni kehidupan masyarakat dengan mencari- cari dan
membuat-buat perkara agar punya kasus. Ada yang mendorong seorang istri agar
menyuruh suaminya menuntut ibunya agar segera membagiharta warisan dari
ayahnya. Ada juga yang mengipasi suami atau istri untuk menuntut cerai dari
pasangannya agar bisa mendapat harta gono-gini. Semua didorong oleh orang
yang mengaku bisa menangani perkara dan memenangkannya di pengadilan dengan
biaya tertentu.
Jadi,
industri hukum ala Jaya adalah bagian penting dari mafia hokum yang kita
kenal selama ini. Di dalam industri atau mafia hukum yang seperti itu bisa
ada pengacara papan atas yang tidak perlu mengandalkan keahlian, bahkan
bodoh, di bidang hukum, melainkan hanya ahli membangun jaringan politik
berbau mafia. Dengan jaringan mafianya dia bisa mengatur siapa yang akan
menjadi penyidik di kepolisian, siapa jaksa penuntut dan apa tuntutannya, dan
siapa majelis hakim yang akan menangani perkara ini dan, akhirnya, bagaimana
vonisnya.
Contoh
nyata tentang ini adalah kasus pegawai pajak Gayus Tambunan yang sekarang
sudah meringkuk di penjara. Selain Gayus semua penegak hukum yang menangani
kasus itu juga dipenjarakan karena bermafiaria. Pengacaranya (Haposan),
polisinya (antara lain Sumarni), jaksanya (Cirus Sinaga), dan hakimnya
(Ibrahim) semua masuk penjara setelah kasus itu dibongkar oleh Tim
Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden SBY waktu itu.
Kegiatan
industri hukum atau mafia hukum yang seperti itu disinyalir dan dirasakan masih
banyak bergentayangan di jagat raya hukum kita. Percayalah, kalau itu
dibiarkan terus, Indonesia akan terpuruk dan terancam runtuh. Ketidakadilan
selalu menjadi sebab banyaknya kejahatan dan memodali pembangkangan sipil
yang mengarah ke disintegrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar