Selasa, 19 Januari 2016

Hatra

Hatra

Goenawan Mohamad  ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo

                                                 KORAN TEMPO, 18 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apa yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu, ketika kita berdiri tercengang di puing-puing Hatra?

Hanya beberapa tahun yang silam, di padang pasir antara Sungai Tigris dan Eufrat, di tengah wadi datar yang kecokelatan hampir 300 kilometer dari Bagdad, reruntukan kota purba itu terbentang di arah utara. Sisa-sisa dinding kota menjulang tinggi. Para arkeolog mengatakan tembok itu, yang dibuat dari batu bata, pelindung sebuah kehidupan 2.200 tahun yang lalu—semacam benteng melingkar dengan diameter dua kilometer. Juga sebuah karya arsitektural yang memukau: berjalan mengelilinginya, kita akan menemukan empat pintu gerbang, sebelas bastion, 28 menara besar, dan 160 menara kecil.
Di pusat kota, ada "temenos". Di sini, di wilayah berbentuk persegi panjang yang luasnya satu hektare lebih ini—juga dikelilingi tembok—tak ada rumah, tak ada istana. Yang ada hanya kuil demi kuil, dengan balai agung yang terbuka di depannya, dengan dekorasi topeng-topeng wajah muda, dengan atap berbentuk kubah.

Mungkin jajaran kuil itu yang menyebabkan orang Arab yang 500 tahun sebelum Islam adalah penghuni Hatra—setelah orang Parthia, setelah orang Persia—menamakan kota ini, dalam bahasa Aramaik, Beit 'Elh', atau "Rumah Tuhan".

Tuhan atau dewa-dewa memang tak kurang di sini. Bersama itu, lapisan sejarah. Hatra, seperti halnya kota-kota lain di wilayah yang dulu disebut Mesopotamia itu, adalah sebuah dokumen yang tak tepermanai tentang manusia.

Tapi yang "tak tepermanai" itu hanya terasa bila kita merasakan kharisma masa lalu, bila kita menemui masa lalu dengan rasa ingin tahu, atau takjub, atau bersyukur, atau rindu. Sebagaimana umumnya manusia. Itulah yang membuat turisme tumbuh, arkeologi jadi ilmu, museum berdiri, hikayat ditulis, dan tambo jadi ritual.

Tapi tidak bagi IS, atas nama "Islam". Tak ada kharisma masa lalu itu bagi mereka.

Selama beberapa bulan dalam tahun 2015, ketika mereka menduduki Hatra, mereka hanya menjalankan apa yang mereka anggap "hukum Islam": kuil, patung, ukiran, prasasti, semua harus dihancurkan. Dari artefak di museum Kota Mosul, Irak, sampai dengan kuil berumur 2.000 tahun di Palmira, Suriah, IS menunjukkan salah satu bentuk ikonoklasme yang paling agresif dalam sejarah. Seperti pendahulu mereka: 15 tahun yang lalu Taliban mendinamit sepasang patung Buddha yang terbesar di dunia di kaki pegunungan Hindu Kush. Patung berusia 1.700 tahun di Afganistan Tengah itu runtuh.

Ikonoklasme adalah kelanjutan yang tak diakui dari Yudaisme. Kitab Keluaran (Exodus) yang melarang manusia membuat apa saja yang menyerupai segala sesuatu yang di langit, di darat, dan di dalam air menghantui para perupa Yahudi berabad-abad.

Juga berlanjut ke abad ke-16, di dunia Kristen. Yang paling diingat adalah tahun 1566, ketika di Kota Antwerp orang-orang Calvinis merusak sebuah katedral dan membakar patung dan lukisan di dalamnya—dan menandai apa yang dalam bahasa Belanda disebut Beeldenstorm di Nederland dan sekitarnya. Itu pula bagian konflik sosial yang mendalam di sana, yang merebakkan Perang Agama bertahun-tahun.

Tanpa disadari, para ikonoklas sebenarnya mengukuhkan apa yang naif dalam kepercayaan para penyembah berhala: mereka meyakini bahwa berhala bisa jadi substitusi, atau pesaing, Yang Maha Dimuliakan. Mereka tak memahami kebutuhan manusia akan simbol dan kiasan, dan lupa akan kemampuan manusia membentuk dan menerima imajinasi. Dan seperti kaum Wahabi di Arab Saudi yang mencoba meniadakan petilasan Nabi, mereka menampik kharisma masa lalu.

Dalam hal itu, IS tak jauh berbeda dengan para Pengawal Merah dalam "Revolusi Kebudayaan" Tiongkok. Dengan bernabi pada Ketua Mao, Pengawal Merah bertekad "Hancurkan Empat Kuno". Pada pertengahan 1960-an, Kuil Konghucu di Shandong yang berumur 2.000 tahun lebih mereka ganyang; 6.000 artefaknya mereka binasakan.

IS, Pengawal Merah: ada sikap yang mengutamakan "patah arang" dan bukan "kelanjutan" dalam sejarah. Bagi mereka harus ada manusia yang dianggap lain, atau yang mewakili waktu lain—dan "lain" berarti "najis", atau "cemar", atau "berdosa"

Mereka tampik Mesopotamia. Mereka hancurkan bekas-bekasnya. Mereka tak ingin mengakui bahwa dalam peradaban yang tak mengenal Islam itulah orang menemukan roda dan aksara—bagian sentral hidup kita hari ini.

Dalam ketakutan akan menjadi kurang suci, mereka ingin memutlakkan kesucian. Mereka tak menyadari bahwa agama mereka sendiri juga mengakui pendahulunya: sebagai bagian dari perbenturan, persilangan, dan pertautan di dunia yang kemudian disebut "peradaban".

Mungkin mereka lupa mereka dianjurkan mencari ilmu sampai ke Tiongkok—tanah yang tak bertuhan. Mereka takut memperoleh ilmu dari masa lalu Hatra yang juga menakjubkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar