Hatra
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo
|
KORAN
TEMPO, 18 Januari 2016
Apa yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu,
ketika kita berdiri tercengang di puing-puing Hatra?
Hanya beberapa tahun yang silam, di padang
pasir antara Sungai Tigris dan Eufrat, di tengah wadi datar yang kecokelatan
hampir 300 kilometer dari Bagdad, reruntukan kota purba itu terbentang di
arah utara. Sisa-sisa dinding kota menjulang tinggi. Para arkeolog mengatakan
tembok itu, yang dibuat dari batu bata, pelindung sebuah kehidupan 2.200
tahun yang lalu—semacam benteng melingkar dengan diameter dua kilometer. Juga
sebuah karya arsitektural yang memukau: berjalan mengelilinginya, kita akan
menemukan empat pintu gerbang, sebelas bastion, 28 menara besar, dan 160
menara kecil.
Di pusat kota, ada "temenos". Di
sini, di wilayah berbentuk persegi panjang yang luasnya satu hektare lebih
ini—juga dikelilingi tembok—tak ada rumah, tak ada istana. Yang ada hanya
kuil demi kuil, dengan balai agung yang terbuka di depannya, dengan dekorasi
topeng-topeng wajah muda, dengan atap berbentuk kubah.
Mungkin jajaran kuil itu yang menyebabkan
orang Arab yang 500 tahun sebelum Islam adalah penghuni Hatra—setelah orang
Parthia, setelah orang Persia—menamakan kota ini, dalam bahasa Aramaik, Beit
'Elh', atau "Rumah Tuhan".
Tuhan atau dewa-dewa memang tak kurang di
sini. Bersama itu, lapisan sejarah. Hatra, seperti halnya kota-kota lain di
wilayah yang dulu disebut Mesopotamia itu, adalah sebuah dokumen yang tak tepermanai
tentang manusia.
Tapi yang "tak tepermanai" itu hanya
terasa bila kita merasakan kharisma masa lalu, bila kita menemui masa lalu
dengan rasa ingin tahu, atau takjub, atau bersyukur, atau rindu. Sebagaimana
umumnya manusia. Itulah yang membuat turisme tumbuh, arkeologi jadi ilmu,
museum berdiri, hikayat ditulis, dan tambo jadi ritual.
Tapi tidak bagi IS, atas nama
"Islam". Tak ada kharisma masa lalu itu bagi mereka.
Selama beberapa bulan dalam tahun 2015, ketika
mereka menduduki Hatra, mereka hanya menjalankan apa yang mereka anggap
"hukum Islam": kuil, patung, ukiran, prasasti, semua harus
dihancurkan. Dari artefak di museum Kota Mosul, Irak, sampai dengan kuil
berumur 2.000 tahun di Palmira, Suriah, IS menunjukkan salah satu bentuk ikonoklasme
yang paling agresif dalam sejarah. Seperti pendahulu mereka: 15 tahun yang
lalu Taliban mendinamit sepasang patung Buddha yang terbesar di dunia di kaki
pegunungan Hindu Kush. Patung berusia 1.700 tahun di Afganistan Tengah itu
runtuh.
Ikonoklasme adalah kelanjutan yang tak diakui
dari Yudaisme. Kitab Keluaran (Exodus) yang melarang manusia membuat apa saja
yang menyerupai segala sesuatu yang di langit, di darat, dan di dalam air
menghantui para perupa Yahudi berabad-abad.
Juga berlanjut ke abad ke-16, di dunia
Kristen. Yang paling diingat adalah tahun 1566, ketika di Kota Antwerp
orang-orang Calvinis merusak sebuah katedral dan membakar patung dan lukisan
di dalamnya—dan menandai apa yang dalam bahasa Belanda disebut Beeldenstorm
di Nederland dan sekitarnya. Itu pula bagian konflik sosial yang mendalam di
sana, yang merebakkan Perang Agama bertahun-tahun.
Tanpa disadari, para ikonoklas sebenarnya
mengukuhkan apa yang naif dalam kepercayaan para penyembah berhala: mereka
meyakini bahwa berhala bisa jadi substitusi, atau pesaing, Yang Maha
Dimuliakan. Mereka tak memahami kebutuhan manusia akan simbol dan kiasan, dan
lupa akan kemampuan manusia membentuk dan menerima imajinasi. Dan seperti
kaum Wahabi di Arab Saudi yang mencoba meniadakan petilasan Nabi, mereka menampik
kharisma masa lalu.
Dalam hal itu, IS tak jauh berbeda dengan para
Pengawal Merah dalam "Revolusi Kebudayaan" Tiongkok. Dengan bernabi
pada Ketua Mao, Pengawal Merah bertekad "Hancurkan Empat Kuno".
Pada pertengahan 1960-an, Kuil Konghucu di Shandong yang berumur 2.000 tahun
lebih mereka ganyang; 6.000 artefaknya mereka binasakan.
IS, Pengawal Merah: ada sikap yang
mengutamakan "patah arang" dan bukan "kelanjutan" dalam
sejarah. Bagi mereka harus ada manusia yang dianggap lain, atau yang mewakili
waktu lain—dan "lain" berarti "najis", atau
"cemar", atau "berdosa"
Mereka tampik Mesopotamia. Mereka hancurkan
bekas-bekasnya. Mereka tak ingin mengakui bahwa dalam peradaban yang tak
mengenal Islam itulah orang menemukan roda dan aksara—bagian sentral hidup
kita hari ini.
Dalam ketakutan akan menjadi kurang suci,
mereka ingin memutlakkan kesucian. Mereka tak menyadari bahwa agama mereka
sendiri juga mengakui pendahulunya: sebagai bagian dari perbenturan,
persilangan, dan pertautan di dunia yang kemudian disebut
"peradaban".
Mungkin mereka lupa mereka dianjurkan mencari
ilmu sampai ke Tiongkok—tanah yang tak bertuhan. Mereka takut memperoleh ilmu
dari masa lalu Hatra yang juga menakjubkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar