DUCATI
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 17 Januari 2016
Pada zaman saya
sekolah di SMAN 1 Bogor saya punya sepeda motor dengan merek Ducati tipe
Luxor (made in Italy).
Kendaraan ini lebih
banyak unsur sepedanya (bisa digowes), di samping unsur motornya yang hanya
50 cc itu. Jadi beda dengan motor-motor zaman sekarang yang minimal 110 cc
dan bisa lari kencang. Pesaing Ducati Luxor di zaman itu adalah sepeda motor
merek DKW tipe Hummel (juga bikinan Italia ). Jepang masih berbenah setelah
kalah Perang Dunia II tahun 1945).
DKW Hummel sebenarnya
lebih nyaman dikendarai, mesinnya 125 cc, tetapi mesinnya 2 tak, jadi
bensinnya campur oli sehingga suaranya lebih halus, namun tidak bisa lari
terlalu kencang. Tetapi dibandingkan dengan motor-motor sekarang seperti
Yamaha X-Ride, Ducati Luxor saya sebenarnya tergolong tidak bisa lari. Menang
di suara doang, yang membuatnya lebih macho daripada DKW.
Di zaman itu saya dan
adik saya, namanya Sarwanto, yang masih kelas III SMP walaupun usia kami
hanya terpaut setahun (waktu itu saya kelas II SMA), paling demen trek-trekan
(istilah anak sekarang) naik Ducati kami masing-masing. Dia juga punya Ducati
Luxor, bedanya punya dia bercat merah, saya hitam.
Kami berdua malah
pernah ke Jakarta (waktu itu satu-satunya jalan lewat jalan Bogor-Jakarta
lama melalui Cibinong, Cisalak dan seterusnya) untuk menonton film yang
dibintangi bom seks Brigitte Bardot (di zaman itu belum ada ISIS, tetapi film
itu sudah diharamkan oleh orang tua, jadi malah kami tambah ingin menonton)
di Bioskop STAR (sekarang: Taman Ismail Marzuki).
Sesudah menonton kami
balik lagi ke Bogor seolah-olah baru pulang sekolah sore hari (kebetulan saya
sekolah siang). Kami berbuat sewajar mungkin supaya orang tua tidak curiga,
padahal alat vital kami serasa hilang karena kesemutan setelah digoyang
getaran sadel sepeda motor selama hampir dua jam sekali jalan.
Beberapa waktu lalu
saya diajak coffee morning oleh
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian. Coffee morning yang diselenggarakan sekali seminggu dan selalu
diliput oleh sebuah stasiun televisi lokal Jakarta itu selalu mengajak
masyarakat untuk berdiskusi tentang berbagai topik yang sedang hangat di
masyarakat.
Pada hari itu hadir
bersama saya Tinton Suprapto, eks pembalap Indonesia yang sekarang mengelola
sirkuit Sentul, para pejabat polisi yang mengurus balap-balap liar di
Jakarta, perwakilan organisasi-organisasi sepeda motor, dan para pembalapnya
itu sendiri yang umumnya masih sangat belia.
Topik hari itu adalah
bagaimana caranya menghentikan kebut-kebutan sepeda motor, yang bukan hanya
membahayakan orang lain, tetapi berkembang menjadi geng motor yang mengganggu
masyarakat, berupa pemalakan, penjambretan, pembegalan, perampokan, bahkan
bisa sampai membunuh orang tak berdosa. Maka muncullah dalam forum coffee morning itu ide-ide untuk
mengarahkan pebalap-pebalap liar menjadi pebalap resmi, atau bahkan pebalap
profesional.
Beberapa melontar
gagasan untuk membangun sirkuit-sirkuit resmi untuk menyalurkan bakat-bakat
balapan adik-adik kita. Tetapi ide ini terhenti karena kendala pengadaan
lahan. Maka Pak Tinton pun dengan senang hati menawarkan Sirkuit Sentul untuk
para pebalap jalanan ini berlatih. Kalau perlu diantar jemput dengan
truk-truk untuk mengangkut motor-motor mereka.
Berapa truk pun yang
diperlukan akan disiapkan oleh Pak Tinton yang baik hati itu. Sayangnya, para
pebalap amatiran itu menolak. Alasannya macam-macam. Dari alasan jauh (ada
yang dari Tanjung Priok, tentu saja jauh kalau harus ke Sentul), waktunya
tidak pas, harus sekolah, dsb. Tetapi sebagai mantan remaja yang dulu juga
sering ngebut, saya paham apa yang ada di benak adik-adik pembalap amatir
ini.
Kembali ke zaman SMA,
saya dan Sarwanto dan sejumlah anak Bogor lain yang senang kebut-kebutan di
jalan punya dunia dan alam berpikir sendiri, yang tidak umum di antara
anggota masyarakat lain. Pemotor-pemotor amatir seperti saya sama sekali
tidak berpikiran untuk menjadi pebalap pro. Kami hanya ingin nampang kepada
para pemuja (atau yang kami pikir memuja kami), yaitu cewek-cewek. Saya
tergolong penakut sebagai pengebut, tetapi Sarwanto lebih pemberani dan
sebagai ganjarannya dia pernah menabrak semak-semak sehingga terluka dan
memerlukan beberapa jahitan oleh dokter (bukan oleh penjahit).
Di luar ngebut, para
pengebut berkawan dengan fans-nya. Kami bertetangga, satu sekolah, menonton
(bahasa Bogor: lalajo) bareng dan
beberapa bercintaan (bobogohan),
kalau malam Minggu ada pesta ulang tahun (dulu belum ada disko) kami datang
untuk berdansa (gengsot),
syukur-syukur kalau ada cewek yang mau diantar jemput, kalau enggak ya
ngedayak aja (datangnya cowok-cowok semua, nanti ajak cewek yang ada di
tempat pesta saja).
Tentu saja pengebut
sekarang bukan pengebut zaman saya dulu. Tetapi, persamaannya kebanyakan
pengebut bukan calon pebalap resmi, apalagi profesional. Bahkan setahu saya
sedikit sekali pebalap-pebalap profesional yang sudah masuk sirkuit
internasional yang mengawali kariernya sebagai geng motor. Walaupun begitu,
perlu diperhatikan bahwa para pengebut zaman saya hanya terbatas pada dunia
gaul, sedangkan sekarang sudah jauh lebih luas dari pada itu.
Bukan hanya
perkawanan, tetapi sudah menjadi geng, bahkan sudah jadi gengster (dengan
persyaratan masuk ketat, termasuk di-bully
secara fisik, dsb), termasuk ajang perjudian, pengebut hanya jadi jockey, sedangkan motor milik orang
lain.
Dunia seperti inilah
yang mesti dilenyapkan melalui program yang komprehensif, yang memberikan
peluang untuk anak-anak muda itu unjuk diri, sambil juga punya pekerjaan yang
jelas, sehingga tidak perlu ngegeng motor lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar