Sabtu, 16 Januari 2016

Gafatar, Korban, dan Gembala

Gafatar, Korban, dan Gembala

Djoko Subinarto  ;   Kolumnis; Alumnus Universitas Padjadjaran Bandung
                                                      JAWA POS, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASYARAKAT dihebohkan dengan terkuaknya sebuah sekte bernama Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar), yang kemudian berubah nama menjadi Negara Karunia Semesta Alam (NKSA). Kelompok tersebut telah merekrut sejumlah warga dari beberapa daerah. Di antaranya, Jogjakarta dan Surabaya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, sebagaimana dilaporkan detik.com pada Selasa (12/1), merekomendasikan kepada MUI pusat agar melarang Gafatar. Gerakan yang disebut sebagai sempalan dari Al Qiyadah Al Islamiah pimpinan Ahmad Musadeq itu dianggap sudah menyimpang dari ajaran Islam. Gafatar pernah mendaftar ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun ditolak karena dinilai berkaitan dengan Negara Islam Indonesia (NII).

Kebudayaan Korban

Tak bisa dimungkiri, di tengah kemajuan zaman modern seperti sekarang, masih ada saja sebagian masyarakat kita, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun, yang bisa dengan mudah terkecoh dan terbawa arus aliran-aliran atau kelompok-kelompok yang sangat boleh jadi sesat dan menyimpang. Pertanyaannya adalah: mengapa mereka bisa dengan gampang menjadi mangsa atau korban dari aliran/kelompok seperti itu?

Ada yang mengatakan bahwa kita sekarang ini sebenarnya hidup dalam kebudayaan korban, yang sebagian orang justru merasa puas dengan keadaannya yang bak bidak tanpa daya dalam sebuah permainan catur dunia. Mereka merasa tidak bertanggung jawab atas perbuatan sendiri lantaran cuma sebagai korban dari pihak lain: orang tua, keluarga yang berantakan, para atasan yang sewenang-wenang, atau bahkan para pemuka agama yang mereka yakini.

Para korban itu adalah mereka yang tidak mampu mengelola, mengendalikan, dan mengatur kehidupan sendiri. Mereka tidak pernah memiliki kerangka utuh lewat mana bisa melihat dan mengenali diri serta memahami dunia sekitar. Padahal, sudah sejak dulu Aritoteles menasihati kita, ’’Kenalilah dirimu.’’

Nah, tatkala mereka merasa asing dengan dirinya dan diombang-ambing dalam gelombang kehidupan yang menyesakkan, akhirnya mencari pelabuhan jiwa di mana saja. Sekiranya tampak adanya tempat berlabuh yang dinilai nyaman. Dalam kondisi itulah mereka bisa dengan mudah menjadi pengikut aliran-aliran atau kelompok-kelompok tertentu yang justru malah menyesatkan.

Jika ditelaah lebih cermat, komunitas-komunitas aliran sesat tidak pernah padam dalam masyarakat kita. Hilang satu, tumbuh yang lain. Ada persamaan pokok dalam konsep yang mereka usung dalam mengendalikan keberadaan kelompok. Dalam kacamata para teolog, konsep itu dikenal dengan istilah penggembalaan.

Ide konsepnya bahwa para anggota jemaat aliran sesat selalu diupayakan agar tidak bisa benar-benar mengenali dan memikirkan diri sendiri. Untuk itu, mereka harus memiliki figur yang mempunyai otoritas. Figur tersebut ibarat seorang gembala, yang bisa mengarahkan mereka ke mana harus pergi.Ketaatan adalah kuncinya.

Pada sekte-sekte tertentu, bahkan, segala keputusan berada di tangan sang kepala sekte sepenuhnya. Misalnya, menentukan kapan dan ke mana harus sekolah hingga ke masalah karir yang harus ditekuni dan pasangan yang harus mereka nikahi. Lazimnya, para pemimpin atau imam aliran-aliran sesat bertindak pula selaku para nabi, wakil Tuhan, atau titisan malaikat dan sebangsanya. Mereka tidak jarang mengeluarkan sabda-sabda yang diklaim merupakan sabda langsung dari Tuhan.

Salah satu komunitas, umpamanya, terbentuk dari perkumpulan orangorang yang belajar kitab tertentu di sebuah rumah pribadi, yang kemudian berkembang menjadi sebuah jemaat yang para anggotanya terikat kuat satu sama lain dengan sebuah sistem kepemimpinan. Komunitas lain terbentuk dengan melibatkan ratusan orang dari kelas menengah perkotaan. Mereka awalnya beramai-ramai menjual rumah, lalu mengumpulkan uang hasil penjualan tersebut untuk membeli sebuah permukiman baru yang akan mereka tinggali bersama sebagai orang-orang yang seiman.

Dengan konsep gembala seperti itu, para pemimpin komunitas aliran sesat biasanya menekankan aspek pengultusan. Ketaatan kepada imam adalah mutlak. Pengingkaran akan dihukum berat.

Lantas, bagaimana agar masyarakat kita bisa membebaskan diri dari cengkeraman aliran-aliran atau kelompok-kelompok sesat? Salah satu kuncinya adalah pengetahuan dan pengenalan diri sendiri. Pengetahuan dan pengenalan diri akan memberdayakan individu dan membuat individu memahami sepenuhnya ihwal tidak adanya satu pun kelompok dan pemimpinnya yang perlu dikultuskan dan mendominasi, yang bisa menguasai diri seseorang.

Dengan pengetahuan dan pengenalan diri, individu bisa melepaskan perannya sebagai korban. Pada titik itulah, keluarga serta institusi pendidikan dan agama memiliki peran penting dalam memberikan pengetahuan yang mumpuni kepada setiap anggotanya. Harapannya, mereka tidak akan mudah menjadi mangsa empuk aliran sesat yang bakal meninabobokan para pengikutnya dengan pelbagai cita-cita serta iming-iming di luar akal sehat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar