Gafatar, Korban, dan Gembala
Djoko Subinarto ;
Kolumnis; Alumnus Universitas Padjadjaran
Bandung
|
JAWA
POS, 13 Januari 2016
MASYARAKAT
dihebohkan dengan terkuaknya sebuah sekte bernama Gerakan Fajar Nusantara
(Gafatar), yang kemudian berubah nama menjadi Negara Karunia Semesta Alam
(NKSA). Kelompok tersebut telah merekrut sejumlah warga dari beberapa daerah.
Di antaranya, Jogjakarta dan Surabaya.
Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jawa Timur, sebagaimana dilaporkan detik.com pada Selasa (12/1),
merekomendasikan kepada MUI pusat agar melarang Gafatar. Gerakan yang disebut
sebagai sempalan dari Al Qiyadah Al Islamiah pimpinan Ahmad Musadeq itu
dianggap sudah menyimpang dari ajaran Islam. Gafatar pernah mendaftar ke
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), namun ditolak karena dinilai berkaitan
dengan Negara Islam Indonesia (NII).
Kebudayaan Korban
Tak bisa
dimungkiri, di tengah kemajuan zaman modern seperti sekarang, masih ada saja
sebagian masyarakat kita, bahkan yang berpendidikan tinggi sekalipun, yang
bisa dengan mudah terkecoh dan terbawa arus aliran-aliran atau
kelompok-kelompok yang sangat boleh jadi sesat dan menyimpang. Pertanyaannya
adalah: mengapa mereka bisa dengan gampang menjadi mangsa atau korban dari
aliran/kelompok seperti itu?
Ada yang
mengatakan bahwa kita sekarang ini sebenarnya hidup dalam kebudayaan korban,
yang sebagian orang justru merasa puas dengan keadaannya yang bak bidak tanpa
daya dalam sebuah permainan catur dunia. Mereka merasa tidak bertanggung
jawab atas perbuatan sendiri lantaran cuma sebagai korban dari pihak lain:
orang tua, keluarga yang berantakan, para atasan yang sewenang-wenang, atau
bahkan para pemuka agama yang mereka yakini.
Para korban
itu adalah mereka yang tidak mampu mengelola, mengendalikan, dan mengatur
kehidupan sendiri. Mereka tidak pernah memiliki kerangka utuh lewat mana bisa
melihat dan mengenali diri serta memahami dunia sekitar. Padahal, sudah sejak
dulu Aritoteles menasihati kita, ’’Kenalilah dirimu.’’
Nah, tatkala
mereka merasa asing dengan dirinya dan diombang-ambing dalam gelombang
kehidupan yang menyesakkan, akhirnya mencari pelabuhan jiwa di mana saja.
Sekiranya tampak adanya tempat berlabuh yang dinilai nyaman. Dalam kondisi
itulah mereka bisa dengan mudah menjadi pengikut aliran-aliran atau kelompok-kelompok
tertentu yang justru malah menyesatkan.
Jika ditelaah
lebih cermat, komunitas-komunitas aliran sesat tidak pernah padam dalam
masyarakat kita. Hilang satu, tumbuh yang lain. Ada persamaan pokok dalam
konsep yang mereka usung dalam mengendalikan keberadaan kelompok. Dalam
kacamata para teolog, konsep itu dikenal dengan istilah penggembalaan.
Ide konsepnya
bahwa para anggota jemaat aliran sesat selalu diupayakan agar tidak bisa
benar-benar mengenali dan memikirkan diri sendiri. Untuk itu, mereka harus
memiliki figur yang mempunyai otoritas. Figur tersebut ibarat seorang
gembala, yang bisa mengarahkan mereka ke mana harus pergi.Ketaatan adalah
kuncinya.
Pada
sekte-sekte tertentu, bahkan, segala keputusan berada di tangan sang kepala
sekte sepenuhnya. Misalnya, menentukan kapan dan ke mana harus sekolah hingga
ke masalah karir yang harus ditekuni dan pasangan yang harus mereka nikahi.
Lazimnya, para pemimpin atau imam aliran-aliran sesat bertindak pula selaku
para nabi, wakil Tuhan, atau titisan malaikat dan sebangsanya. Mereka tidak
jarang mengeluarkan sabda-sabda yang diklaim merupakan sabda langsung dari
Tuhan.
Salah satu
komunitas, umpamanya, terbentuk dari perkumpulan orangorang yang belajar
kitab tertentu di sebuah rumah pribadi, yang kemudian berkembang menjadi
sebuah jemaat yang para anggotanya terikat kuat satu sama lain dengan sebuah
sistem kepemimpinan. Komunitas lain terbentuk dengan melibatkan ratusan orang
dari kelas menengah perkotaan. Mereka awalnya beramai-ramai menjual rumah,
lalu mengumpulkan uang hasil penjualan tersebut untuk membeli sebuah
permukiman baru yang akan mereka tinggali bersama sebagai orang-orang yang
seiman.
Dengan konsep
gembala seperti itu, para pemimpin komunitas aliran sesat biasanya menekankan
aspek pengultusan. Ketaatan kepada imam adalah mutlak. Pengingkaran akan
dihukum berat.
Lantas,
bagaimana agar masyarakat kita bisa membebaskan diri dari cengkeraman
aliran-aliran atau kelompok-kelompok sesat? Salah satu kuncinya adalah
pengetahuan dan pengenalan diri sendiri. Pengetahuan dan pengenalan diri akan
memberdayakan individu dan membuat individu memahami sepenuhnya ihwal tidak
adanya satu pun kelompok dan pemimpinnya yang perlu dikultuskan dan
mendominasi, yang bisa menguasai diri seseorang.
Dengan pengetahuan dan
pengenalan diri, individu bisa melepaskan perannya sebagai korban. Pada titik
itulah, keluarga serta institusi pendidikan dan agama memiliki peran penting
dalam memberikan pengetahuan yang mumpuni kepada setiap anggotanya.
Harapannya, mereka tidak akan mudah menjadi mangsa empuk aliran sesat yang
bakal meninabobokan para pengikutnya dengan pelbagai cita-cita serta
iming-iming di luar akal sehat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar