Jokowi
Berjudi dengan Daya Tahan Rakyat
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar;
Anggota Komisi III DPR RI; Wakil Ketua Umum Kadin
Indonesia
|
KORAN SINDO, 09 Juni 2015
Politik ekonomi
Presiden Joko Widodo bisa menjadi bumerang yang meruntuhkan pemerintahannya
jika daya tahan rakyat tak mampu lagi memberi toleransi. Apalagi, beberapa
indikator ekonomi memperlihatkan rendahnya kompetensi dan kapabilitas Kabinet
Kerja mengaktualisasi dan mengamankan politik ekonomi sang Presiden.
Ketika berbicara dalam
acara Silaturahmi Pers Nasional di Auditorium TVRI, Jakarta, April lalu,
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah memaparkan garis besar dari politik
ekonomi pemerintahannya. Dia menegaskan, setiap perubahan besar dalam
membangun bangsa memang menyakitkan, bahkan seperti menelan pil pahit. Namun,
ini harus dilakukannya walaupun popularitasnya anjlok. Presiden yakin, ketika
saatnya tiba, rakyat akan merasakan manfaat dari kebijakan pemerintahannya
sebab perekonomian nasional akan lebih kokoh dan kondisi bangsa lebih baik.
Politik ekonomi
seperti itu sebuah pertaruhan besar. Sangat jelas bahwa Presiden mengajak dan
sekaligus sedang menguji daya tahan rakyat untuk melalui masa-masa sulit
akibat kebijakan pemerintahannya. Pertanyaannya, sudahkah Presiden mengukur
daya tahan rakyat?
Pil pahit atau masa
sulit itu kini sedang berproses menuju puncaknya yakni krisis ekonomi. Benih
krisis itu mulai terlihat dan bisa dirasakan langsung oleh hampir semua
elemen masyarakat; ibu rumah tangga, pengusaha kecil, maupun para manajer
serta para bos besar dari perusahaan-perusahaan terkemuka. Beberapa indikator
sektoral menggambarkan tren negatif perekonomian nasional.
Indikator yang
dipaparkan beberapa asosiasi bisnis memang tidak enak didengar. Industri
automotif sudah mengalami kemerosotan penjualan sampai 20%. Penurunan omzet
bisnis sektor perhotelan mencapai 40%. Industri makanan minuman merosot 10%.
Sementara kelesuan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) digambarkan
sangat parah.
Kelesuan di sektor
swasta berdampak negatif pada target perolehan pajak tahun ini. Jika
dikaitkan lagi dengan gejala menurunnya konsumsi dalam negeri, hampir bisa
dipastikan bahwa target penerimaan pajak 2015 tidak akan tercapai.
Kemungkinan lain sulit dihindari adalah langkah pemutusan hubungan kerja
(PHK) akibat kelesuan di sektor swasta.
Gambaran kelesuan tak
hanya terlihat pada sektor swasta. Kinerja pemerintah pun terbilang buruk.
Hingga pekan pertama Juni 2015 penyerapan anggaran diperkirakan baru mencapai
18%. Penyerapan anggaran sebesar itu bisa memberi gambaran tentang lambannya
realisasi banyak proyek sepanjang sisa tahun ini. Alih-alih terealisasi,
bahkan akan banyak proyek ditunda atau dibatalkan.
Konsekuensinya tentu
pada target pertumbuhan ekonomi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) itu motor pembangunan dan pertumbuhan. Kalau pengelolaan APBN tidak
efektif seperti sekarang, akan muncul tafsir bahwa mesin pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi sedang rusak parah. Dari tafsir seperti itu, lahir
pesimisme. Dan, pesimisme akan mendorong modal keluar dari negara ini karena
pemodal tak mau ambil risiko.
Masih ada berita buruk
lainnya bagi Presiden Jokowi dan pemerintahannya. Sejak awal Juni 2015 harga
aneka komoditas kebutuhan pokok mulai naik. Momentum jelang bulan suci
Ramadan selepas paruh pertama Juni 2015 menjadi sentimen pemicu kenaikan
harga kebutuhan pokok.
Pada tahap inilah
Presiden perlu memperhitungkan daya tahan rakyat menghadapi masa-masa sulit
akibat kebijakan dari politik ekonominya. Dengan daya beli yang terus merosot
akibat tidak ada kenaikan upah, daya tahan itu bisa goyah. Apalagi jika masih
harus menanggung beban lonjakan harga jelang bulan Ramadan hingga Lebaran
tahun ini.
Jebakan
Kenaikan harga saat
ini bisa dikendalikan jika Presiden mau belajar dari pengalaman. Kenaikan
harga jelang Ramadan adalah gejala yang berulang. Kalau pemerintah belajar
dari pengalaman, mestinya sudah diterapkan langkah-langkah antisipatif untuk
mencegah kenaikan harga itu.
Presiden Jokowi
baru-baru ini memastikan bahwa stok pangan selama bulan suci Ramadan dan hari
raya Idul Fitri aman dengan harga yang stabil. ”Saya ingin memastikan bahwa
stok dan stabilitas harga pangan aman menjelang bulan puasa dan Lebaran,”
kata Jokowi.
Tetapi, dengan fakta
bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok sudah terjadi, para menteri ekonomi di
Kabinet Kerja tampak tidak kompeten dan tidak kapabel. Kalau mengendalikan
harga kebutuhan pokok saja tidak mampu, kemampuan para menteri patut pula
diragukan dalam mengawal dan mengamankan politik ekonomi Presiden Jokowi.
Kenaikan harga kebutuhan pokok saat ini bukan lagi pahit, melainkan terlalu
pahit bagi rakyat kebanyakan.
Presiden Jokowi boleh
saja mencanangkan perubahan besar bagi masa depan pembangunan bangsa.
Semangat dan kemauan keras Presiden patut diapresiasi serta didukung. Tetapi,
pengabdian dari kepemimpinan Presiden Jokowi tidak boleh semata-mata terfokus
pada perubahan besar yang ingin diwujudkannya.
Sebesar apa pun ambisi
Presiden, dia harus tetap peduli pada kebutuhan dasar rakyat; pangan,
sandang, dan papan. Siapa pun presidennya, setiap pemerintahan harus melayani
dan menyediakan pangan murah, sandang murah, dan papan murah. Itulah
kebutuhan dasar rakyat yang tak pernah boleh ditawar-tawar.
Pangan murah atau
terjangkau harganya menjadi faktor kunci bagi terwujudnya stabilitas nasional
dan ketertiban umum. Dengan politik pangan murah itulah, Orde Baru bisa
menjaga stabilitas nasional dalam rentang waktu puluhan tahun.
Presiden Jokowi sebaiknya
fokus dan memberi perhatian ekstra pada masalah ini.
Sekarang ini
pemerintahan Presiden Jokowi sudah memasuki bulan kedelapan. Alih-alih
memberi rasa nyaman, pemerintahan Jokowi justru sedang mengakumulasi masalah
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pada level akar rumput, setiap orang
mungkin hanya menggerutu karena mahalnya harga kebutuhan pokok. Tetapi, pada
level menengah dan atas, mereka sudah menggunjingkan benih-benih krisis
ekonomi dengan mengacu pada beberapa indikator tersebut. Belum lagi jika
dimasukkan faktor semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Banyak kalangan bahkan mulai mengalkulasi
resep apa yang akan digunakan Presiden Jokowi untuk mengakselerasi
pembangunan nasional sepanjang enam bulan ke depan. Pemerintah pernah
menjanjikan pemberian stimulus ekonomi untuk mendongkrak daya beli
masyarakat. Sayangnya, stimulus itu masih berstatus janji yang tak diketahui
kapan akan dipenuhi.
Tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa Presiden Jokowi dan para menteri sedang menghadapi perjudian
besar yang cukup berbahaya. Dengan harga kebutuhan pokok yang semakin mahal,
beban rakyat jelas menjadi sangat berat. Rakyat mungkin tidak mampu lagi
untuk memenuhi ajakan Presiden melalui masa-masa sulit sekarang ini. Maka,
patut bagi Presiden memperhitungkan manakala daya tahan rakyat tak mampu lagi
memberi toleransi.
Perjudian berikutnya
adalah pengelolaan APBN 2015. Kalau penyerapan anggaran hingga akhir tahun
jauh dari persentase yang ideal, Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja akan dinilai
tidak kompeten dan tidak kapabel. Alih-alih optimisme, pemerintahan ini hanya
memunculkan pesimisme.
Semua selalu berharap
keadaan bisa bertambah baik dari hari ke hari. Namun, hari-hari ini
keprihatinan dan kecemasan tak bisa lagi ditutup-tutupi karena politik
ekonomi Presiden Jokowi justru menciptakan jebakan yang cenderung
membahayakan eksistensi pemerintahannya. Dan, disadari atau tidak, Jokowi
tampaknya tengah berjudi dengan nasib rakyatnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar