Fatwa
Islam Nusantara
Ahmad Izzuddin ; Pengasuh Pesantren Life Skill Daarun
Najaah Semarang;
Dosen Fakultas UIN Walisongo
|
REPUBLIKA, 08 Juni 2015
Mulai Ahad (7/6)
sampai Rabu (10/6), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyelenggarakan Ijtima
Ulama Komisi Fatwa kelima di Pondok Pesantren Al-Tauhidiyah, Tegal, Jawa
Tengah. Ijtima Ulama yang dibuka langsung Wapres Jusuf Kalla ini diikuti
sekitar 1.000 peserta yang berasal dari pimpinan Komisi Fatwa MUI seluruh
Indonesia, pimpinan ormas, utusan perguruan tinggi, dan pimpinan pondok
pesantren se-Indonesia.
Ijtima ulama ini
menjadi sangat strategis melihat akhir-akhir banyak persoalan sosial
keagamaan, sosial kebangsaan, dan masalah hukum perundang-undangan ramai
diperbincangkan dan perlu fatwa menyikapinya. Seperti, masalah terkait kuota
haji, haji berkali-kali, radikalisme, janji para pemimpin, gerakan takfiri,
dan masih banyak lagi.
Ada tiga topik bahasan
yang diangkat pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia. Pertama,
masalah strategis kebangsaan (masaail
asasiyah wathaniyah). Kedua, masalah fikih (keagamaan) kontemporer (masail fiqhiyyah mu’ashirah). Ketiga,
masalah hukum dan perundang-undangan (masail
qanuniyah).
Isi draf masalah
ijtima ulama ini adalah, pertama, masalah stretegis kebangsaan, di antaranya,
masalah ketaatan pada pemimpin yang tak menaati kampanyenya; bagaiamana
status hukum janji pemimpin, bagaiamana hukum mengingkari janji, dan
bagaimana ketaatan rakyat terhadap pemimpin yang ingkar janji. Masalah
dlawabith takfir (kriteria kekafiran dan pengafiran); bagaiamana ifrath (orang yang permisif), dan bagaimana hukum tafrith (orang yang gampang
mengafirkan orang).
Masalah radikalisme
dalam kehidupan berbangsa dan penanggulangannnya; apa definisi radikalisme,
bagaimana radikalisme agama dan bagaimana stigma radikalisme terhadap
kelompok masyarakat dan bagaimana hukum kebijakan penanganan radikalisme
berbasis agama. Keempat, masalah kebijakan pertanahan dan sumber daya alam;
bagaimana hukum penelantaran lahan.
Kedua, masail fighiyyah mu’ashirah (masalah
fikih kontemporer), di antaranya, masalah hukum haji berulang dan bagaimana
hukum berhaji sunah yang berdampak pada menghalangi calon jamaah haji wajib.
Masalah hukum menggusur masjid dan membangun masjid yang tidak dimakmurkan.
Masalah hukuman mati; apa saja jenis pidana yang bisa dikenakan hukuman mati,
sejauh mana kekuasaan pemerintah membatalkan hukuman mati, dan masalah sosial
keagamaan lainnya.
Ketiga, masail qanuniyyah (masalah hukum dan
perundang-undangan), di antaranya, masalah ekonomi syariah, BPJS, hukum
terapan peradilan agama, revisi KUHP, Peraturan Pemerintah tentang UU No 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Perda Halal tentang Rumah Potong
Hewan Halal, Peraturan Pemerintah Pembangunan Kebijakan Wisata Syariah dan
masalah UU Yayasan.
Semua masalah ini akan
dibahas alim ulama dalam ijtima dengan menghadirkan narasumber yang kompeten
dengan nalar logis--kajian ushul fiqh--pertimbangan
maslahah madharat dalam aplikasi hukum (taklif hukum) dengan mempertimbangkan
konteks (ruang dan waktu) Indonesia. Pertimbangan kontekstual tentunya yang
menjadi pertimbangan utamanya dalam mengeluarkan fatwa tersebut, tidak
menggunakan pertimbangan teks. Karena, kalau menggunakan pertimbangan teks
(tekstual) akan bisa mendapatkan kesimpulan yang sesat.
Gambaran bahwa
pengambilan hanya mendasar pada teks, sebagaimana cerita Abu Nawas diperintah
oleh pimpinannya untuk menjaga pintu yang kemudian karena Abu Nawas berpikir
secara teks untuk menjaga pintu, kemudian pintu itu dibongkar dibawa ke
toilet oleh Abu Nawas karena menjaga perutnya. Gara-gara pintu dibongkar dan
dibawa ke toilet yang cukup jauh, banyak barang berharga dalam ruang pintu
itu hilang. Inilah narasi memahami teks secara tekstual yang dapat
menyesatkan.
Dengan kontekstualisasi
atas dasar al-hukmu yaduuru ma’al illat
wujudan wa adaman (penetapan hukum berdasarkan illat (alasan) yang ada) dan atas dasar taghayyurul ahkam bi taghayyiril azminah wal amkaninah (perubahan
hukum karena perubahan konteks ruang dan waktu), fatwa yang diputuskan alim
ulama dalam ijtima ulama nantinya tentu tidak lepas dari konteks pribumi
Indonesia yang menjadi bagian nusantara ini. Fatwanya tentunya merupakan
corak Islam Indonesia atau Islam Nusantara.
Tentunya, fatwa-fatwa
MUI akan membumi, akan benar-benar dirasakan masyarakat. Jangan sampai
mengeluarkan fatwa yang malah membuat masyarakat menjadi tidak mau
mengamalkan fatwa tersebut.
Jika demikian, yakni
keluar fatwa yang kontekstual ke-Indonesia-an yang berarti corak Islam
Nusantara, kiranya posisi MUI akan sesuai pedoman pokok MUI sebagaimana
ditegaskan bahwa fungsi MUI adalah memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah
sosial keagamaan kepada pemerintah dan umat Islam sebagai amar makruf nahi munkar, memperkokoh ukhuwah Islamiah dan melaksanakan
kerukunan antarumat beragama, dan penghubung ulama dengan pemerintah serta
penerjemah antara pemerintah dan umat.
Dengan fatwa-fatwa
dalam corak Islam Nusantara (ke-Indonesia-an) ini kiranya akan mengubah
asumsi masyarakat dunia terhadap Islam yang menurut Chiara Formichi (pengajar
Cornell University) telanjur dipersepsikan dalam citra yang kental akan
ekstremisme bisa berubah dengan citra yang santun dan ramah.
Semoga, benar-benar
keluar fatwa yang kontekstual Indonesia, yakni fatwa Islam Nusantara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar