Bung
Karno dan Tersisihnya Pelajaran Sejarah
Endang Suryadinata ; Peminat Sejarah
|
KORAN TEMPO, 09 Juni 2015
Pidato Jokowi, yang
salah menyebut nama kota kelahiran Bung Karno dalam peringatan Hari Pancasila
di Blitar, 1 Juni lalu, terus disorot. Kekeliruan itu boleh jadi merupakan
dampak dari terisisihnya mata pelajaran sejarah dari sekolah, khususnya di
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Mengapa tersisih? Kebijakan
pemerintah sendirilah yang
menyingkirkannya. Dalam ujian nasional, misalnya, sejak 2007, tidak ada
pelajaran sejarah.
Padahal, tiadanya mata
pelajaran sejarah di sekolah sangat berpotensi membahayakan perjalanan sebuah bangsa.
Mengapa berbahaya? Saat ini, kita sudah melihat sendiri ada beragam krisis
kebangsaan, dari ditinggalkannya Pancasila, memudarnya kohesi nasional,
hingga pembusukan di semua lini kehidupan. Kita selalu kalah dalam persaingan
global.
Kita lupa bahwa
kebesaran bangsa-bangsa tidak terjadi secara instan, melainkan lewat
kesadaran akan sejarah mereka. Di banyak negara maju, mata pelajaran sejarah
sering dipakai sebagai pembentuk karakter bangsa (nation building) sekaligus
sebagai upaya menanamkan kecintaan pada Tanah Air.
Pemerintah dan warga
negara-negara Barat, misalnya, punya kesadaran sejarah yang layak kita tiru.
Mereka sungguh menyadari bahwa kemajuan yang mereka peroleh pada masa
sekarang tidak pernah lepas dari perjuangan serta dinamika para founding
father/mother-nya pada masa lalu. Orang-orang Barat menyadari mereka hidup dalam perspektif ruang dan waktu,
sehingga ada semacam kesinambungan antara yang nanti, yang sekarang, dan yang
dulu. Tak bisa diputus-putus.
Bagi orang Barat,
sejarah sebenarnya bukan hanya terkait dengan nama-nama dan peristiwa masa
lalu, tapi juga bagaimana orang bisa punya kesadaran dan penghargaan akan
waktu. Bandingkan dengan kita, yang
kurang menghargai waktu serta tidak disiplin (mentalitas jam karet),
sehingga Indonesia menjadi bangsa yang kurang kompetitif.
Bangsa kita adalah
bangsa antisejarah, yang selalu membunuh masa lalunya. Masa lalu bukan bagian
dirinya, melainkan sejarah "yang lain". Rezim Orde Baru, misalnya,
amat doyan memanipulasi sejarah, termasuk tempat lahir Bung Karno. Para
mantan jenderal dari rezim Orde Baru, yang terlibat dalam pelanggaran HAM
pada masa lalu, misalnya, selalu mencoba mengelak dengan argumentasi
"sudah saatnya kita menatap masa depan". Padahal, masa depan tak
akan bisa diraih selama kita tak mau belajar berdamai dengan masa lalu atau
sejarah.
Terpinggirkannya mata
pelajaran sejarah harus dijadikan early warning karena ini menyangkut
maju-mundurnya sebuah bangsa. Mata pelajaran sejarah harus segera direposisi,
sedangkan metodologi pengajarannya harus direvitalisasi. Apalagi, pengenalan
sejarah sangat berpengaruh bagi pembentukan karakter bangsa.
Pelajaran sejarah
sesungguhnya sangat memikat. Kita bisa masuk kembali ke lorong waktu, lalu
mengambil hal-hal yang berharga bagi kehidupan selanjutnya. Budayawan Emha
Ainun Najib, dalam sebuah orasi budaya di Jakarta, pernah melontarkan kritik
bahwa kita termasuk kategori bangsa yang mengidap amnesia sejarah.
Akibatnya, kita suka pikun dan pelupa, sehingga sering kali dikutuk untuk
mengulangi hal-hal buruk yang sebelumnya pernah terjadi. Bung Karno sendiri
berpesan "jasmerah", jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Sebab, l'histoire se repete (sejarah selalu berulang). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar