Tanggung
Jawab KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus) Universitas
Padjadjaran
|
KORAN
SINDO, 10 November 2014
Untuk ke sekian kalinya, saya mengkritisi KPK bukan karena tidak
suka pada KPK, tetapi karena tanggung jawab moral saya sebagai salah satu
pendiri KPK.
Kali ini penulis mempertanyakan tanggung jawab KPK karena
keikutsertaannya (sekalipun diminta presiden) dalam penentuan calon menteri
bermasalah/tidak bermasalah. KPK sebagai lembaga independen (Pasal 3)
tampaknya “kooperatif” terhadap (permintaan) eksekutif dengan niat baik dan
tujuan baik untuk kepentingan lima tahun pemerintahan Jokowi-JK ke depan.
Dari sisi sistem
pemerintahan (masih) berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan, cara presiden
Jokowi dan kerja sama KPK dan presiden dalam penentuan calon menteri
bermasalah/tidak berasalah merupakan “terobosan” yang juga oleh Buya Syafii
Maarif dipandang cerdik. Namun dari sisi
etika pemerintahan, kerja sama KPK (yudikatif) yang independen dan presiden
(eksekutif) kurang tepat dan cenderung melanggar asas praduga tak bersalah.
Karena hasil akhir dari “kerja sama” tersebut terdapat calon
menteri yang “disingkirkan” oleh presiden, sekalipun bersifat rahasia dan
tertutup, bukan mustahil lambat laun terbuka juga, seperti halnya
tersingkirnya ketua umum PKB dan nasib Enggartiarso dari Partai Nasdem.
Masyarakat luas tentu memberikan apresiasi yang tinggi terhadap
pola pemilihan dan penentuan menteri-menteri pada pemerintahan Jokowi-JK,
sekalipun dalam pandangan ahli hukum khususnya penulis dalam bidang hukum
pidana; pola tersebut sarat dengan pelanggaran HAM. Penulis tidak bermaksud
“menghakimi” presiden karena justru penulis meminta pertanggungjawaban KPK
sesuai dengan UU KPK 2002 tentang penilaian dengan “stabilo merah, kuning dan
pink“ yang pernah diucapkan salah satu pimpinan KPK.
Pertanggungjawaban KPK kepada publik adalah melaksanakan tugas
dan wewenang sesuai dengan UU KPK (pasal 6-pasal 8) dan secara konsisten
menyampaikan kepada publik mengenai langkah hukum selanjutnya terhadap mereka
yang diberi stabilo warna-warni tersebut. Mengapa demikian? Sesuai dengan UU
KPK, dalam melaksanakan tugas dan wewenang KPK harus dilandaskan pada lima
asas antara lain, asas keterbukaan, profesionalitas, akuntabilitas, dan
proporsionalitas.
Sebab lain karena khususnya bagi calon menteri yang dicap dengan
warna-warni itu, juga memerlukan kejelasan status hukum sekaligus status
sosial bagi masa depan mereka. Penulis sebagai ahli hukum amat berhati-hati
dalam memandang masalah terkait status hukum setiap warga negara karena
konstitusi UUD 1945 telah menegaskan jaminan perlindungan hokum dan kepastian
hukum terhadap setiap warga negaranya khususnya dalam hak ekonomi, sosial,
dan hak politik.
Penulis berpendapat bahwa apalagi pimpinan lembaga negara juga
termasuk KPK wajib tunduk tanpa kecuali pada ketentuan jaminan perlindungan
hukum dan kepastian hukum tersebut. Tidak ada satu pun ketentuan di dalam UUD
1945 yang membolehkan penyimpangan terhadap Konstitusi UUD 1945 demi
kepentingan politik seperti jabatan menteri, kecuali jika demi untuk
kepentingan ketertiban, kesusilaan dan keamanan (sesuai Pasal 28 J UUD 1945)
atau demi untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain.
Merujuk pada pertimbangan tersebut, penulis meminta dengan
sangat agar KPK menuntaskan segera para calon menteri yang diberi stabilo
merah, kuning dan pink sehingga terhindar dari potensi pelanggaran terhadap
ketentuan UUD 1945 tersebut. Jika KPK tidak juga bergeming dan tetap tidak
menuntaskan langkah hukum dimaksud maka dikhawatirkan KPK melanggar
konstitusi dan UU HAM.
Jika hal tersebut terjadi maka semua pihak yang terlibat dalam
pelanggaran tersebut dapat dipandang sebagai perbuatan penyertaan (Pasal 55
KUHP)—menyuruh melakukan, melakukan, pembantuan atau penganjuran. Harapan
saya selaku ahli hukum hanya untuk turut serta bertanggung jawab menegakkan
konstitusi dan UU di negeri ini terlepas dari siapa pun dan dalam status
hukum dan sosial apapun yang melekat pada orang yang bersangkutan.
Selain dari hal tersebut, saya tetap teguh pada pandangan bahwa
karakter hukum yang benar adalah mengharamkan prinsip “tujuan menghalalkan
cara” (het doel heilig de middelen)
dalam setiap pengambilan kebijakan apapun karena dalam keadaan (ber)perang
pun sejalan dengan hukum internasional tentang perang masih terdapat
rambu-rambu hukum yang harus dipatuhi oleh pihak yang berperang yang disebut
“just war, dan penyimpangan sedikit saja, berpotensi menjadi agresor".
Yang lebih memprihatinkan bagi saya, beberapa saat setelah
proses pemilihan menteri selesai KPK memberikan pernyataan dalam media cetak
dan elektronik bahwa mereka tidak menjamin calon menteri yang lolos dari KPK
tidak akan bermasalah (korupsi, sic pen).
Tentu pertanyaannya, mengapa pimpinan KPK mau ikut cawe-cawe dalam proses pemilihan calon
menteri kalau pada akhirnya juga KPK merasa tidak bertanggung jawab? Jika
sikap KPK seperti itu maka pertanyaan lanjutan adalah “who control the controllers?” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar