Patriot-Patriot
Bangsa
Hendra Kurniawan ; Dosen Sejarah Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 10 November 2014
Dalam buku Iwan Santosa, Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran
sejak Nusantara sampai Indonesia, ada catatan syair berbahasa Jawa, “Es gandul ditaleni merang, Cina gundul
ora wani perang” (Es tergantung diikat jerami, Tionghoa gundul tidak
berani maju berperang). Tembang dalam pertunjukan ludruk yang sering
dilagukan pada tahun 1960-an itu memperkuat anggapan Tionghoa tidak berperan
dalam perjuangan bangsa.
Parahnya, stereotip ini terus dihidupkan dalam memori kolektif
orang Jawa sehingga makin menguatkan sikap diskriminatif terhadap etnis
tersebut. Ini jelas sangat menyakitkan.
Kini, pemikiran demikian tidak bisa dibiarkan terus berkembang.
Memasuki masa reformasi, kehidupan demokrasi mencapai fase semakin matang.
Diskriminasi suku, ras, agama, dan golongan semestinya tidak beroleh tempat.
Perkembangan demokrasi mendorong pembentukan masyarakat
multikultural yang seyogianya lebih mampu menghargai segala macam perbedaan.
Pluralisme tidak dapat dihindari sebagai anugerah Tuhan. Masyarakat harus
membuka diri untuk menerima kenyataan bahwa warga Tionghoa yang sejak
beradab-abad telah menjadi bagian bangsa ini, banyak sumbangsih selama
perjuangan dan mengisi kemerdekaan.
Pada Hari Pahlawan 10
November ini, masyarakat diajak kembali menilik sejarah. Selama ini, utamanya
masa Orde Baru, telah terjadi segregasi berupaya memisahkan Tionghoa dari
komponen bangsa lainnya. Padahal, ada banyak tokoh dan pemuda Tionghoa
berperan dalam perjalanan bangsa.
Peringatan Hari Pahlawan kiranya dapat menjadi momentum untuk
mengenalkan patriot-patriot Tionghoa yang turut melebur dan berjuang bersama
dengan kelompok masyarakat lainnya selama perjuangan. Mereka juga ikut
mengorbankan jiwa, raga, pikiran, dan harta milik demi kemerdekaan bangsa dan
negara.
Patriotisme masyarakat Tionghoa berarti ikut memiliki Indonesia
sebagai tanah tumpah darah sehingga mendorong berkorban demi penegakan
Republik Indonesia. Ini membuktikan kemajemukan masyarakat Nusantara sejak
dulu telah nyata. Warga sudah menyadari, setiap orang berhak berkumpul dan
hidup bersama sebagai bangsa yang satu.
Sebelum 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia lebih dulu ada. Ini
dinyatakan secara formal dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Peserta
berikrar bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia.
Benedict Anderson (2001) menyebut bangsa sebagai komunitas
terbayang (imagined communities)
karena sebagian besar anggota tidak saling mengenal, tidak bertatap muka,
bahkan tidak mendengar tentang warga lain. Namun, di benak setiap anggota
bangsa hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan.
Gelar
Jauh sebelum kolonial Belanda datang, orang Tionghoa sudah
berdagang dan berinteraksi di Nusantara. Mereka disebut turut berperan dalam
perkembangan agama Islam sebagaimana diwakili cerita Laksamana Cheng Ho. Hanya
geraknya dipersempit lewat penetapan zona tinggal berupa Kampung Pecinan
serta sistem surat jalan.
Gerakan mereka menentang penjajahan Belanda dapat ditelusuri
mulai dari tragedi pembantaian massal orang Tionghoa di Muara Angke tahun
1740. Peristiwa ini kemudian berimbas di Jawa lewat Geger Pecinan 1740–1743.
Perang melawan Belanda dipimpin Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) alias Tay Wan
Soey. Konflik Sepanjang termasuk berskala besar, sepadan dengan perang Sepoy
di India.
Benny G Setiono (2008) mencatat, pada masa pergerakan nasional
awal abad 20, di Batavia, Bogor, Sukabumi, dan kota-kota lainnya muncul
gerakan Jong Chineesche Beweging. Namun, sayang, pergerakan mereka tidak
pernah tercatat dalam sejarah. Saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, beberapa
orang Tionghoa juga hadir, di antaranya Kwee Thiam Hong (Daud Budiman), Ong
Khai Siang, Jong Liauw Tjoan Hok, Tjio Jin Kwee, dan Muhammad Chai.
Kesadaran kebangsaan semakin tumbuh di kalangan Tionghoa. Liem
Koen Hian, seorang Tionghoa sekaligus nasionalis, mendirikan Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) yang mau memperjuangkan nasib rakyat bersama-sama organisasi
nasionalis lainnya. Mereka juga memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pada masa-masa mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, ada empat
tokoh Tionghoa menjadi anggota BPUPKI: Liem Koen Hian, Oei Tiang Tjoei, Oei
Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Demikian juga di dalam PPKI ada Yap Tjwan Bing.
Setelah kemerdekaan, beberapa tokoh Tionghoa ambil bagian dalam pemerintahan
seperti Oei Tjoe Tat, Siauw Giok Tjhan, Tan Po Gwan. Ini belum termasuk yang
berkarya di bidang lain, seperti Onghokham, Yap Thiam Hien, dan Liem Swie
King.
Demikian pula dalam Pertempuran 10 November 1945 Surabaya yang
kemudian dijadikan sebagai peringatan Hari Pahlawan, pemuda Tionghoa ikut
angkat senjata. Tionghoa Surabaya membentuk TKR Chungking dan Barisan Palang
Merah Tionghoa yang menolong para korban perang, tanpa membedakan suku.
Beberapa pemuda Tionghoa Malang juga bergabung dalam barisan
Bung Tomo, di antaranya Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Di daerah lain
masih banyak pejuang Tionghoa, sebut saja Tang Kim Teng dari Riau, Tony Wen
dari Bangka, Ferry Sie King Lien dari Solo, hingga Laksda TNI (Purn) John Lie
Tjeng Tjoan alias Jahja Daniel Dharma.
Dari sekian banyak nama tersebut, hanya John Lie yang sudah
diangkat menjadi pahlawan nasional. Itu pun baru 9 November 2009. John Lie,
Tionghoa asal Manado yang terjun dalam bidang militer, melakukan operasi
penyelundupan senjata tahun 1947 untuk memasok TNI menghadapi agresi militer
Belanda.
John Lie juga berjasa dalam operasi penumpasan DI/TII
Kartosuwirjo, RMS, dan PRRI/Permesta. Tahun 2014 ini, pemerintah mengabadikan
namanya pada salah satu kapal perang TNI AL. Pada 5 Oktober 2014, KRI John
Lie bersanding bersama KRI Bung Tomo dan KRI Usman-Harun.
Setelah dibungkam lama, era reformasi menjadi titik balik bagi
Tionghoa untuk kembali berperan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
politik. Selain itu, diharapkan ada penghargaan yang “pantas” bagi para
pejuang Tionghoa. Pemerintah perlu memperhatikan usulan-usulan untuk memberi
gelar pahlawan pada mereka.
Secara umum, dengan mempelajari sejarah Tionghoa diharapkan
semakin memupuk sikap menghargai dan menerima keberadaan etnis Tionghoa
sebagai bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia seperti suku lainnya.
Ini penting dalam rangka pendidikan demokrasi generasi muda agar terhindar
konflik antaretnis sehingga terbentuk civil
society. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar