Selasa, 18 November 2014

Robohnya Moralitas Kampus

Robohnya Moralitas Kampus

Rakhmat Hidayat  ;   Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
PhD lulusan Universite Lumiere Lyon 2 France
REPUBLIKA, 17 November 2014

                                                                                                                       


Saya sungguh kaget dengan penangkapan Prof Musakkir (M), guru besar FH Universitas Hasanudin (Unhas) karena dugaan pemakaian narkoba di sebuah hotel, di Makassar. Di kalangan koleganya, mereka tak percaya dengan kasus penangkapan M. Apalagi, M dikenal sebagai sosok yang religius. Meski mereka tak percaya, pihak kepolisian mengatakan bahwa M sudah lama diincar sebagai target operasi.

Sebagai komitmen hukum, tentu kita harus menempatkan dan menghormati kasus ini pada proses hukum yang berlaku. Rektor Unhas langsung bergerak cepat dengan mencopot M dari jabatannya sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni.

Selagi proses hukum berlaku, kita bisa memberikan beberapa analisis di balik kasus tersebut. Prof M bukan sekadar dosen biasa yang terjerat dugaan kasus narkoba. Dia adalah akademisi yang menyandang guru besar, otoritas tertinggi di universitas. Dari keilmuan, M adalah ahli dalam bidang hukum yang seharusnya sudah di luar kepala mengenai kasus dan hukuman narkoba. M juga menjadi pejabat kampus Unhas, kampus terbesar di Indonesia timur. Kurang apalagi yang melekat dalam diri M.

Dengan berbagai keterlekatan ini, kasus yang menimpa M boleh dikatakan sangat fenomenal dan menyedihkan di dunia kampus sepanjang tahun 2014. Kasus-kasus yang terjadi di kalangan akademisi sejauh ini biasanya terjadi karena plagiarisme dan kasus korupsi yang melanda akademisi dengan tugas sebagai pejabat publik. Tidak mengherankan jika kasus M membuat kita tersentak karena menjadi tamparan keras bagi kalangan akademisi.

Posisi guru besar

Kasus M menjadi sorotan publik karena pelakunya adalah seorang guru besar. Kasus yang terjadi adalah pemakaian narkoba yang notabene menjadi musuh bersama. Selain itu, pelaku ketika tertangkap tangan didampingi mahasiswi. Kontan membuat kasus ini menjadi perhatian publik.

Guru besar adalah posisi seorang akademisi yang paripurna dalam karier akademiknya. Tak semua akademisi bisa meraih guru besar. Apalagi dengan berbagai kasus plagiarisme yang terjadi belakangan, pengusulan guru besar semakin diperketat. Salah satu persyaratan mengajukan guru besar adalah melakukan publikasi internasional di sebuah jurnal internasional. Ketatnya persyaratan ini menjadikan guru besar lebih selektif sebagai upaya akselerasi akademik di Indonesia.

Guru besar di sebuah kampus adalah otoritas akademik tertinggi yang disegani dan dihormati. Mereka dihormati karena memiliki basis keilmuan yang sangat lengkap sebagai ilmuwan sejati. Keberadaan guru besar bisa menjaga dan mempertahankan tradisi akademik sekaligus menjadi benteng moral kampus.

Kasus M yang bukan hanya mencoreng wajah kampus tetapi juga mencoreng korps guru besar yang sejatinya menjadi garda depan penjaga moral dan integritas kampus. Dengan basis ilmu dan integritas yang dimilikinya, guru besar harusnya menjadi role model akademisi muda dalam mengembangkan keilmuannya. Dengan cara ini, kampus bisa menjalankan transfer keilmuan secara konsisten. Tidak ada ketimpangan generasi antara guru besar dengan akademisi muda.

Moralitas kampus

Kasus yang menimpa M adalah bentuk lain dari rapuhnya moralitas kampus yang digawangi guru besar. Kampus kehilangan fungsi elan vitalnya di tengah masyarakat. Kampus mulai tergerus cita-cita luhurnya sebagai kekuatan transformasi sosial di tengah kepungan nilai-nilai pragmatisme. Kampus dihadapkan pada setumpuk masalah yang terus menggelayutinya. Mulai dari kekerasan mahasiswa, korupsi, plagiarisme, hingga narkoba.

Kasus yang menimpa M tak lain adalah kritik keras terhadap wajah pendidikan tinggi Indonesia. Kita bertanya, jangan-jangan kampus sudah kehilangan arahnya jika membaca kasus M sebagai gunung es. Jika kita menyimak dengan saksama kasus-kasus pemakaian narkoba di kalangan mahasiswa di dalam kampus, apakah kasus M menjustifikasi sekaligus merefleksikan bahwa narkoba sudah akrab dan bersarang di kampus termasuk mahasiswa dan akademisinya.

Saya tak ingin menggeneralisasi kasus M dalam konteks akademisi secara lebih luas karena kasus ini masih dalam penyelidikan. Tetapi, kita patut bertanya, jika M benar menggunakan narkoba, berarti kita patut curiga bahwa kampus sudah sedemikian parahnya terjangkit virus narkoba. Kasus M ini akan menjadi preseden buruk bagi warga kampus lainnya, terutama mahasiswa. Mahasiswa akan berpikir mengonsumsi narkoba adalah hal biasa karena seorang professor seperti M juga melakukan hal yang sama. Inilah yang kemudian bisa mereproduksi realitas sosial yang sama.

Kasus M sejatinya tak hanya membawa nama pribadinya di lingkungan Unhas. Tetapi juga membawa posisi kampus sebagai ruang sosial yang masih dipercaya publik sebagai kekuatan dalam pembangunan sosial. M tidak sedang menjadi pemain tunggal. M berada pada ruang yang sangat kompleks. Ia berhadapan bukan hanya dengan rektor yang menjadi atasannya dan warga kampus Unhas. M adalah elite penting dari kampus yang memiliki otoritas politik kampus dan otoritas akademik. Keduanya bersenyawa dalam sosok M.

Kasus M adalah cara lain menelanjangi kebobrokan kampus dengan perlahan-lahan membuka topengnya yang selama ini berada di menara gading. M membuka cara berpikir kita bahwa kampus bukan malaikat. Ekspektasi terhadap kampus dan sosok profesor setidaknya terbantahkan dengan kasus M. Bahwa profesor pun bisa tersandung kasus apalagi dugaan kasus narkoba.

Apa yang harus dilakukan? Tentu kasus M harus menjadi pelajaran penting bagi kampus, khususnya elite-elite kampus yang mengemban amanah. Jabatan dan kekuasaan adalah titipan sementara. Kasus ini harus dituntaskan secara komprehensif dan proporsional agar menjadi terang benderang.

Kampus harus kembali mengokohkan visi dan nilai-nilai luhur yang dianutnya. Tak mudah memang melakukan ini di tengah gempuran nilai-nilai pragmatisme yang menjangkiti seluruh masyarakat. Mengembalikan kepercayaan publik kepada kampus sebagai agen pembangunan sosial rasanya menjadi agenda penting yang harus dilakukan.

Jika rakyat sudah tak percaya kepada kampus, kepada siapa lagi harapan rakyat akan disalurkan sementara lembaga politik kita masih tersandera dengan konflik yang sudah tertanam dengan kuat. Dalam konteks perang terhadap narkoba, kampus harus kerja keras untuk terus bersih-bersih warganya dari narkoba. Gerakan tes urine secara temporer mungkin bisa dilakukan untuk mengurangi narkoba di kampus.

Perang terhadap narkoba di kampus tak cukup dilakukan secara seremonial tetapi juga harus melibatkan contoh dan teladan dari elite-elitenya. Teladan dari elite kampus akan memberikan pengaruh kepada warga kampus lainnya. Dengan cara ini, kampus tetap konsisten memerangi narkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar