Robohnya
Moralitas Kampus
Rakhmat Hidayat ; Sosiolog
Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
PhD lulusan
Universite Lumiere Lyon 2 France
|
REPUBLIKA,
17 November 2014
Saya sungguh kaget dengan penangkapan Prof Musakkir (M), guru besar FH
Universitas Hasanudin (Unhas) karena dugaan pemakaian narkoba di sebuah
hotel, di Makassar. Di kalangan koleganya, mereka tak percaya dengan kasus
penangkapan M. Apalagi, M dikenal sebagai sosok yang religius. Meski mereka
tak percaya, pihak kepolisian mengatakan bahwa M sudah lama diincar sebagai
target operasi.
Sebagai komitmen hukum, tentu kita harus menempatkan dan menghormati
kasus ini pada proses hukum yang berlaku. Rektor Unhas langsung bergerak
cepat dengan mencopot M dari jabatannya sebagai Wakil Rektor Bidang
Kemahasiswaan dan Alumni.
Selagi proses hukum berlaku, kita bisa memberikan beberapa analisis di
balik kasus tersebut. Prof M bukan sekadar dosen biasa yang terjerat dugaan
kasus narkoba. Dia adalah akademisi yang menyandang guru besar, otoritas
tertinggi di universitas. Dari keilmuan, M adalah ahli dalam bidang hukum
yang seharusnya sudah di luar kepala mengenai kasus dan hukuman narkoba. M
juga menjadi pejabat kampus Unhas, kampus terbesar di Indonesia timur. Kurang
apalagi yang melekat dalam diri M.
Dengan berbagai keterlekatan ini, kasus yang menimpa M boleh dikatakan
sangat fenomenal dan menyedihkan di dunia kampus sepanjang tahun 2014.
Kasus-kasus yang terjadi di kalangan akademisi sejauh ini biasanya terjadi
karena plagiarisme dan kasus korupsi yang melanda akademisi dengan tugas
sebagai pejabat publik. Tidak mengherankan jika kasus M membuat kita
tersentak karena menjadi tamparan keras bagi kalangan akademisi.
Posisi
guru besar
Kasus M menjadi sorotan publik karena pelakunya adalah seorang guru
besar. Kasus yang terjadi adalah pemakaian narkoba yang notabene menjadi
musuh bersama. Selain itu, pelaku ketika tertangkap tangan didampingi
mahasiswi. Kontan membuat kasus ini menjadi perhatian publik.
Guru besar adalah posisi seorang akademisi yang paripurna dalam karier
akademiknya. Tak semua akademisi bisa meraih guru besar. Apalagi dengan
berbagai kasus plagiarisme yang terjadi belakangan, pengusulan guru besar
semakin diperketat. Salah satu persyaratan mengajukan guru besar adalah
melakukan publikasi internasional di sebuah jurnal internasional. Ketatnya
persyaratan ini menjadikan guru besar lebih selektif sebagai upaya akselerasi
akademik di Indonesia.
Guru besar di sebuah kampus adalah otoritas akademik tertinggi yang
disegani dan dihormati. Mereka dihormati karena memiliki basis keilmuan yang
sangat lengkap sebagai ilmuwan sejati. Keberadaan guru besar bisa menjaga dan
mempertahankan tradisi akademik sekaligus menjadi benteng moral kampus.
Kasus M yang bukan hanya mencoreng wajah kampus tetapi juga mencoreng
korps guru besar yang sejatinya menjadi garda depan penjaga moral dan
integritas kampus. Dengan basis ilmu dan integritas yang dimilikinya, guru
besar harusnya menjadi role model akademisi muda dalam mengembangkan
keilmuannya. Dengan cara ini, kampus bisa menjalankan transfer keilmuan
secara konsisten. Tidak ada ketimpangan generasi antara guru besar dengan
akademisi muda.
Moralitas
kampus
Kasus yang menimpa M adalah bentuk lain dari rapuhnya moralitas kampus
yang digawangi guru besar. Kampus kehilangan fungsi elan vitalnya di tengah
masyarakat. Kampus mulai tergerus cita-cita luhurnya sebagai kekuatan
transformasi sosial di tengah kepungan nilai-nilai pragmatisme. Kampus
dihadapkan pada setumpuk masalah yang terus menggelayutinya. Mulai dari
kekerasan mahasiswa, korupsi, plagiarisme, hingga narkoba.
Kasus yang menimpa M tak lain adalah kritik keras terhadap wajah
pendidikan tinggi Indonesia. Kita bertanya, jangan-jangan kampus sudah
kehilangan arahnya jika membaca kasus M sebagai gunung es. Jika kita menyimak
dengan saksama kasus-kasus pemakaian narkoba di kalangan mahasiswa di dalam
kampus, apakah kasus M menjustifikasi sekaligus merefleksikan bahwa narkoba
sudah akrab dan bersarang di kampus termasuk mahasiswa dan akademisinya.
Saya tak ingin menggeneralisasi kasus M dalam konteks akademisi secara
lebih luas karena kasus ini masih dalam penyelidikan. Tetapi, kita patut
bertanya, jika M benar menggunakan narkoba, berarti kita patut curiga bahwa
kampus sudah sedemikian parahnya terjangkit virus narkoba. Kasus M ini akan
menjadi preseden buruk bagi warga kampus lainnya, terutama mahasiswa.
Mahasiswa akan berpikir mengonsumsi narkoba adalah hal biasa karena seorang
professor seperti M juga melakukan hal yang sama. Inilah yang kemudian bisa
mereproduksi realitas sosial yang sama.
Kasus M sejatinya tak hanya membawa nama pribadinya di lingkungan
Unhas. Tetapi juga membawa posisi kampus sebagai ruang sosial yang masih
dipercaya publik sebagai kekuatan dalam pembangunan sosial. M tidak sedang
menjadi pemain tunggal. M berada pada ruang yang sangat kompleks. Ia
berhadapan bukan hanya dengan rektor yang menjadi atasannya dan warga kampus
Unhas. M adalah elite penting dari kampus yang memiliki otoritas politik
kampus dan otoritas akademik. Keduanya bersenyawa dalam sosok M.
Kasus M adalah cara lain menelanjangi kebobrokan kampus dengan
perlahan-lahan membuka topengnya yang selama ini berada di menara gading. M
membuka cara berpikir kita bahwa kampus bukan malaikat. Ekspektasi terhadap
kampus dan sosok profesor setidaknya terbantahkan dengan kasus M. Bahwa
profesor pun bisa tersandung kasus apalagi dugaan kasus narkoba.
Apa yang harus dilakukan? Tentu kasus M harus menjadi pelajaran penting
bagi kampus, khususnya elite-elite kampus yang mengemban amanah. Jabatan dan
kekuasaan adalah titipan sementara. Kasus ini harus dituntaskan secara
komprehensif dan proporsional agar menjadi terang benderang.
Kampus harus kembali mengokohkan visi dan nilai-nilai luhur yang
dianutnya. Tak mudah memang melakukan ini di tengah gempuran nilai-nilai
pragmatisme yang menjangkiti seluruh masyarakat. Mengembalikan kepercayaan
publik kepada kampus sebagai agen pembangunan sosial rasanya menjadi agenda
penting yang harus dilakukan.
Jika rakyat sudah tak percaya kepada kampus, kepada siapa lagi harapan
rakyat akan disalurkan sementara lembaga politik kita masih tersandera dengan
konflik yang sudah tertanam dengan kuat. Dalam konteks perang terhadap
narkoba, kampus harus kerja keras untuk terus bersih-bersih warganya dari
narkoba. Gerakan tes urine secara temporer mungkin bisa dilakukan untuk
mengurangi narkoba di kampus.
Perang terhadap narkoba di kampus tak cukup dilakukan secara seremonial
tetapi juga harus melibatkan contoh dan teladan dari elite-elitenya. Teladan
dari elite kampus akan memberikan pengaruh kepada warga kampus lainnya.
Dengan cara ini, kampus tetap konsisten memerangi narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar