Selasa, 18 November 2014

Merawat Kedaulatan di Perbatasan

Merawat Kedaulatan di Perbatasan

Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Universitas Indonesia
Bidang Hukum Internasional
MEDIA INDONESIA, 17 November 2014

                                                                                                                       


SEORANG anggota Dewan Perwakilan Daerah dari PAN, Ramli, menyampaikan temuan pada saat melakukan kunjungan kerja yang sempat menjadi sorotan berita. Disampaikan bahwa hampir seluruh warga di tiga desa yaitu Desa Simantipal, Desa Sinapad, dan Desa Sinokod, di Kecamatan Lumbis Ongong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, beralih kewarganegaraan dari Indonesia menjadi Malaysia.

Diberitakan pula ada eksodus warga dari wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia. Bahkan santer juga diberitakan Malaysia telah mengklaim wilayah itu sebagai milik mereka.

Berita itu telah memunculkan kehebohan saat Presiden Jokowi sedang berkunjung ke luar negeri. Publik pun bertanya, apakah itu berarti Indonesia akan kehilangan kedaulatannya? Mengapa warga di sana berpindah kewarganegaraan? Di mana kehadiran pemerintah?

Responsif

Dalam menanggapi pemberitaan itu tentu publik di Indonesia harus berkepala dingin. Informasi anggota DPRD, meski perlu diapresiasi, perlu diverifikasi.Di sinilah pentingnya pemerintah untuk bekerja cepat dan responsif dalam melakukan verifikasi.

Sayang pemerintah masih lamban. Awak media tidak memperoleh jawaban yang memuaskan karena ketika hal itu ditanyakan, para pejabat menjawab itu akan dipelajari terlebih dahulu.

Meski akhirnya Wakil Presiden dan sejumlah pejabat memberi klarifikasi, media sempat memberitakan informasi yang kurang akurat.Informasi yang kurang akurat telah memunculkan kemarahan publik karena terusik rasa kebangsaannya.

Di sinilah para pejabat di bawah pemerintahan Jokowi harus bekerja secara cepat, tanggap, dan responsif.Di era berita tayang secara on-line tidak boleh ada pejabat yang ketika dihubungi menyatakan akan mempelajari dahulu. Mereka harus memonitor setiap berita on-line dan bila itu berkaitan dengan bidang kerja, mereka segera mengumpulkan informasi dalam mengantisipasi pertanyaan dari para juru tinta.

Para wartawan perlu diberikan pencerahan secara tepat dan akurat sehingga informasi yang disampaikan ke publik tidak terdistorsi. Pemerintah juga wajib untuk melakukan up-date atas langkah-langkah yang telah diambil. Publik berharap, para pejabat menyampaikan tindak lanjut atas suatu permasalahan meski sudah tidak menjadi sorotan pers. Itu yang terjadi pada pemberitaan dua WNI yang tergabung dalam militer Singapura. Menteri Hukum dan HAM tidak melakukan update terhadap status WNI tersebut.

Pemahaman

Atas pemberitaan warga dari tiga desa yang beralih kewarganegaraan dan desa tersebut diklaim Malaysia, ternyata hal itu tidak seseram yang diberitakan media. Tidak seram apabila dipahami lima hal penting berikut.

Pertama, perlu dipahami bahwa dalam perbatasan di darat yang terdapat masyarakat, masyarakat tersebut tidak dapat dipilah secara tegas kewarganegaraannya. Kebanyakan dari mereka tidak memegang buku paspor sebagai identitas kewarganegaraan suatu negara.

Masyarakat di wilayah perbatasan masih terikat dengan kekerabatan.Mereka memiliki tali persaudaraan.Hubungan kekerabatan itu tentu tidak dapat terputus karena wilayah yang mereka tempati terbagi menjadi Indonesia dan Malaysia.
Bagi penduduk asli di wilayah perbatasan, pemerintah Indonesia dan Malaysia wajib menjamin agar masyarakat setempat meski dipisahkan garis teritorium tetap harus dapat berhubungan. Oleh karena itu, wilayah tersebut difasilitasi titik-titik tertentu tempat masyarakat dapat berpindah dari satu `negara' ke `negara' lain secara informal. Ketika memasuki negara lain, mereka tidak perlu menggunakan paspor.

Negara-negara yang memiliki penduduk di perbatasan yang terbelah karena garis teritorium wajib menjamin agar penduduk dapat tetap melakukan interaksi. Mereka tidak boleh dibatasi dalam menjalin hubungan kekerabatan.

Jaminan seperti ini telah diakomodasi dalam hukum internasional. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) pada 2007 mengeluarkan Resolusi Nomor 61/295 tentang Declaration on the Rights of Indigenous Peoples.
Pasal 36 ayat (1) resolusi tersebut menegaskan penduduk asli (indigenous people) yang terpisah oleh batas negara memiliki hak untuk tetap melakukan dan mengembangkan kontak, hubungan, dan kerja sama, termasuk kegiatan yang bertujuan spiritual, kebudayaan, politik, ekonomi, dan sosial dengan para anggotanya yang terpisah oleh batas negara. Dalam ayat (2) negara wajib mengambil langkah-langkah untuk mengambil tindakan nyata untuk memfasilitasi dilakukannya dan memastikan implementasi dari hak itu.

Kedua yang perlu dipahami ialah bagi penduduk setempat, untuk menunjukkan kewarganegaraan mereka tidak ada dokumen tertentu. Kalaupun ada, mereka hanya memegang kartu penduduk sebagai identitas kewarganegaraan mereka. Sayangnya karena kurang tertibnya administrasi, kerap seorang penduduk memegang dua kartu dari Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan 100% sudah berpindah kewarganegaraan atas dasar kartu penduduk yang dipegang.

Ketiga, kalaupun 100% warga dari 3 desa tersebut berikrar menjadi warga Malaysia, itu tidak berarti mengubah wilayah milik Indonesia menjadi milik Malaysia. Beralihnya kewarganegaraan tidak akan menjadikan wilayah Indonesia menjadi milik Malaysia.

Dalam perspektif Indonesia, dengan beralihnya kewarganegaraan dari warga setempat, desa tersebut didiami warga asing.

Ikrar itu tentu berbeda jika antara Indonesia dan Malaysia di tiga desa itu memiliki titik sengketa dan menyepakati penyelesaian sengketa melalui referendum penduduknya. Di sini suara masyarakat akan sangat vital dalam penentuan.

Keempat, publik harus paham ternyata di Kabupaten Nunukan masih ada titik-titik teritorium yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Titik-titik itu menjadi outstanding boundary problem (OBP) yang terus dinegosiasikan Indonesia dan Malaysia.

Berita yang mengesankan seolah ada klaim Malaysia terhadap wilayah Indonesia amat mungkin berada di titik-titik OBP. Tentu di titik tersebut Indonesia pun memiliki klaim.

Kalaulah ada wilayah yang secara tegas milik Indonesia kemudian diklaim Malaysia, sudah barang tentu panglima daerah militer setempat akan menggerakkan pasukannya.TNI sebagai penjaga kedaulatan Indonesia tidak mungkin membiarkan wilayah yang jelas-jelas dan secara yuridis berada di bawah kedaulatan Indonesia diklaim Malaysia.

Terakhir yang perlu dipahami publik ialah warga di tiga desa, kalaulah memang mereka lebih senang menjadi warga Malaysia, mungkin memilih itu karena kecewa bagaimana pemerintah memperlakukan mereka.Mereka seolah tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Bahkan mereka merasa lebih sejahtera di wilayah Malaysia.

Warga dari tiga desa itu sebenarnya mengungkapkan kekecewaan atas keberadaan mereka sebagai warga negara Indonesia. Mereka `iri' karena kondisi di seberang mereka lebih baik dari segi kesejahteraan, infrastruktur, dan sentra perekonomian.

Garda terdepan

Dalam dimensi darat yang dihuni penduduk, desa yang berbatasan dengan negara lain adalah garda terdepan. Itu penting untuk dipahami para pejabat dalam merawat kedaulatan di perbatasan.

Karena bergantung pada makmur tidaknya negara yang berbatasan, pengelolaan terhadap wilayah perbatasan akan berbeda.

Untuk desa yang berbatasan dengan negara yang tidak semakmur Indonesia, pemerintah perlu memastikan agar anggaran tidak jatuh pada penduduk dari negara yang bertetangga. Ini disebabkan ada kecenderungan penduduk negara yang berbatasan bermigrasi ke wilayah Indonesia.

Bila desa tersebut berbatasan dengan negara yang lebih makmur dari Indonesia, tingkat kesejahteraan harus di tingkat hingga minimal sama dengan negara yang berbatasan.

Itu dilakukan agar masyarakat di perbatasan tidak lentur rasa kebangsaannya.
Oleh karena itu, pembangunan di desa yang berbatasan dengan negara lain tidak dapat diserahkan kepada pemerintah daerah saja. Pemerintah pusat mempunyai tanggung jawab besar dalam membangun desa yang berbatasan dengan negara lain.

Pembangunan desa yang berbatasan akan sesuai dengan janji kampanye pemerintahan Jokowi. Janji tersebut ialah Indonesia akan dibangun mulai dari desa. Bahkan negara harus hadir di setiap wilayah yang berbatasan dengan negara lain.

Selanjutnya pemerintah dan aparatnya perlu menjaga agar dapat dicegah tindak kejahatan di wilayah perbatasan. Ada sejumlah tindak kejahatan yang rawan terjadi di antaranya penyelundupan, transaksi obat-obatan terlarang, hingga wilayah perbatasan digunakan sarana untuk melakukan perdagangan orang.
Di desa perbatasan aparat penegak hukum, khususnya imigrasi dan bea cukai, harus dapat membedakan antara penduduk asli dan pendatang. Itu penting karena kehadiran kebanyakan penduduk pendatang dimotivasi untuk melakukan tindak kejahatan.

Terakhir, pemerintah perlu secara terus-menerus menghadirkan kekuatan TNI. TNI harus diberikan anggaran yang memadai. Menjaga kedaulatan Indonesia bukanlah hal yang murah. TNI tidak akan dapat optimal menjaga kedaulatan secara efektif bila anggaran sekadarnya.

Merawat kedaulatan di perbatasan merupakan hal esensial bagi eksistensi NKRI. Oleh karena itu, dalam pemerintahan Jokowi para pejabat harus sensitif dan tanggap bila kedaulatan diganggu. Pada saat bersamaan mereka harus cepat menyampaikan informasi agar tidak terjadi kesalahpahaman di media sehingga publik akan mendapatkan informasi yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar