Merawat
Kedaulatan di Perbatasan
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Universitas Indonesia
Bidang Hukum
Internasional
|
MEDIA
INDONESIA, 17 November 2014
SEORANG
anggota Dewan Perwakilan Daerah dari PAN, Ramli, menyampaikan temuan pada
saat melakukan kunjungan kerja yang sempat menjadi sorotan berita.
Disampaikan bahwa hampir seluruh warga di tiga desa yaitu Desa Simantipal,
Desa Sinapad, dan Desa Sinokod, di Kecamatan Lumbis Ongong, Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Utara, beralih kewarganegaraan dari Indonesia menjadi
Malaysia.
Diberitakan
pula ada eksodus warga dari wilayah Indonesia ke wilayah Malaysia. Bahkan
santer juga diberitakan Malaysia telah mengklaim wilayah itu sebagai milik
mereka.
Berita
itu telah memunculkan kehebohan saat Presiden Jokowi sedang berkunjung ke
luar negeri. Publik pun bertanya, apakah itu berarti Indonesia akan
kehilangan kedaulatannya? Mengapa warga di sana berpindah kewarganegaraan? Di
mana kehadiran pemerintah?
Responsif
Dalam
menanggapi pemberitaan itu tentu publik di Indonesia harus berkepala dingin.
Informasi anggota DPRD, meski perlu diapresiasi, perlu diverifikasi.Di
sinilah pentingnya pemerintah untuk bekerja cepat dan responsif dalam
melakukan verifikasi.
Sayang
pemerintah masih lamban. Awak media tidak memperoleh jawaban yang memuaskan
karena ketika hal itu ditanyakan, para pejabat menjawab itu akan dipelajari
terlebih dahulu.
Meski
akhirnya Wakil Presiden dan sejumlah pejabat memberi klarifikasi, media
sempat memberitakan informasi yang kurang akurat.Informasi yang kurang akurat
telah memunculkan kemarahan publik karena terusik rasa kebangsaannya.
Di
sinilah para pejabat di bawah pemerintahan Jokowi harus bekerja secara cepat,
tanggap, dan responsif.Di era berita tayang secara on-line tidak boleh ada
pejabat yang ketika dihubungi menyatakan akan mempelajari dahulu. Mereka
harus memonitor setiap berita on-line dan bila itu berkaitan dengan bidang
kerja, mereka segera mengumpulkan informasi dalam mengantisipasi pertanyaan
dari para juru tinta.
Para
wartawan perlu diberikan pencerahan secara tepat dan akurat sehingga
informasi yang disampaikan ke publik tidak terdistorsi. Pemerintah juga wajib
untuk melakukan up-date atas
langkah-langkah yang telah diambil. Publik berharap, para pejabat
menyampaikan tindak lanjut atas suatu permasalahan meski sudah tidak menjadi
sorotan pers. Itu yang terjadi pada pemberitaan dua WNI yang tergabung dalam
militer Singapura. Menteri Hukum dan HAM tidak melakukan update terhadap status WNI tersebut.
Pemahaman
Atas
pemberitaan warga dari tiga desa yang beralih kewarganegaraan dan desa
tersebut diklaim Malaysia, ternyata hal itu tidak seseram yang diberitakan
media. Tidak seram apabila dipahami lima hal penting berikut.
Pertama,
perlu dipahami bahwa dalam perbatasan di darat yang terdapat masyarakat,
masyarakat tersebut tidak dapat dipilah secara tegas kewarganegaraannya.
Kebanyakan dari mereka tidak memegang buku paspor sebagai identitas
kewarganegaraan suatu negara.
Masyarakat
di wilayah perbatasan masih terikat dengan kekerabatan.Mereka memiliki tali
persaudaraan.Hubungan kekerabatan itu tentu tidak dapat terputus karena
wilayah yang mereka tempati terbagi menjadi Indonesia dan Malaysia.
Bagi
penduduk asli di wilayah perbatasan, pemerintah Indonesia dan Malaysia wajib
menjamin agar masyarakat setempat meski dipisahkan garis teritorium tetap
harus dapat berhubungan. Oleh karena itu, wilayah tersebut difasilitasi
titik-titik tertentu tempat masyarakat dapat berpindah dari satu `negara' ke
`negara' lain secara informal. Ketika memasuki negara lain, mereka tidak
perlu menggunakan paspor.
Negara-negara
yang memiliki penduduk di perbatasan yang terbelah karena garis teritorium
wajib menjamin agar penduduk dapat tetap melakukan interaksi. Mereka tidak
boleh dibatasi dalam menjalin hubungan kekerabatan.
Jaminan
seperti ini telah diakomodasi dalam hukum internasional. Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) pada 2007 mengeluarkan Resolusi Nomor
61/295 tentang Declaration on the
Rights of Indigenous Peoples.
Pasal 36
ayat (1) resolusi tersebut menegaskan penduduk asli (indigenous people) yang terpisah oleh batas negara memiliki hak
untuk tetap melakukan dan mengembangkan kontak, hubungan, dan kerja sama,
termasuk kegiatan yang bertujuan spiritual, kebudayaan, politik, ekonomi, dan
sosial dengan para anggotanya yang terpisah oleh batas negara. Dalam ayat (2)
negara wajib mengambil langkah-langkah untuk mengambil tindakan nyata untuk
memfasilitasi dilakukannya dan memastikan implementasi dari hak itu.
Kedua
yang perlu dipahami ialah bagi penduduk setempat, untuk menunjukkan
kewarganegaraan mereka tidak ada dokumen tertentu. Kalaupun ada, mereka hanya
memegang kartu penduduk sebagai identitas kewarganegaraan mereka. Sayangnya karena
kurang tertibnya administrasi, kerap seorang penduduk memegang dua kartu dari
Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan 100% sudah
berpindah kewarganegaraan atas dasar kartu penduduk yang dipegang.
Ketiga,
kalaupun 100% warga dari 3 desa tersebut berikrar menjadi warga Malaysia, itu
tidak berarti mengubah wilayah milik Indonesia menjadi milik Malaysia.
Beralihnya kewarganegaraan tidak akan menjadikan wilayah Indonesia menjadi
milik Malaysia.
Dalam
perspektif Indonesia, dengan beralihnya kewarganegaraan dari warga setempat,
desa tersebut didiami warga asing.
Ikrar
itu tentu berbeda jika antara Indonesia dan Malaysia di tiga desa itu
memiliki titik sengketa dan menyepakati penyelesaian sengketa melalui
referendum penduduknya. Di sini suara masyarakat akan sangat vital dalam
penentuan.
Keempat,
publik harus paham ternyata di Kabupaten Nunukan masih ada titik-titik
teritorium yang menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Titik-titik
itu menjadi outstanding boundary
problem (OBP) yang terus dinegosiasikan Indonesia dan Malaysia.
Berita
yang mengesankan seolah ada klaim Malaysia terhadap wilayah Indonesia amat
mungkin berada di titik-titik OBP. Tentu di titik tersebut Indonesia pun
memiliki klaim.
Kalaulah
ada wilayah yang secara tegas milik Indonesia kemudian diklaim Malaysia,
sudah barang tentu panglima daerah militer setempat akan menggerakkan
pasukannya.TNI sebagai penjaga kedaulatan Indonesia tidak mungkin membiarkan
wilayah yang jelas-jelas dan secara yuridis berada di bawah kedaulatan
Indonesia diklaim Malaysia.
Terakhir
yang perlu dipahami publik ialah warga di tiga desa, kalaulah memang mereka
lebih senang menjadi warga Malaysia, mungkin memilih itu karena kecewa
bagaimana pemerintah memperlakukan mereka.Mereka seolah tidak mendapat
perhatian dari pemerintah. Bahkan mereka merasa lebih sejahtera di wilayah
Malaysia.
Warga
dari tiga desa itu sebenarnya mengungkapkan kekecewaan atas keberadaan mereka
sebagai warga negara Indonesia. Mereka `iri' karena kondisi di seberang
mereka lebih baik dari segi kesejahteraan, infrastruktur, dan sentra
perekonomian.
Garda terdepan
Dalam
dimensi darat yang dihuni penduduk, desa yang berbatasan dengan negara lain
adalah garda terdepan. Itu penting untuk dipahami para pejabat dalam merawat
kedaulatan di perbatasan.
Karena
bergantung pada makmur tidaknya negara yang berbatasan, pengelolaan terhadap
wilayah perbatasan akan berbeda.
Untuk
desa yang berbatasan dengan negara yang tidak semakmur Indonesia, pemerintah
perlu memastikan agar anggaran tidak jatuh pada penduduk dari negara yang
bertetangga. Ini disebabkan ada kecenderungan penduduk negara yang berbatasan
bermigrasi ke wilayah Indonesia.
Bila
desa tersebut berbatasan dengan negara yang lebih makmur dari Indonesia,
tingkat kesejahteraan harus di tingkat hingga minimal sama dengan negara yang
berbatasan.
Itu
dilakukan agar masyarakat di perbatasan tidak lentur rasa kebangsaannya.
Oleh
karena itu, pembangunan di desa yang berbatasan dengan negara lain tidak
dapat diserahkan kepada pemerintah daerah saja. Pemerintah pusat mempunyai
tanggung jawab besar dalam membangun desa yang berbatasan dengan negara lain.
Pembangunan
desa yang berbatasan akan sesuai dengan janji kampanye pemerintahan Jokowi. Janji
tersebut ialah Indonesia akan dibangun mulai dari desa. Bahkan negara harus
hadir di setiap wilayah yang berbatasan dengan negara lain.
Selanjutnya
pemerintah dan aparatnya perlu menjaga agar dapat dicegah tindak kejahatan di
wilayah perbatasan. Ada sejumlah tindak kejahatan yang rawan terjadi di antaranya
penyelundupan, transaksi obat-obatan terlarang, hingga wilayah perbatasan
digunakan sarana untuk melakukan perdagangan orang.
Di desa
perbatasan aparat penegak hukum, khususnya imigrasi dan bea cukai, harus
dapat membedakan antara penduduk asli dan pendatang. Itu penting karena
kehadiran kebanyakan penduduk pendatang dimotivasi untuk melakukan tindak
kejahatan.
Terakhir,
pemerintah perlu secara terus-menerus menghadirkan kekuatan TNI. TNI harus
diberikan anggaran yang memadai. Menjaga kedaulatan Indonesia bukanlah hal
yang murah. TNI tidak akan dapat optimal menjaga kedaulatan secara efektif
bila anggaran sekadarnya.
Merawat
kedaulatan di perbatasan merupakan hal esensial bagi eksistensi NKRI. Oleh
karena itu, dalam pemerintahan Jokowi para pejabat harus sensitif dan tanggap
bila kedaulatan diganggu. Pada saat bersamaan mereka harus cepat menyampaikan
informasi agar tidak terjadi kesalahpahaman di media sehingga publik akan
mendapatkan informasi yang salah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar