Sabtu, 01 November 2014

Kabinet Bukan Impian

Kabinet Bukan Impian

Moch Nurhasim  ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
KORAN SINDO, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Minggu, 26/10/2014 sore menjelang malam hari, Presiden dan Wapres Joko Widodo-Jusuf Kalla akhirnya mengumumkan 34 nama sebagai menteri pembantu mereka. Tak ada yang istimewa dari drama pengumuman nama-nama menteri yang ditunggu- tunggu oleh publik. Kabinet Kerja Jokowi-JK pun tidak seindah yang diwacanakan sebelumnya, kabinet ramping dan profesional. Sebulan sebelum Jokowi-JK dilantik, Rumah Transisi pernah meminta beberapa tim untuk menggodok postur kabinet. Usulan nomenklatur kabinet yang diberikan para ahli pun beragam, mulai dari kabinet ramping antara 22-23 kementerian hingga kabinet yang posturnya berjumlah tidak sampai 34 kementerian.

Dari usulan postur kabinet yang disusun para ahli, tak satu pun yang diterima Jokowi. Postur kabinet tampaknya lebih mengikuti cara berpikir Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak perlu berubah dari postur kabinet yang pernah ada sebelumnya, sehingga pemerintahan langsung bisa cepat bekerja. Wacana pun kemudian dibelokkan, diputar 360 derajat mengikuti logika perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah kementerian.

Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan, Singapura saja yang jumlah penduduknya lebih sedikit memiliki kurang lebih 34 kementerian, demikian pula dengan Malaysia. Wacana itu dimunculkan untuk melegitimasi bahwa gagasan perampingan kabinet oleh Jokowi tidak mungkin dapat dilakukan. Ada dua faktor yang menyulitkan perampingan kabinet terjadi. Pertama, perubahan nomenklatur kabinet akan memakan waktu relatif panjang, bisa satu sampai dua tahun.

Proses yang panjang dapat menghambat kerja pemerintah. Kedua, dengan perampingan, jatah menteri dari partai-partai koalisi bisa saja terkurangi. Atau kesulitan dalam memilih nama-nama orang yang disodorkan. Itu membuat langkah Presiden Jokowi terbatas. Jokowi sebagai presiden tampaknya tidak dapat berbuat banyak, kalau tidak dikatakan ”pasrah,” dalam menentukan skenario postur kabinet yang berisi jatah partai koalisi, unsur profesional, dan orang-orang tertentu ”yang dititipkan”.

Dari 34 kementerian yang diumumkan, partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) memperoleh lebih dari 20 jatah kursi, sisanya 14 menteri diisi kalangan profesional dan militer. Tidak ada yang baru dari komposisi postur kabinet Jokowi-JK, yang berasal dari politisi partai, militer, pengusaha, dan profesional. Dari postur kabinet yang diumumkan hari minggu yang lalu, partai koalisi Jokowi-JK seperti PPP, Nas- Dem, Hanura, PKB, dan PDIP masing-masing diberi jatah menteri secara proporsional.

PDIP jumlahnya hanya empat, namun banyak dari kalangan profesional yang menjadi menteri yang memiliki kedekatan dengan lingkaran PDIP. Salah satu yang mencolok adalah kursi menteri khusus yang dihadiahkan ke Puan Maharani hingga harus dibuatkan kementerian baru bernama Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Orang-orang dekat Megawati seperti Rini Sumarno dan Tjahjo Kumolo pun memperoleh tempat yang strategis.

Rini Sumarno, sosok kontroversial yang dekat dengan Mega, pun menduduki posisi menteri yang sangat strategis sebagai menteri BUMN. Sementara Tjahjo Kumolo sebagai menteri dalam negeri. Dari nama-nama menteri yang diumumkan, publik tak perlu euforia, tak banyak kejutan dari nama-nama yang dicalonkan sebagai menteri pada Kabinet Kerja Jokowi-JK. Tak ada yang baru atau mencengangkan dari postur kabinet yang dibentuk Jokowi-JK.

Kabinet yang diumumkan pun jauh dari impian banyak orang, yang awal-awalnya menaruh harapan begitu besar sebagai kabinet ramping, kabinet profesional, dan kabinet kerja (zaken kabinet ). Tak ada tokoh-tokoh yang akan membawa langkah perubahan yang cepat dalam kabinet yang baru saja disahkan Presiden Jokowi. Dari segi penempatan orang, ada beberapa hal yang menarik karena penempatan orangorang tertentu tidak sematamata didasarkan pertimbangan kemampuan dan kecocokan kursi menteri yang akan didudukinya.

Sebagai contoh, hilangnya nama Wiranto dalam diskursus nama menteri, menyebabkan masuknya nama Saleh Husin. Munculnya Saleh Husin, politisi Hanura, menyebabkan bergesernya Rachmat Gobel dari awalnya sebagai menteri perindustrian menjadi menteri perdagangan. Demikian pula penempatan Ferry Mursyidan Baldan, mantan politisi dari Partai Golkar yang pindah ke Nas- Dem ini, menempati posisi sebagai menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN.

Sementara postur kementerian di bidang ekonominya pun tidak terlalu ”kuat,” dibandingkan dengan struktur kabinet di era pemerintahan sebelumnya. Akademisi dari Universitas Indonesia pun terkesan sangat mendominasi. Dari segi kabinet yang bersih, tak ada jaminan dari itu semua.

Rekomendasi KPK dan PPATK adalah rekomendasi yang biasa, bukan rekomendasi yang spesial yang hanya dilakukan Presiden Jokowi ketika ingin menempatkan seorang pejabat. Itu juga bukan tradisi baru karena sebelumnya, Presiden SBY sudah menjadikan rekomendasi KPK dan PPATK sebagai rujukan pertama untuk menempatkan seorang pejabat.

Lolosnya dua nama yang diduga berapor ”merah” seperti telah disampaikan KPK kepada Presiden Jokowi memupus harapan bahwa kabinet yang dibentuk adalah kabinet yang sungguh-sungguh bersih. Posisi-posisi strategis kabinet lebih banyak dikuasai politisi ketimbang oleh orang-orang profesional. Posisi-posisi itu seperti menteri BUMN, ESDM, perindustrian, menkoperokonomian, menkopolhukam, dan menteri dalam negeri.

Keinginan awal Jokowi untuk membangun postur kabinet tanpa syarat, tidak bisa didikte oleh partai koalisi, tampaknya juga tidak terbukti. Menteri-menteri yang diangkat juga sebagian mewakili kepentingan koalisi partai yang mendukungnya seperti politisi dari NasDem, Hanura, PDIP, PKB, dan PPP. Partai pendukung KIH memperoleh jatah yang berbeda- beda, PPP misalnya memperoleh 1 kursi menteri, PKB memperoleh 3 kursi menteri, NasDem kurang lebih 2 kursi, Hanura 2 kursi, dan PDIP yang paling banyak, sekitar 6 kursi.

Sementara dari sisi integritas sebagai bangsa, postur kabinet yang disusun Presiden Jokowi tidak mencerminkan osmosis kebinekaan Indonesia. Orang-orang yang terpilih ”sebagian” besar adalah orang Jawa dan urutan berikutnya adalah Sumatera. Sisanya didominasi dari kawasan Indonesia timur, Bali, NTT, Maluku, Makassar, dan Papua.

Mungkin ini deal dan pengaruh JK dalam menetapkan 34 jumlah kementerian dan dalam menentukan asal-usul kawasan calon menteri yang akan duduk dalam kabinet yang baru saja diumumkan.

Terlepas dari segala kelemahan dari Kabinet Kerja yang disusun Presiden Jokowi, waktulah yang akan menentukan, apakah kabinet yang baru saja diumumkan benar-benar sebagai kabinet kerja atau justru kabinet yang banyak masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar