Kabinet
Bukan Impian
Moch Nurhasim ; Peneliti
pada Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 29 Oktober 2014
Minggu, 26/10/2014 sore menjelang malam hari, Presiden dan
Wapres Joko Widodo-Jusuf Kalla akhirnya mengumumkan 34 nama sebagai menteri
pembantu mereka. Tak ada yang istimewa dari drama pengumuman nama-nama
menteri yang ditunggu- tunggu oleh publik. Kabinet Kerja Jokowi-JK pun tidak
seindah yang diwacanakan sebelumnya, kabinet ramping dan profesional. Sebulan
sebelum Jokowi-JK dilantik, Rumah Transisi pernah meminta beberapa tim untuk
menggodok postur kabinet. Usulan nomenklatur kabinet yang diberikan para ahli
pun beragam, mulai dari kabinet ramping antara 22-23 kementerian hingga
kabinet yang posturnya berjumlah tidak sampai 34 kementerian.
Dari usulan postur kabinet yang disusun para ahli, tak satu pun
yang diterima Jokowi. Postur kabinet tampaknya lebih mengikuti cara berpikir
Wakil Presiden Jusuf Kalla, tidak perlu berubah dari postur kabinet yang
pernah ada sebelumnya, sehingga pemerintahan langsung bisa cepat bekerja.
Wacana pun kemudian dibelokkan, diputar 360 derajat mengikuti logika
perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah kementerian.
Wapres Jusuf Kalla pernah mengatakan, Singapura saja yang jumlah
penduduknya lebih sedikit memiliki kurang lebih 34 kementerian, demikian pula
dengan Malaysia. Wacana itu dimunculkan untuk melegitimasi bahwa gagasan
perampingan kabinet oleh Jokowi tidak mungkin dapat dilakukan. Ada dua faktor
yang menyulitkan perampingan kabinet terjadi. Pertama, perubahan nomenklatur
kabinet akan memakan waktu relatif panjang, bisa satu sampai dua tahun.
Proses yang panjang dapat menghambat kerja pemerintah. Kedua,
dengan perampingan, jatah menteri dari partai-partai koalisi bisa saja
terkurangi. Atau kesulitan dalam memilih nama-nama orang yang disodorkan. Itu
membuat langkah Presiden Jokowi terbatas. Jokowi sebagai presiden tampaknya
tidak dapat berbuat banyak, kalau tidak dikatakan ”pasrah,” dalam menentukan
skenario postur kabinet yang berisi jatah partai koalisi, unsur profesional,
dan orang-orang tertentu ”yang dititipkan”.
Dari 34 kementerian yang diumumkan, partai Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) memperoleh lebih dari 20 jatah kursi, sisanya 14 menteri diisi
kalangan profesional dan militer. Tidak ada yang baru dari komposisi postur
kabinet Jokowi-JK, yang berasal dari politisi partai, militer, pengusaha, dan
profesional. Dari postur kabinet yang diumumkan hari minggu yang lalu, partai
koalisi Jokowi-JK seperti PPP, Nas- Dem, Hanura, PKB, dan PDIP masing-masing
diberi jatah menteri secara proporsional.
PDIP jumlahnya hanya empat, namun banyak dari kalangan
profesional yang menjadi menteri yang memiliki kedekatan dengan lingkaran
PDIP. Salah satu yang mencolok adalah kursi menteri khusus yang dihadiahkan
ke Puan Maharani hingga harus dibuatkan kementerian baru bernama Kementerian
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Orang-orang dekat Megawati seperti Rini
Sumarno dan Tjahjo Kumolo pun memperoleh tempat yang strategis.
Rini Sumarno, sosok kontroversial yang dekat dengan Mega, pun
menduduki posisi menteri yang sangat strategis sebagai menteri BUMN.
Sementara Tjahjo Kumolo sebagai menteri dalam negeri. Dari nama-nama menteri
yang diumumkan, publik tak perlu euforia, tak banyak kejutan dari nama-nama
yang dicalonkan sebagai menteri pada Kabinet Kerja Jokowi-JK. Tak ada yang
baru atau mencengangkan dari postur kabinet yang dibentuk Jokowi-JK.
Kabinet yang diumumkan pun jauh dari impian banyak orang, yang
awal-awalnya menaruh harapan begitu besar sebagai kabinet ramping, kabinet
profesional, dan kabinet kerja (zaken kabinet ). Tak ada tokoh-tokoh yang
akan membawa langkah perubahan yang cepat dalam kabinet yang baru saja
disahkan Presiden Jokowi. Dari segi penempatan orang, ada beberapa hal yang
menarik karena penempatan orangorang tertentu tidak sematamata didasarkan
pertimbangan kemampuan dan kecocokan kursi menteri yang akan didudukinya.
Sebagai contoh, hilangnya nama Wiranto dalam diskursus nama menteri,
menyebabkan masuknya nama Saleh Husin. Munculnya Saleh Husin, politisi
Hanura, menyebabkan bergesernya Rachmat Gobel dari awalnya sebagai menteri
perindustrian menjadi menteri perdagangan. Demikian pula penempatan Ferry
Mursyidan Baldan, mantan politisi dari Partai Golkar yang pindah ke Nas- Dem
ini, menempati posisi sebagai menteri agraria dan tata ruang/kepala BPN.
Sementara postur kementerian di bidang ekonominya pun tidak
terlalu ”kuat,” dibandingkan dengan struktur kabinet di era pemerintahan sebelumnya.
Akademisi dari Universitas Indonesia pun terkesan sangat mendominasi. Dari
segi kabinet yang bersih, tak ada jaminan dari itu semua.
Rekomendasi KPK dan PPATK adalah rekomendasi yang biasa, bukan
rekomendasi yang spesial yang hanya dilakukan Presiden Jokowi ketika ingin
menempatkan seorang pejabat. Itu juga bukan tradisi baru karena sebelumnya,
Presiden SBY sudah menjadikan rekomendasi KPK dan PPATK sebagai rujukan
pertama untuk menempatkan seorang pejabat.
Lolosnya dua nama yang diduga berapor ”merah” seperti telah
disampaikan KPK kepada Presiden Jokowi memupus harapan bahwa kabinet yang
dibentuk adalah kabinet yang sungguh-sungguh bersih. Posisi-posisi strategis
kabinet lebih banyak dikuasai politisi ketimbang oleh orang-orang
profesional. Posisi-posisi itu seperti menteri BUMN, ESDM, perindustrian,
menkoperokonomian, menkopolhukam, dan menteri dalam negeri.
Keinginan awal Jokowi untuk membangun postur kabinet tanpa
syarat, tidak bisa didikte oleh partai koalisi, tampaknya juga tidak
terbukti. Menteri-menteri yang diangkat juga sebagian mewakili kepentingan
koalisi partai yang mendukungnya seperti politisi dari NasDem, Hanura, PDIP,
PKB, dan PPP. Partai pendukung KIH memperoleh jatah yang berbeda- beda, PPP
misalnya memperoleh 1 kursi menteri, PKB memperoleh 3 kursi menteri, NasDem
kurang lebih 2 kursi, Hanura 2 kursi, dan PDIP yang paling banyak, sekitar 6
kursi.
Sementara dari sisi integritas sebagai bangsa, postur kabinet
yang disusun Presiden Jokowi tidak mencerminkan osmosis kebinekaan Indonesia.
Orang-orang yang terpilih ”sebagian” besar adalah orang Jawa dan urutan
berikutnya adalah Sumatera. Sisanya didominasi dari kawasan Indonesia timur,
Bali, NTT, Maluku, Makassar, dan Papua.
Mungkin ini deal dan pengaruh JK dalam menetapkan 34 jumlah
kementerian dan dalam menentukan asal-usul kawasan calon menteri yang akan
duduk dalam kabinet yang baru saja diumumkan.
Terlepas dari segala kelemahan dari Kabinet Kerja yang disusun
Presiden Jokowi, waktulah yang akan menentukan, apakah kabinet yang baru saja
diumumkan benar-benar sebagai kabinet kerja atau justru kabinet yang banyak
masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar