Sabtu, 01 November 2014

Dilematika DPR dalam Penyikapan Perppu 12014

Dilematika DPR dalam Penyikapan Perppu 12014

Asep Warlan Yusuf  ;  Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung
KORAN SINDO, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Menurut mantan Presiden SBY (saat menjabat sebagai presiden) alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala Daerah) yaitu untuk menjamin pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, kedaulatan rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan kepala daerah sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus dilakukan secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah dijalankan. Jadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak sejalan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Selain alasan tersebut, juga pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi. Mengapa dengan perppu? Karena menurut mantan Presiden SBY, terdapat pertimbangan mengenai kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/ PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat tentang per-syaratan perlunya perppu apabila:

1. Ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;

2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; dan 3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dengan pertimbangan tersebut, Pasal 205 Perppu No 1 Tahun 2014 menyatakan bahwa UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Dengan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014, wajar, logis, dan sah kalau Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menolak gugatan terhadap UU tersebut, karena objek uji materiilnya sudah tidak berlaku. Setelah gugatan ditolak oleh MK, bagaimana nasib Perppu No 1 Tahun 2014? Tentunya perppu tersebut harus diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Di sini DPR hanya berwenang untuk menolak atau menyetujui saja, tidak ada pembahasan substansi. Apabila DPR setuju, Perppu No 1 Tahun 2014 menjadi undangundang yang definitif, sah, dan mengikat setelah diundangkan. Sebaliknya, apabila DPR menolak perppu tersebut, atas inisiatif DPR atau Presiden menerbitkan undang-undang yang isinya mencabut Perppu No 1 Tahun 2014.

Apabila DPR menolak dan selanjutnya terbit undangundang yang mencabut Perppu No 1 Tahun 2014, dengan sertamerta Undang-Undang No 22 Tahun 2014 menjadi berlaku kembali seketika. Mengapa UU No 22 Tahun 2014 berlaku lagi seketika? Karena perppu yang mencabut UU No 22 Tahun 2014 tidak sah mencabutnya sehubungan dengan DPR telah menolak perppu tersebut menjadi UU. Dengan berlakunya kembali UU No 22 Tahun 2104, sesungguhnya tidak terjadi kekosongan hukum dalam mengatur pemilihan kepala daerah.

Dilema DPR

Bagaimana selanjutnya sikap DPR terhadap perppu yang akan diajukan kepadanya? Jika mayoritas suara DPR, dalam hal ini Koalisi Merah Putih (KMP), konsisten dengan sikapnya bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD, tentunya Perppu No 1 Tahun 2014 harus ditolak. Sebaliknya, apabila Koalisi Merah Putih berupah pikiran, tentu Perppu No 1 Tahun 2014 akan diterima untuk menjadi undangundang.

Tersiar kabar bahwa Presiden SBY ketika itu sudah berkomunikasi dengan para pimpinan KMP dan konon ada kesepakatan bahwa KMP akan menyetujui perppu menjadi undang-undang, benarkah demikian? Ada analisis mengapa mantan Presiden SBY ”berani” menandatangani RUU PiIkada oleh DPRD yang diajukan oleh DPR, padahal Fraksi Demokrat di DPR ketika mengambil putusan justru walkout sehingga suara menyetujui pilkada oleh DPRD menjadi unggul.

Tindakan selanjutnya dari Presiden SBY adalah setelah Presiden menandatangani UU Pilkada oleh DPRD, segera SBY menerbitkan perppu untuk mencabut UU yang baru saja ditandatanganinya. Mengapa SBY bersikap demikian? Analisisnya: pertama, ada desakan masyarakat sehingga momentumnya harus dimanfaatkan untuk pencitraan bahwa SBY concern dengan pilkada langsung.

Kedua, dalam berbagai kesempatan SBY selalu membanggakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga yang berhasil membangun sistem ketatanegaraan dan politik yang demokratis. Ketiga, akan digelar pertemuan internasional di Bali yang membicarakan soal demokrasi, tentunya SBY sangat berkepentingan membangun image sebagai presiden yang berkomitmen prodemokrasi.

Keempat, dengan strategi politik dua kaki yang dibuat SBY, Partai Demokrat berharap mendapat dukungan politik dari Jokowi dan partai koalisinya di satu sisi, di sisi lain juga dari KMP karena dengan walkout suara KMP menjadi unggul. Dengan tindakan walkout ini pula, sesungguhnya dikandung maksud sebagai strategi ”unjuk kuasa” bahwa saat itu Fraksi Demokrat adalah fraksi terbesar di DPR yang harus dihormati oleh fraksi-fraksi lain. Ini dengan mengajukan opsi ketiga yakni pilkada langsung dengan tambahan substansi 10 poin.

Kelima, konon ada komunikasi dan kesepakatan antara Presiden SBY dan KMP bahwa apabila diterbitkan perppu, akan didukung. Mengapa kesepakatan ini muncul karena Presiden SBY telah mampu ”mencegah” atau ”menghambat” terjadi gugatan di MK, yang berpotensi kuat akan membatalkan UU No 22 Tahun 2014 sehingga KMP tidak ”dikalahkan” lagi oleh MK untuk kesekian kalinya.

Keenam, memang perppu itu dibuat dengan ketulusan hati dan kejernihan berpikir Presiden SBY untuk benar-benar mengembalikan kedaulatan rakyat yang juga sejalan dengan pemilihan presiden secara langsung. Timbul pertanyaan bagaimana selanjutnya nasib Perppu No 1 Tahun 2014 di DPR? Karena kesepakatan antara KMP itu terjadi dengan mantan Presiden SBY, khawatir Presiden Jokowi beserta mitra koalisinya tidak cukup mampu menggalang kekuatan agar KMP menerima Perppu No 1 Tahun 2104 untuk disahkan menjadi undang-undang.

Ada kekhawatiran juga apabila perppu memang ditolak, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) secara diam-diam pada dasarnya ikut menikmati dengan sukacita. Ini dapat terjadi sebagai upaya KIH menjalin hubungan dengan KMP semakin dekat dan hangat. Kalau begini akhir jalan ceritanya nanti, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Yang diuntungkan tentunya adalah seluruh partai politik, baik parpol di KMP maupun di KIH, dan yang dirugikan tentunya rakyat pemilih sebagai pemegang asli kedaulatan.

Untuk itu, agar rakyat percaya kepada DPR, mendesak agar DPR berpikir jernih, objektif, rasional, dan demokratis dalam penyikapan terhadap Perppu No 1 Tahun 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar