Dilematika
DPR dalam Penyikapan Perppu 12014
Asep Warlan Yusuf ; Dosen
Fakultas Hukum Unpar Bandung
|
KORAN
SINDO, 29 Oktober 2014
Menurut mantan Presiden SBY (saat menjabat sebagai presiden)
alasan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor
1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala
Daerah) yaitu untuk menjamin pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara
demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,
kedaulatan rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan
kepala daerah sehingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah harus dilakukan
secara langsung oleh rakyat, dengan tetap melakukan beberapa perbaikan
mendasar atas berbagai permasalahan pemilihan langsung yang selama ini telah
dijalankan. Jadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tidak sejalan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD
1945.
Selain alasan tersebut, juga pemilihan kepala daerah oleh DPRD
telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan proses pengambilan
keputusannya tidak mencerminkan prinsip demokrasi. Mengapa dengan perppu?
Karena menurut mantan Presiden SBY, terdapat pertimbangan mengenai
kegentingan yang memaksa sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/
PUU-VII/2009 yang di dalamnya memuat tentang per-syaratan perlunya perppu
apabila:
1. Ada keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan
masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga
terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; dan 3.
Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat
undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup
lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk
diselesaikan.
Dengan pertimbangan tersebut, Pasal 205 Perppu No 1 Tahun 2014
menyatakan bahwa UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Dengan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku UU No 22 Tahun 2014,
wajar, logis, dan sah kalau Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian menolak gugatan
terhadap UU tersebut, karena objek uji materiilnya sudah tidak berlaku.
Setelah gugatan ditolak oleh MK, bagaimana nasib Perppu No 1 Tahun 2014?
Tentunya perppu tersebut harus diajukan oleh Presiden kepada DPR untuk
mendapatkan persetujuan.
Di sini DPR hanya berwenang untuk menolak atau menyetujui saja,
tidak ada pembahasan substansi. Apabila DPR setuju, Perppu No 1 Tahun 2014
menjadi undangundang yang definitif, sah, dan mengikat setelah diundangkan.
Sebaliknya, apabila DPR menolak perppu tersebut, atas inisiatif DPR atau
Presiden menerbitkan undang-undang yang isinya mencabut Perppu No 1 Tahun
2014.
Apabila DPR menolak dan selanjutnya terbit undangundang yang
mencabut Perppu No 1 Tahun 2014, dengan sertamerta Undang-Undang No 22 Tahun
2014 menjadi berlaku kembali seketika. Mengapa UU No 22 Tahun 2014 berlaku
lagi seketika? Karena perppu yang mencabut UU No 22 Tahun 2014 tidak sah
mencabutnya sehubungan dengan DPR telah menolak perppu tersebut menjadi UU.
Dengan berlakunya kembali UU No 22 Tahun 2104, sesungguhnya tidak terjadi
kekosongan hukum dalam mengatur pemilihan kepala daerah.
Dilema DPR
Bagaimana selanjutnya sikap DPR terhadap perppu yang akan
diajukan kepadanya? Jika mayoritas suara DPR, dalam hal ini Koalisi Merah
Putih (KMP), konsisten dengan sikapnya bahwa pemilihan kepala daerah oleh
DPRD, tentunya Perppu No 1 Tahun 2014 harus ditolak. Sebaliknya, apabila
Koalisi Merah Putih berupah pikiran, tentu Perppu No 1 Tahun 2014 akan
diterima untuk menjadi undangundang.
Tersiar kabar bahwa Presiden SBY ketika itu sudah berkomunikasi
dengan para pimpinan KMP dan konon ada kesepakatan bahwa KMP akan menyetujui
perppu menjadi undang-undang, benarkah demikian? Ada analisis mengapa mantan
Presiden SBY ”berani” menandatangani RUU PiIkada oleh DPRD yang diajukan oleh
DPR, padahal Fraksi Demokrat di DPR ketika mengambil putusan justru walkout
sehingga suara menyetujui pilkada oleh DPRD menjadi unggul.
Tindakan selanjutnya dari Presiden SBY adalah setelah Presiden
menandatangani UU Pilkada oleh DPRD, segera SBY menerbitkan perppu untuk
mencabut UU yang baru saja ditandatanganinya. Mengapa SBY bersikap demikian?
Analisisnya: pertama, ada desakan masyarakat sehingga momentumnya harus
dimanfaatkan untuk pencitraan bahwa SBY concern dengan pilkada langsung.
Kedua, dalam berbagai kesempatan SBY selalu membanggakan bahwa
Indonesia sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga yang berhasil
membangun sistem ketatanegaraan dan politik yang demokratis. Ketiga, akan
digelar pertemuan internasional di Bali yang membicarakan soal demokrasi,
tentunya SBY sangat berkepentingan membangun image sebagai presiden yang
berkomitmen prodemokrasi.
Keempat, dengan strategi politik dua kaki yang dibuat SBY,
Partai Demokrat berharap mendapat dukungan politik dari Jokowi dan partai
koalisinya di satu sisi, di sisi lain juga dari KMP karena dengan walkout
suara KMP menjadi unggul. Dengan tindakan walkout ini pula, sesungguhnya
dikandung maksud sebagai strategi ”unjuk kuasa” bahwa saat itu Fraksi
Demokrat adalah fraksi terbesar di DPR yang harus dihormati oleh
fraksi-fraksi lain. Ini dengan mengajukan opsi ketiga yakni pilkada langsung
dengan tambahan substansi 10 poin.
Kelima, konon ada komunikasi dan kesepakatan antara Presiden SBY
dan KMP bahwa apabila diterbitkan perppu, akan didukung. Mengapa kesepakatan
ini muncul karena Presiden SBY telah mampu ”mencegah” atau ”menghambat”
terjadi gugatan di MK, yang berpotensi kuat akan membatalkan UU No 22 Tahun
2014 sehingga KMP tidak ”dikalahkan” lagi oleh MK untuk kesekian kalinya.
Keenam, memang perppu itu dibuat dengan ketulusan hati dan
kejernihan berpikir Presiden SBY untuk benar-benar mengembalikan kedaulatan
rakyat yang juga sejalan dengan pemilihan presiden secara langsung. Timbul
pertanyaan bagaimana selanjutnya nasib Perppu No 1 Tahun 2014 di DPR? Karena
kesepakatan antara KMP itu terjadi dengan mantan Presiden SBY, khawatir
Presiden Jokowi beserta mitra koalisinya tidak cukup mampu menggalang
kekuatan agar KMP menerima Perppu No 1 Tahun 2104 untuk disahkan menjadi
undang-undang.
Ada kekhawatiran juga apabila perppu memang ditolak, Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) secara diam-diam pada dasarnya ikut menikmati dengan
sukacita. Ini dapat terjadi sebagai upaya KIH menjalin hubungan dengan KMP
semakin dekat dan hangat. Kalau begini akhir jalan ceritanya nanti, siapa
yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan? Yang diuntungkan tentunya adalah
seluruh partai politik, baik parpol di KMP maupun di KIH, dan yang dirugikan
tentunya rakyat pemilih sebagai pemegang asli kedaulatan.
Untuk itu, agar rakyat percaya kepada DPR, mendesak agar DPR
berpikir jernih, objektif, rasional, dan demokratis dalam penyikapan terhadap
Perppu No 1 Tahun 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar