Jebakan
Ekonomi Utang Indonesia
Sri Hartati Samhadi ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
14 November 2014
LEPAS dari Consultative Group on
Indonesia dan Dana Moneter Internasional tak lantas membuat kita merdeka
dan bebas dari perangkap utang. Peran utang dalam pembiayaan pembangunan tak
berkurang. Strategi gali lubang tutup lubang masih terus menjangkiti
perekonomian. Indikatornya, untuk membiayai kewajiban utang, pokok dan bunga,
pemerintah harus membuat utang baru.
Setiap tahun, pemerintah terus menambah utang baru yang angkanya terus
meningkat. Meski rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada posisi
aman untuk negara berkembang seperti Indonesia, angkanya mulai meningkat dari
23 persen menjadi di atas 30 persen saat ini.
Secara nominal, ledakan stok utang juga terjadi. Berdasarkan data Bank
Indonesia, utang luar negeri per Juli 2014 mencapai 290,6 miliar dollar AS
atau setara Rp 3.501,2 triliun, meningkat dari Juli 2013 yang 261 miliar
dollar AS. Rinciannya: utang luar negeri pemerintah 125,8 miliar dollar AS,
utang luar negeri BI 8,4 miliar dollar AS, dan sisanya utang luar negeri
swasta.
Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saja utang luar
negeri meningkat dari Rp 1.299 triliun menjadi dua kali lipat. Lonjakan utang
ini juga dibarengi meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap
penerimaan ekspor (debt to service
ratio), sempat mencapai 52 persen, jauh di atas level aman untuk negara
berkembang sekitar 35 persen.
Artinya, hampir separuh dari penerimaan ekspor habis untuk membayar
utang. Kewajiban utang juga menggerus cadangan devisa, menekan nilai tukar
rupiah, serta membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Seperti halnya subsidi energi, beban utang menyandera fiskal dan membuat
fungsi fiskal sebagai penggerak utama ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan
dan lapangan kerja menjadi mandul.
Sebesar 15-20 persen APBN harus disisihkan untuk membayar pokok dan
cicilan utang. Untuk APBN tahun 2014, porsi pembayaran cicilan utang dan
bunganya Rp 368,981 triliun.
Kekhawatiran atas utang terutama diarahkan pada utang luar negeri
swasta, yang meningkat dua kali lipat dalam kurun 2009-2013. Empat tahun
terakhir, posisi utang swasta sudah menyalip utang pemerintah dan menyumbang
37 persen dari total utang luar negeri Indonesia.
Berbeda dengan utang pemerintah yang umumnya jangka panjang, utang
swasta 2006-2014 didominasi utang jangka pendek bertenor 1-3 tahun, sementara
penggunaannya secara umum untuk proyek jangka panjang sehingga selain risiko
nilai tukar (currency mismatch), ada risiko jangka waktu (maturity mismatch).
Sekitar 34 persen utang swasta (dan badan usaha milik negara) ini, menurut
BI, berpotensi gagal bayar, dalam kondisi ada tekanan terhadap rupiah.
Ada beberapa alasan swasta mengakses utang luar negeri, di antaranya
biaya pinjaman luar negeri yang lebih murah ketimbang di dalam negeri. Rasio
kredit perbankan (loan to deposit ratio) yang di atas 90 persen juga
menyebabkan pembiayaan perbankan yang tersedia sangat terbatas. Ditambah
pasar utang dalam negeri mulai mengalami kejenuhan karena kebutuhan
pemerintah yang juga sangat besar akan utang untuk menutup defisit anggaran.
Dilema
utang
Terhadap utang, kita selalu mendua. Pengalaman buruk dengan
ketergantungan pada utang luar negeri membuat kita alergi terhadap utang ini.
Selama puluhan tahun, utang telah menyandera kedaulatan kita sehingga
Indonesia harus tunduk kepada kekuasaan asing dalam pengelolaan ekonomi dalam
negeri, pemanfaatan sumber daya ekonomi, termasuk di sektor-sektor yang
menguasai hajat hidup rakyat banyak. Utang dianggap menjadi instrumen
penjajahan terselubung.
Maka, desakan untuk menghentikan kecanduan akan utang tak pernah
berhenti disuarakan, terutama dari kalangan masyarakat madani. Sebaliknya,
sebagian kalangan menganggap penggunaan utang tidak masalah selama untuk
tujuan produktif menggenjot pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Menjadi
masalah ketika ternyata sebagian utang diselewengkan seperti sering terjadi
selama ini.
Apakah utang luar negeri yang tinggi saat ini sudah pada posisi
berbahaya dan bisa menuntun pada krisis finansial seperti 1997/1998?
Kemungkinan itu tidak ditampik Gubernur BI Agus Martowardojo jika kita tak
hati-hati. BI sudah merespons dengan mengeluarkan imbauan untuk berhati-hati
melakukan lindung nilai (hedging)
dan mewajibkan korporasi menyediakan dollar AS sebelum jatuh tempo utang.
Apalagi, cepat atau lambat suku bunga Amerika Serikat akan meningkat sehingga
beban pembayaran bunga pasti akan meningkat.
Namun, itu saja tak cukup. Melarang swasta berutang tidak mungkin
dilakukan. Karena itu, perlu dicari berbagai cara lain.
Paradigma kita dalam melihat utang mungkin juga perlu diubah. Utang
sekadar sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan hanya akan jadi slogan
jika pertumbuhan ekonomi semakin menggantungkan pada utang, sementara kita
alpa menggali sumber pendanaan di dalam negeri sendiri, baik perbankan maupun
nonperbankan, atau dana warga negara Indonesia yang diparkir di luar negeri.
Hanya melihat rasio utang juga bisa menyesatkan dan meninabobokan. Kita
bukan AS, Jerman, Jepang, atau negara maju lain yang memiliki kemewahan—yang
memiliki rasio utang hingga ratusan persen dari PDB, tetapi tak kesulitan
membayar utang.
Rasio utang mungkin bukan masalah seandainya kapasitas kita untuk
membiayai utang juga mendukung. PDB memang sudah Rp 9.400 triliun dan volume
APBN Rp 2.000 triliun, tetapi APBN sudah terkapling-kapling untuk belanja
mengikat dan rutin.
Kemampuan membayar utang tergantung dari kemampuan menggenjot
penerimaan, khususnya pajak. Selama bertahun-tahun kita gagal mendongkrak
penerimaan pajak dan mencegah kebocoran pajak yang menurut Dana Moneter
Internasional mencapai 40 persen. Rasio pajak tak bergerak dari 11-12 persen
terhadap PDB. Padahal, pajak menyumbang 68 persen dari penerimaan negara.
Kegagalan menggenjot pajak membuat defisit APBN harus kembali ditutup dengan
utang.
Kondisi gali lubang tutup lubang menunjukkan, kalaupun belum lampu
merah, utang luar negeri sudah lampu kuning. Bukan hanya swasta yang harus
berhati-hati, melainkan juga pemerintah. Ketatnya likuiditas di dalam negeri
dan perkiraan peningkatan suku bunga global akan membuat pemerintah
dihadapkan pada situasi berat peningkatan beban utang, antara lain karena
meningkat pula imbal hasil (yield) surat utang yang diterbitkan pemerintah
(SBN).
Lebih-lebih dengan kepemilikan asing yang terus meningkat, mencapai Rp
459,9 triliun (37,8 persen) saat ini. Peningkatan porsi kepemilikan asing
atas surat utang pemerintah membuat kita sangat rentan terkena gejolak
ekonomi global. Jika tak hati-hati, utang bisa menjadi pisau bermata banyak:
menekan APBN, menguras cadangan devisa, serta mengancam rupiah dan ekonomi secara
keseluruhan. Di sini pentingnya mitigasi risiko, pengelolaan yang hati-hati,
penggunaan utang yang bertanggung jawab, dan mengakhiri rezim pertumbuhan
ekonomi yang terlalu bertumpu pada utang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar