Sabtu, 15 November 2014

Jebakan Ekonomi Utang Indonesia

                            Jebakan Ekonomi Utang Indonesia

Sri Hartati Samhadi  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  14 November 2014

                                                                                                                       


LEPAS dari Consultative Group on Indonesia dan Dana Moneter Internasional tak lantas membuat kita merdeka dan bebas dari perangkap utang. Peran utang dalam pembiayaan pembangunan tak berkurang. Strategi gali lubang tutup lubang masih terus menjangkiti perekonomian. Indikatornya, untuk membiayai kewajiban utang, pokok dan bunga, pemerintah harus membuat utang baru.

Setiap tahun, pemerintah terus menambah utang baru yang angkanya terus meningkat. Meski rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) pada posisi aman untuk negara berkembang seperti Indonesia, angkanya mulai meningkat dari 23 persen menjadi di atas 30 persen saat ini.

Secara nominal, ledakan stok utang juga terjadi. Berdasarkan data Bank Indonesia, utang luar negeri per Juli 2014 mencapai 290,6 miliar dollar AS atau setara Rp 3.501,2 triliun, meningkat dari Juli 2013 yang 261 miliar dollar AS. Rinciannya: utang luar negeri pemerintah 125,8 miliar dollar AS, utang luar negeri BI 8,4 miliar dollar AS, dan sisanya utang luar negeri swasta.

Selama 10 tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saja utang luar negeri meningkat dari Rp 1.299 triliun menjadi dua kali lipat. Lonjakan utang ini juga dibarengi meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio), sempat mencapai 52 persen, jauh di atas level aman untuk negara berkembang sekitar 35 persen.

Artinya, hampir separuh dari penerimaan ekspor habis untuk membayar utang. Kewajiban utang juga menggerus cadangan devisa, menekan nilai tukar rupiah, serta membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Seperti halnya subsidi energi, beban utang menyandera fiskal dan membuat fungsi fiskal sebagai penggerak utama ekonomi untuk menciptakan kesejahteraan dan lapangan kerja menjadi mandul.

Sebesar 15-20 persen APBN harus disisihkan untuk membayar pokok dan cicilan utang. Untuk APBN tahun 2014, porsi pembayaran cicilan utang dan bunganya Rp 368,981 triliun.

Kekhawatiran atas utang terutama diarahkan pada utang luar negeri swasta, yang meningkat dua kali lipat dalam kurun 2009-2013. Empat tahun terakhir, posisi utang swasta sudah menyalip utang pemerintah dan menyumbang 37 persen dari total utang luar negeri Indonesia.

Berbeda dengan utang pemerintah yang umumnya jangka panjang, utang swasta 2006-2014 didominasi utang jangka pendek bertenor 1-3 tahun, sementara penggunaannya secara umum untuk proyek jangka panjang sehingga selain risiko nilai tukar (currency mismatch), ada risiko jangka waktu (maturity mismatch). Sekitar 34 persen utang swasta (dan badan usaha milik negara) ini, menurut BI, berpotensi gagal bayar, dalam kondisi ada tekanan terhadap rupiah.

Ada beberapa alasan swasta mengakses utang luar negeri, di antaranya biaya pinjaman luar negeri yang lebih murah ketimbang di dalam negeri. Rasio kredit perbankan (loan to deposit ratio) yang di atas 90 persen juga menyebabkan pembiayaan perbankan yang tersedia sangat terbatas. Ditambah pasar utang dalam negeri mulai mengalami kejenuhan karena kebutuhan pemerintah yang juga sangat besar akan utang untuk menutup defisit anggaran.

Dilema utang

Terhadap utang, kita selalu mendua. Pengalaman buruk dengan ketergantungan pada utang luar negeri membuat kita alergi terhadap utang ini. Selama puluhan tahun, utang telah menyandera kedaulatan kita sehingga Indonesia harus tunduk kepada kekuasaan asing dalam pengelolaan ekonomi dalam negeri, pemanfaatan sumber daya ekonomi, termasuk di sektor-sektor yang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Utang dianggap menjadi instrumen penjajahan terselubung.

Maka, desakan untuk menghentikan kecanduan akan utang tak pernah berhenti disuarakan, terutama dari kalangan masyarakat madani. Sebaliknya, sebagian kalangan menganggap penggunaan utang tidak masalah selama untuk tujuan produktif menggenjot pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Menjadi masalah ketika ternyata sebagian utang diselewengkan seperti sering terjadi selama ini.

Apakah utang luar negeri yang tinggi saat ini sudah pada posisi berbahaya dan bisa menuntun pada krisis finansial seperti 1997/1998? Kemungkinan itu tidak ditampik Gubernur BI Agus Martowardojo jika kita tak hati-hati. BI sudah merespons dengan mengeluarkan imbauan untuk berhati-hati melakukan lindung nilai (hedging) dan mewajibkan korporasi menyediakan dollar AS sebelum jatuh tempo utang. Apalagi, cepat atau lambat suku bunga Amerika Serikat akan meningkat sehingga beban pembayaran bunga pasti akan meningkat.

Namun, itu saja tak cukup. Melarang swasta berutang tidak mungkin dilakukan. Karena itu, perlu dicari berbagai cara lain.

Paradigma kita dalam melihat utang mungkin juga perlu diubah. Utang sekadar sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan hanya akan jadi slogan jika pertumbuhan ekonomi semakin menggantungkan pada utang, sementara kita alpa menggali sumber pendanaan di dalam negeri sendiri, baik perbankan maupun nonperbankan, atau dana warga negara Indonesia yang diparkir di luar negeri.

Hanya melihat rasio utang juga bisa menyesatkan dan meninabobokan. Kita bukan AS, Jerman, Jepang, atau negara maju lain yang memiliki kemewahan—yang memiliki rasio utang hingga ratusan persen dari PDB, tetapi tak kesulitan membayar utang.

Rasio utang mungkin bukan masalah seandainya kapasitas kita untuk membiayai utang juga mendukung. PDB memang sudah Rp 9.400 triliun dan volume APBN Rp 2.000 triliun, tetapi APBN sudah terkapling-kapling untuk belanja mengikat dan rutin.

Kemampuan membayar utang tergantung dari kemampuan menggenjot penerimaan, khususnya pajak. Selama bertahun-tahun kita gagal mendongkrak penerimaan pajak dan mencegah kebocoran pajak yang menurut Dana Moneter Internasional mencapai 40 persen. Rasio pajak tak bergerak dari 11-12 persen terhadap PDB. Padahal, pajak menyumbang 68 persen dari penerimaan negara. Kegagalan menggenjot pajak membuat defisit APBN harus kembali ditutup dengan utang.

Kondisi gali lubang tutup lubang menunjukkan, kalaupun belum lampu merah, utang luar negeri sudah lampu kuning. Bukan hanya swasta yang harus berhati-hati, melainkan juga pemerintah. Ketatnya likuiditas di dalam negeri dan perkiraan peningkatan suku bunga global akan membuat pemerintah dihadapkan pada situasi berat peningkatan beban utang, antara lain karena meningkat pula imbal hasil (yield) surat utang yang diterbitkan pemerintah (SBN).

Lebih-lebih dengan kepemilikan asing yang terus meningkat, mencapai Rp 459,9 triliun (37,8 persen) saat ini. Peningkatan porsi kepemilikan asing atas surat utang pemerintah membuat kita sangat rentan terkena gejolak ekonomi global. Jika tak hati-hati, utang bisa menjadi pisau bermata banyak: menekan APBN, menguras cadangan devisa, serta mengancam rupiah dan ekonomi secara keseluruhan. Di sini pentingnya mitigasi risiko, pengelolaan yang hati-hati, penggunaan utang yang bertanggung jawab, dan mengakhiri rezim pertumbuhan ekonomi yang terlalu bertumpu pada utang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar