Menyambut
Revolusi Mental Birokrasi
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KOMPAS,
14 November 2014
MENTERI Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi di awal masa kerjanya sempat
blusukan ke Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta di kawasan Tanah Abang.
Terdapat 41 jenis layanan dari enam bidang yang dikerjakan kantor
layanan terpadu ini. Semua jenis layanan tertera di layar sentuh yang
menyimpan informasi. Yuddy sempat mengusulkan ada penyederhanaan pengurusan
SIUP mengingat tak kurang dari 16 persyaratan yang harus dipenuhi warga. Ini
dinilai masih terlalu banyak dan memberatkan pengguna pelayanan.
Momentum reformasi birokrasi saat ini merupakan suatu keharusan,
terutama setelah di KTT APEC Presiden Joko Widodo mengajak investor asing
menanamkan modal di Indonesia. Upaya menarik minat investor asing tersebut
tentu memerlukan sejumlah persyaratan, salah satu yang terpenting: kemudahan
perizinan melalui efektivitas dan efisiensi tata kelola birokrasi.
Dalam teori hukum organisasi pemerintahan terdapat teori: perbaikan dan
reformasi birokrasi merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan dengan
didukung komitmen seorang pemimpin. Kehadiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, disusul UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN), serta UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Adpem), merupakan instrumen pokok untuk
merealisasikan gagasan revolusi mental birokrasi.
UU Pelayanan Publik mengatur proses dan kualitas produk pelayanan
publik yang menghubungkan siklus kebutuhan rakyat terhadap kapasitas
birokrasi memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan publik. UU ASN
melakukan reformasi pada level kualitas individu dan kinerja aparat
birokrasi. Sementara UU Adpem melakukan penataan terhadap prosedur kebijakan
birokrasi pemerintah yang selalu harus disandarkan pada legalitas kebijakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Dengan demikian, tak boleh ada celah terjadi tindakan penyalahgunaan
wewenang ataupun tindakan sewenang-wenang yang terjadi karena kebijakan
aparat pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip fundamental dalam UU Adpem.
Keseluruhan produk hukum sebagai landasan bekerjanya sistem birokrasi
pemerintah tersebut juga mengharuskan adanya standar operasional prosedur
(SOP) terhadap setiap kebijakan pemerintahan sektoral. Apalagi, dengan
hadirnya UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian juga
mensyaratkan eksistensi SOP baku terhadap setiap prosedur kebijakan dan
pelayanan publik pemerintah.
Kehadiran UU Adpem tersebut merupakan sebuah terobosan yang besar
terhadap sistem administrasi pemerintahan di Indonesia. Keberadaan UU Adpem
dapat memperkuat sinergi administratif dalam tata kelola birokrasi
pemerintahan sektoral di negeri ini. UU Adpem kini harus jadi rujukan utama
para birokrat dalam melaksanakan kewenangannya dan tak lagi hanya bersandar
pada UU sektoral, yang selama ini telah memicu terjadi sekat-sekat
sektoralisme.
Dalam teori hukum administrasi negara, bagi para birokrat, UU Adpem
menjadi norma fundamental, urat nadi pelaksanaan kewenangan administratif
yang dimilikinya. Bagi hakim di pengadilan tata usaha negara (PTUN), UU Adpem
mengisi kekurangan norma sebagai dasar pengujian terhadap legalitas tindakan
administratif. Sementara bagi rakyat, UU Adpem sebagai parameter untuk menilai
kelayakan tindakan administratif yang dilakukan para pejabat administrasi
negara. Di sinilah arti penting revolusi mental birokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar