Sabtu, 15 November 2014

Menyambut Revolusi Mental Birokrasi

                      Menyambut Revolusi Mental Birokrasi

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KOMPAS,  14 November 2014

                                                                                                                       


MENTERI  Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi di awal masa kerjanya sempat blusukan ke Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di kawasan Tanah Abang.
Terdapat 41 jenis layanan dari enam bidang yang dikerjakan kantor layanan terpadu ini. Semua jenis layanan tertera di layar sentuh yang menyimpan informasi. Yuddy sempat mengusulkan ada penyederhanaan pengurusan SIUP mengingat tak kurang dari 16 persyaratan yang harus dipenuhi warga. Ini dinilai masih terlalu banyak dan memberatkan pengguna pelayanan.

Momentum reformasi birokrasi saat ini merupakan suatu keharusan, terutama setelah di KTT APEC Presiden Joko Widodo mengajak investor asing menanamkan modal di Indonesia. Upaya menarik minat investor asing tersebut tentu memerlukan sejumlah persyaratan, salah satu yang terpenting: kemudahan perizinan melalui efektivitas dan efisiensi tata kelola birokrasi.

Dalam teori hukum organisasi pemerintahan terdapat teori: perbaikan dan reformasi birokrasi merupakan suatu kegiatan yang berkesinambungan dengan didukung komitmen seorang pemimpin. Kehadiran Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, disusul UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), serta UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan  (Adpem), merupakan instrumen pokok untuk merealisasikan gagasan revolusi mental birokrasi.

UU Pelayanan Publik mengatur proses dan kualitas produk pelayanan publik yang menghubungkan siklus kebutuhan rakyat terhadap kapasitas birokrasi memenuhi kebutuhan rakyat terhadap pelayanan publik. UU ASN melakukan reformasi pada level kualitas individu dan kinerja aparat birokrasi. Sementara UU Adpem melakukan penataan terhadap prosedur kebijakan birokrasi pemerintah yang selalu harus disandarkan pada legalitas kebijakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dengan demikian, tak boleh ada celah terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang ataupun tindakan sewenang-wenang yang terjadi karena kebijakan aparat pemerintah yang melanggar prinsip-prinsip fundamental dalam UU Adpem. Keseluruhan produk hukum sebagai landasan bekerjanya sistem birokrasi pemerintah tersebut juga mengharuskan adanya standar operasional prosedur (SOP) terhadap setiap kebijakan pemerintahan sektoral. Apalagi, dengan hadirnya UU No 20/2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian juga mensyaratkan eksistensi SOP baku terhadap setiap prosedur kebijakan dan pelayanan publik pemerintah.

Kehadiran UU Adpem tersebut merupakan sebuah terobosan yang besar terhadap sistem administrasi pemerintahan di Indonesia. Keberadaan UU Adpem dapat memperkuat sinergi administratif dalam tata kelola birokrasi pemerintahan sektoral di negeri ini. UU Adpem kini harus jadi rujukan utama para birokrat dalam melaksanakan kewenangannya dan tak lagi hanya bersandar pada UU sektoral, yang selama ini telah memicu terjadi sekat-sekat sektoralisme.

Dalam teori hukum administrasi negara, bagi para birokrat, UU Adpem menjadi norma fundamental, urat nadi pelaksanaan kewenangan administratif yang dimilikinya. Bagi hakim di pengadilan tata usaha negara (PTUN), UU Adpem mengisi kekurangan norma sebagai dasar pengujian terhadap legalitas tindakan administratif. Sementara bagi rakyat, UU Adpem sebagai parameter untuk menilai kelayakan tindakan administratif yang dilakukan para pejabat administrasi negara. Di sinilah arti penting revolusi mental birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar