Sabtu, 15 November 2014

Jaksa Agung Era Demokrasi

                                     Jaksa Agung Era Demokrasi

Abdul Hakim G Nusantara  ;   Ketua Komnas HAM 2002-2007; Arbiter; Advokat
KOMPAS,  14 November 2014

                                                                                                                       


MENJELANG pemilihan Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo, pengamat politik dan hukum menyampaikan berbagai pandangan tentang kualifikasi Jaksa Agung. Mereka ingin figur yang bersih, jujur, berani, tegas, serta independen dalam memberantas korupsi dan menegakkan hak asasi manusia.

Pandangan ini disetujui baik oleh mereka yang mendukung figur calon dari dalam Kejaksaan Agung maupun mereka yang mendukung calon dari luar. Sesungguhnya, keinginan memiliki Jaksa Agung yang ideal itu merupakan kehendak yang terus hidup dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Aspirasi itu merupakan penolakan keras terhadap penyalahgunaan institusi ini selama hampir 40 tahun oleh para penguasa otoritarian Demokrasi Terpimpin dan otoritarian Orde Baru.

Selama empat dasawarsa, rakyat Indonesia menyaksikan Jaksa Agung sebagai institusi jadi garda hukum terdepan bagi perwujudan stabilitas politik dan keamanan yang dikehendaki oleh penguasa. Juga jadi instrumen hukum untuk menghabisi lawan-lawan politik dan mereka yang kritis terhadap pemerintah. Pada kurun itu, Jaksa Agung semata mengabdi pada kepentingan kekuasaan, tidak pada kepentingan hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD 1945, dan akhirnya Jaksa Agung terbelenggu dalam pusaran praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Masih jauh dari harapan

Sejak awal reformasi pada 1998 hingga kini, koalisi masyarakat sipil, para penegak hukum—termasuk para jaksa—berusaha mengakhiri praktik penyalahgunaan institusi Jaksa Agung yang telah berjalan hampir empat dasawarsa itu. Upaya yang ditempuh dengan membangun dan mengembangkan institusi Jaksa Agung yang mampu mengedepankan nilai dan norma demokrasi, kedaulatan hukum, dan keadilan. Itu berarti membangun dan mengembangkan struktur dan kultur organisasi kejaksaan baru yang tanggap terhadap tuntutan demokrasi, supremasi hukum, dan keadilan.

Roh reformasi kejaksaan itu di tuangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan (UU No 16/2004), yang menegaskan bahwa kejaksaan merdeka dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Kata merdeka ditegaskan, yang bermakna bahwa jaksa itu bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Inilah jiwa adhyaksa yang bermakna ia hanya mengabdi pada kepentingan hukum, keadilan, demokrasi, dan perlindungan HAM.

Menurut UU Kejaksaan 2004, Jaksa Agung punya tugas dan wewenang, antara lain: (a) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan; (b) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan UU; (c) mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; dan lain sebagainya. Selain UU itu, berbagai program pelatihan dan pembaruan prosedur serta pengawasan internal dan eksternal melalui komisi kejaksaan dilakukan guna mewujudkan korps adhyaksa yang independen dan profesional.

Namun, sampai saat ini usaha tersebut masih jauh dari harapan. Ditengarai kejaksaan belum sepenuhnya berjaya dalam mengakhiri praktik paternalisme buruk penyebab korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan HAM, Jaksa Agung dan jajarannya belum berhasil mengubah penampilan dan citranya sebagai garda terdepan impunitas pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran berat HAM. Lebih dari itu, dalam hubungannya dengan pemerintah, Jaksa Agung dan jajarannya masih dipersepsi oleh publik sebagai alat kekuasaan yang selalu dapat disalahgunakan.

Tantangan yang dihadapi

Tantangan terbesar Jaksa Agung pada era demokrasi adalah, secara internal, menghadapi tata hubungan yang melahirkan budaya paternalisme yang senantiasa menyelimuti praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Tantangan ini harus dijawab dengan pendidikan dan penyadaran, tindakan hukum, reformasi yang terus-menerus di kejaksaan, dan partisipasi masyarakat. Sementara tantangan eksternal berkenaan dengan hubungan antara Jaksa Agung, Presiden, DPR, dan masyarakat.  UU menegaskan, Jaksa Agung bagian dari pemerintah yang melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan.

Sebagai bagian dari eksekutif, Jaksa Agung hadir dan turut membahas dan merumuskan kebijakan pemerintah, khususnya di bidang penegakan hukum, ketertiban, dan keamanan. Untuk itu, Jaksa Agung di bawah koordinasi Menko Polhukam. Dalam posisi dan keadaan seperti itu, bagaimana mungkin Jaksa Agung bisa independen dari pemerintah. Misalnya, bagaimana Jaksa Agung mampu menyikapi secara kritis dari perspektif hukum dan HAM atas kebijakan dari pemerintah yang dia sendiri ikut memutuskan.

Dalam situasi seperti itu, wajar jika masyarakat—termasuk para politisi—khawatir Jaksa Agung bisa disalahgunakan oleh pemerintah. Kasus-kasus beberapa tahun lalu membenarkan kekhawatiran itu. Kebijakan impunitas atas kasus pelanggaran berat HAM yang mangkrak di Kejaksaan Agung diduga karena pengaruh pemerintah.

Guna mengatasi hal ini, sudah saatnya Jaksa Agung dikeluarkan dari kabinet, khususnya dari jajaran Menko Polhukam. Di sejumlah negara, seperti Australia, Inggris, dan beberapa negara Eropa lain, gagasan untuk mengeluarkan Jaksa Agung dari kabinet—atau dikeluarkan dari pembahasan dan pengambilan kebijakan pemerintah—mulai diwacanakan. Inilah yang disebut sebagai Independence Aloofness, yaitu Jaksa Agung diposisikan menjaga jarak dari segala penjuru.

Dalam sistem demokrasi presidensial dengan multipartai, Jaksa Agung harus mampu mengedepankan sikap independen dan menghindari artikulasi atau advokasi kebijakan yang bersifat partisan. Dalam kasus pelanggaran HAM atas kaum minoritas, Jaksa Agung cenderung berpihak pada kebijakan pemerintah yang partisan. Ini harus diperbaiki. Hubungan Jaksa Agung dengan masyarakat harus lebih terbuka, dengan menyebarluaskan informasi berkenaan dengan prosedur kerja jaksa, berkenaan dengan tugas-tugas penuntutan, penghentian penuntutan, dan pintu pengaduan.

Dalam mewujudkan jaksa yang independen, mandiri, profesional, bersih, dan jujur sebagai bagian sistem kekuasaan kehakiman, barangkali perlu dipikirkan bentuk lain penunjukan Jaksa Agung. Misalnya, melalui komite yudisial, yang hasilnya kemudian ditunjuk oleh Presiden atau dipilih melalui pemilihan oleh DPR dan DPD. Hanya calon-calon yang lolos seleksi oleh komite yudisial yang boleh dipilih oleh DPR dan DPD. Model ini dianut oleh sejumlah negara, antara lain Cile, Argentina, Brasil, dan sejumlah negara di Eropa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar