Jaksa
Agung Era Demokrasi
Abdul Hakim G Nusantara ; Ketua Komnas HAM 2002-2007; Arbiter; Advokat
|
KOMPAS,
14 November 2014
MENJELANG pemilihan Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo, pengamat
politik dan hukum menyampaikan berbagai pandangan tentang kualifikasi Jaksa
Agung. Mereka ingin figur yang bersih, jujur, berani, tegas, serta independen
dalam memberantas korupsi dan menegakkan hak asasi manusia.
Pandangan ini disetujui baik oleh mereka yang mendukung figur calon
dari dalam Kejaksaan Agung maupun mereka yang mendukung calon dari luar.
Sesungguhnya, keinginan memiliki Jaksa Agung yang ideal itu merupakan
kehendak yang terus hidup dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Aspirasi itu
merupakan penolakan keras terhadap penyalahgunaan institusi ini selama hampir
40 tahun oleh para penguasa otoritarian Demokrasi Terpimpin dan otoritarian
Orde Baru.
Selama empat dasawarsa, rakyat Indonesia menyaksikan Jaksa Agung
sebagai institusi jadi garda hukum terdepan bagi perwujudan stabilitas
politik dan keamanan yang dikehendaki oleh penguasa. Juga jadi instrumen
hukum untuk menghabisi lawan-lawan politik dan mereka yang kritis terhadap
pemerintah. Pada kurun itu, Jaksa Agung semata mengabdi pada kepentingan
kekuasaan, tidak pada kepentingan hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD
1945, dan akhirnya Jaksa Agung terbelenggu dalam pusaran praktik korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan.
Masih
jauh dari harapan
Sejak awal reformasi pada 1998 hingga kini, koalisi masyarakat sipil,
para penegak hukum—termasuk para jaksa—berusaha mengakhiri praktik
penyalahgunaan institusi Jaksa Agung yang telah berjalan hampir empat
dasawarsa itu. Upaya yang ditempuh dengan membangun dan mengembangkan
institusi Jaksa Agung yang mampu mengedepankan nilai dan norma demokrasi,
kedaulatan hukum, dan keadilan. Itu berarti membangun dan mengembangkan
struktur dan kultur organisasi kejaksaan baru yang tanggap terhadap tuntutan
demokrasi, supremasi hukum, dan keadilan.
Roh reformasi kejaksaan itu di tuangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan
(UU No 16/2004), yang menegaskan bahwa kejaksaan merdeka dalam melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU.
Kata merdeka ditegaskan, yang bermakna bahwa jaksa itu bebas dari pengaruh
kekuasaan pihak mana pun. Inilah jiwa adhyaksa yang bermakna ia hanya
mengabdi pada kepentingan hukum, keadilan, demokrasi, dan perlindungan HAM.
Menurut UU Kejaksaan 2004, Jaksa Agung punya tugas dan wewenang, antara
lain: (a) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan
keadilan; (b) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan UU; (c)
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; dan lain sebagainya. Selain UU
itu, berbagai program pelatihan dan pembaruan prosedur serta pengawasan
internal dan eksternal melalui komisi kejaksaan dilakukan guna mewujudkan
korps adhyaksa yang independen dan profesional.
Namun, sampai saat ini usaha tersebut masih jauh dari harapan.
Ditengarai kejaksaan belum sepenuhnya berjaya dalam mengakhiri praktik
paternalisme buruk penyebab korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam
kaitannya dengan HAM, Jaksa Agung dan jajarannya belum berhasil mengubah
penampilan dan citranya sebagai garda terdepan impunitas pelanggaran HAM,
khususnya pelanggaran berat HAM. Lebih dari itu, dalam hubungannya dengan
pemerintah, Jaksa Agung dan jajarannya masih dipersepsi oleh publik sebagai
alat kekuasaan yang selalu dapat disalahgunakan.
Tantangan
yang dihadapi
Tantangan terbesar Jaksa Agung pada era demokrasi adalah, secara
internal, menghadapi tata hubungan yang melahirkan budaya paternalisme yang
senantiasa menyelimuti praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tantangan ini harus dijawab dengan pendidikan dan penyadaran, tindakan hukum,
reformasi yang terus-menerus di kejaksaan, dan partisipasi masyarakat.
Sementara tantangan eksternal berkenaan dengan hubungan antara Jaksa Agung,
Presiden, DPR, dan masyarakat. UU
menegaskan, Jaksa Agung bagian dari pemerintah yang melaksanakan kekuasaan di
bidang penuntutan.
Sebagai bagian dari eksekutif, Jaksa Agung hadir dan turut membahas dan
merumuskan kebijakan pemerintah, khususnya di bidang penegakan hukum,
ketertiban, dan keamanan. Untuk itu, Jaksa Agung di bawah koordinasi Menko Polhukam.
Dalam posisi dan keadaan seperti itu, bagaimana mungkin Jaksa Agung bisa
independen dari pemerintah. Misalnya, bagaimana Jaksa Agung mampu menyikapi
secara kritis dari perspektif hukum dan HAM atas kebijakan dari pemerintah
yang dia sendiri ikut memutuskan.
Dalam situasi seperti itu, wajar jika masyarakat—termasuk para
politisi—khawatir Jaksa Agung bisa disalahgunakan oleh pemerintah.
Kasus-kasus beberapa tahun lalu membenarkan kekhawatiran itu. Kebijakan
impunitas atas kasus pelanggaran berat HAM yang mangkrak di Kejaksaan Agung
diduga karena pengaruh pemerintah.
Guna mengatasi hal ini, sudah saatnya Jaksa Agung dikeluarkan dari
kabinet, khususnya dari jajaran Menko Polhukam. Di sejumlah negara, seperti
Australia, Inggris, dan beberapa negara Eropa lain, gagasan untuk
mengeluarkan Jaksa Agung dari kabinet—atau dikeluarkan dari pembahasan dan
pengambilan kebijakan pemerintah—mulai diwacanakan. Inilah yang disebut
sebagai Independence Aloofness,
yaitu Jaksa Agung diposisikan menjaga jarak dari segala penjuru.
Dalam sistem demokrasi presidensial dengan multipartai, Jaksa Agung
harus mampu mengedepankan sikap independen dan menghindari artikulasi atau
advokasi kebijakan yang bersifat partisan. Dalam kasus pelanggaran HAM atas
kaum minoritas, Jaksa Agung cenderung berpihak pada kebijakan pemerintah yang
partisan. Ini harus diperbaiki. Hubungan Jaksa Agung dengan masyarakat harus
lebih terbuka, dengan menyebarluaskan informasi berkenaan dengan prosedur
kerja jaksa, berkenaan dengan tugas-tugas penuntutan, penghentian penuntutan,
dan pintu pengaduan.
Dalam mewujudkan jaksa yang independen, mandiri, profesional, bersih,
dan jujur sebagai bagian sistem kekuasaan kehakiman, barangkali perlu
dipikirkan bentuk lain penunjukan Jaksa Agung. Misalnya, melalui komite
yudisial, yang hasilnya kemudian ditunjuk oleh Presiden atau dipilih melalui
pemilihan oleh DPR dan DPD. Hanya calon-calon yang lolos seleksi oleh komite
yudisial yang boleh dipilih oleh DPR dan DPD. Model ini dianut oleh sejumlah
negara, antara lain Cile, Argentina, Brasil, dan sejumlah negara di Eropa
Timur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar