Visi Indonesia Raya
II
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan
dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
DITANYA ihwal
impian mata hatinya tentang bangsa ini, Megawati Soekarnoputri dengan
berlinang air mata berujar lirih, ”Indonesia Raya.” Apakah ungkapan itu
terlontar secara kebetulan atau terpancar dari kedalaman penghayatan,
kandungan maknanya amat dalam.
Indonesia Raya
adalah suatu visi pembebasan bangsa dengan akar kesejarahan panjang. Mulanya
adalah pembentukan Komite Perayaan
Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda yang disponsori pemerintah
kolonial. Sebagai tandingan, salah seorang pemimpin Indische Partij (IP), Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar
Dewantara), membentuk Komite Bumiputera pada November 1913.
Komite
Bumiputera melancarkan kritik terhadap rencana perayaan kemerdekaan Belanda
dari penjajahan Perancis yang secara ironis hendak menarik uang dari rakyat
jajahan (bangsa Indonesia) untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Kritik
Soewardi dikemukakan melalui tulisannya yang terkenal berjudul Als
Ik Eens Nederlander Was (”Seandainya
Aku Seorang Belanda”) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (”Satu untuk Semua, tetapi Semua
untuk Satu Juga”).
Dalam tulisan ”Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang
dimuat dalam surat kabar de
Express milik Douwes Dekker,
Soewardi mengemukakan satirnya: ”Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak
akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri
telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja
tidak adil, melainkan juga tidak pantas menyuruh si inlander memberikan
sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan
itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Ayo
teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia
sendiri tidak ada kepentingannya sedikit pun.”
Kritik tajam
Soewardi ini membuatnya bersama dua pemimpin IP lainnya, Douwes Dekker dan
Tjipto Mangoenkoesoemo, harus menerima hukuman pembuangan ke Belanda. Dalam
perjalanan menuju negara itu, Soewardi singgah di India pada 14 September
1913. Dari sana, ia sempat mengirimkan kado ulang tahun kepada istrinya
berupa surat yang juga ditujukan kepada teman-teman seperjuangan di Tanah
Air. Bunyi surat itu, antara lain, ”Apabila pemerintah kolonial memperingati
kemerdekaannya, kita akan sadar bahwa kita belum mempunyai identitas sebagai
bangsa, kita belum mempunyai lagu kebangsaan dan bersiaplah karena waktu
perayaan kemerdekaan kita akan datang juga”.
Pesan Soewardi
dalam surat itulah yang konon mengilhami Wage Rudolf Soepratman untuk
menciptakan lagu ”Indonesia Raya”. Di kemudian hari, Ki Hadjar ditunjuk
Presiden Soekarno sebagai Ketua Tim Penyempurnaan Lagu Indonesia Raya. Untuk
pertama kalinya, lagu kebangsaan itu diperdengarkan di depan khalayak pada
peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Impian Indonesia Raya yang berdegup
dalam jantung lagu ini menjadi mahkota dari pengikatan bersama komitmen
kebangsaan dari berbagai identitas kolektif (etnis, agama, kelas, dan jender)
yang pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaannya.
Sejarah
membuktikan suatu visi perjuangan yang keluar dari mata hati yang jujur
memiliki kakinya tersendiri untuk bergerak memenuhi impian. Visi Indonesia
Raya I, yang diimpikan sejak generasi Soewardi, telah berhasil mengobarkan
”nasionalisme defensif” dalam rangka ”revolusi politik” (nasional) untuk
mengenyahkan kolonialisme dan melahirkan satu Negara Republik Indonesia.
Kendati
demikian, impian Indonesia Raya masih jauh dari tuntas. Seperti kata Isiah
Berlin, ”Manusia tidaklah hidup sekadar
untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk
menghadirkan kebaikan.” Setelah revolusi politik mengusir penjajahan,
tugas selanjutnya mengobarkan revolusi sosial untuk meraih cita-cita keadilan
dan kemakmuran sebagai tujuan akhir revolusi Indonesia.
Untuk itu,
perlu diluncurkan visi Indonesia Raya II yang semangatnya tidak sekadar
bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa
dibangun. Kita perlu mengobarkan nasionalisme yang lebih ”positif-progresif”
untuk mengolah potensi besar yang kita miliki, seperti pesan lagu ”Indonesia
Raya”: ”bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya!” Proyek historisnya tidak hanya mempertahankan, tetapi juga
memperbaiki keadaan negeri.
Visi Indonesia
Raya II ini mendesak dikobarkan menjelang 100 tahun Indonesia merdeka. Apa
yang telah kita capai sejauh ini masih jauh dari harapan kemerdekaan, tetapi
telah dibayar mahal dengan kehilangan dan kerusakan yang begitu banyak. Kita
berkejaran dengan waktu untuk mendekati impian Indonesia Raya sebelum bangsa
ini terancam karam. Tetes tangis Megawati mewakili perasaan ratusan juta
rakyat jelata, sebagaimana terlukis dalam lagu ”Ibu Pertiwi”, yang diciptakan
seorang tak terkenal, Kamsidi Samduddin, sekitar dekade 1950-an/1960-an: ”Kulihat ibu pertiwi/Sedang bersusah
hati/Air matamu berlinang/Mas intanmu terkenang/Hutan gunung sawah
lautan/Simpanan kekayaan/Kini ibu sedang susah/Merintih dan berdoa”.
Semoga, tetes
tangis dari anak ”Putra Sang Fajar” dapat mengobarkan semangat patriotisme
progresif kaum muda, dengan kesiapan meneruskan perjuangan, seperti
diungkapkan pada bait kedua lagu tersebut: ”Kulihat ibu pertiwi/Kami datang berbakti/Lihatlah
putra-putrimu/Menggembirakan ibu/Ibu kami tetap cinta/Putramu yang
setia/Menjaga harta pusaka/Untuk nusa dan bangsa”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar