Selamatkan
Jalan Hakim MK
Saldi
Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direkur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS,
21 Februari 2014
Meski melihat pergerakan cepat dan kesan terburu-buru
selama proses persidangan, saya sama sekali tak percaya Mahkamah Konstitusi
akan membatalkan dan menyatakan UU Nomor 4 Tahun 2014 tak punya kekuatan
mengikat.
Jika ada di antara
materi permohonan yang dikabulkan, dalam batas penalaran yang wajar, tak
mungkin semua substansinya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 alias
inkonstitusional. Dengan cara berpikir sederhana, hakim-hakim konstitusi
pasti tak mau berjudi dengan segala penilaian miring yang muncul jika
mengabulkan semua logika pemohon guna membatalkan UU No 4/2014. Sebagaimana dikutip Kompas (13/2), mengabulkan pemohon menjadi pertaruhan
kredibilitas institusi MK. Apalagi sebagian pasal yang dipersoalkan pemohon
berkaitan langsung dengan kepentingan hakim konstitusi. Nyatanya,
bertolak belakang dengan keyakinan itu, Kamis (13/2), dengan suara bulat
lewat Putusan No 1-2/PUU-XII/2014, delapan hakim konstitusi membatalkan
keberlakuan UU No 4/2014 dan menyatakannya tak punya kekuatan hukum mengikat.
Dengan putusan itu, semua gagasan besar demi perbaikan MK yang diusung UU No
4/2014 kandas di tangan hakim konstitusi.
Menolak sikap presiden
Dengan melacak
persoalan dari awal, tak mungkin menghilangkan keterkaitan sikap hakim
konstitusi via putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 dengan langkah-langkah yang
dilakukan Presiden SBY setelah tertangkap tangannya Akil Mochtar (3/10/2013).
Kejadian awal yang memicu ”protes” di kalangan hakim konstitusi adalah ketika
Presiden mengadakan pertemuan dengan semua ketua lembaga negara untuk
membahas MK pasca-penangkapan Akil. Bisa jadi protes di kalangan hakim
konstitusi karena mereka ditinggalkan dan tak diajak bicara untuk sesuatu
yang berkaitan langsung dengan nasib MK. Padahal, di dalam pertemuan itu,
Presiden didorong melakukan langkah darurat untuk menyelamatkan MK. Selain
itu, dengan tak mengundang MK dalam ”pertemuan darurat” tersebut, hakim
konstitusi merasa tersudut di tengah turbulensi penangkapan Akil Mochtar.
Tindak lanjut langkah
darurat yang disepakati dalam pertemuan para ketua lembaga negara, Presiden
menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1
Tahun 2013. Kegerahan hakim konstitusi kian memuncak dengan munculnya frasa
”akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim
konstitusi” dalam konsiderans menimbang Perppu No 1/2013 versi pertama yang
diedarkan ketika diumumkan di Yogyakarta.
Sekalipun versi
pertama Perppu No 1/2013 menghilang dari peredaran dan frasa itu menghilang
dari draf resmi versi pemerintah, hakim konstitusi tetap saja tak bisa
menerima penilaian seperti itu. Bagi mereka, peristiwa yang menimpa Akil tak
dapat dijadikan alasan mendegradasi delapan hakim yang lain dengan mengatakan
bahwa telah terjadi kemerosotan integritas hakim konstitusi. Bahkan, melihat
suasana di MK ketika itu, hampir saja dimulai perang terbuka antara hakim MK
dan pemerintah.
Beruntung MK masih memilih jalan teduh, keberatan mereka
terhadap frasa konsiderans menimbang tersebut disampaikan langsung via
telepon kepada Menko Polhukam Djoko Suyanto.
Merujuk penjelasan di
atas, sulit dibantah rentetan peristiwa ini lebih dari cukup untuk membentuk
sikap hakim konstitusi dalam menghadapi substansi Perppu No 1/2013. Paling
tidak, secara implisit, sikap ini dapat dilacak dari beberapa nukilan Putusan
No 1-2/PUU-XII/2014. Karena itu, boleh jadi hakim konstitusi termasuk yang
berharap Perppu No 1/2013 tak dapat persetujuan DPR. Bagaimanapun dengan
disetujui DPR, permohonan uji materi (judicial review) UU No 4/2014 tentang Penetapan Perppu
No 1/2013 MK seperti menerima gelindingan bola panas dari DPR.
Sepanjang lebih dari
sepuluh tahun kehadirannya, lembaga ini telah berulang kali menguji UU MK.
Dalam hal ini, salah satu asas umum beracara yang selalu dihadapkan kepada
MK, ”seseorang tidak dapat menjadi
hakim bagi dirinya sendiri (nemo
judexidoneus in propria causa)”.
Secara sederhana, keinginan mempertahankan asas ini lebih pada kemungkinan
mencegah tertumpangnya kepentingan individu hakim atas perkara yang diajukan
kepadanya. Penerapan asas ini sama sekali tak berarti bahwa MK dilarang
mengadili UU MK sendiri. Dalam hal ini, argumentasi MK dapat dipahami: jika
MK dilarang menguji UU yang mengatur tentang MK, lembaga ini akan jadi
sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan UU demi kepentingan
kekuasaan, terutama kepentingan politik pembentuk UU.
Dengan argumentasi itu,
mestinya hakim konstitusi mampu membedakan substansi UU yang berpotensi
melumpuhkan kewenangan institusi dengan pengaturan terkait individu hakim.
Misalnya, jauh hari
sebelumnya, Pasal 50 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menyatakan bahwa UU
yang dapat dimohonkan untuk diuji materi ke MK adalah yang diundangkan
setelah perubahan UUD 1945. Sebagaimana diketahui, melalui Putusan Nomor
004/PUU-I/2003, MK mengesampingkan batasan waktu dalam Pasal 50 UU No
24/2003. Langkah mengesampingkan ini tak menjadi perdebatan utama
karena Pasal 50 itu jelas tak sejalan dengan wewenang MK menguji UU
sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Begitu pula Pasal
45A UU No 8/2011 tentang Perubahan Pertama UU No 24/2003 yang menyatakan
bahwa putusan MK tak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh
pemohon, atau melebihi permohonan pemohon, terkecuali terhadap hal tertentu
yang terkait dengan pokok perkara.
Sebagaimana halnya
Pasal 50, ketentuan Pasal 45A telah diuji dan dibatalkan dengan Putusan MK No
48/PUU-IX/2011. Selain bertentangan dengan semangat awal munculnya gagasan
uji materi, larangan dalam Pasal 45A UU No 8/2011 berpotensi menggerus
wewenang MK.
Dengan memaknai secara
tepat maksud di balik pengabulan permohonan pengujian Pasal 50 dan Pasal 45A,
pengujian atas UU MK jelas memiliki bingkai argumentasi logis. Sekalipun
masih mungkin diperdebatkan, upaya hakim konstitusi menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa adalah
demi menyelamatkan terancamnya wewenang lembaga yang diberikan UUD 1945.
Apabila diletakkan dalam konteks lebih luas, membatalkan bagian tertentu dari
UU yang berpotensi merusak wewenang MK adalah bagian dari mempertahankan
kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namun, upaya menerobos asas itu jadi
kehilangan basis logika yang dapat dipertanggungjawabkan jika materi UU MK
yang diuji terkait langsung dengan kepentingan individu hakim konstitusi.
Misalnya, MK pernah pula menguji batas maksimum usia untuk jadi calon hakim
konstitusi. Dalam hal ini, Pasal 15 UU No 8/2011 mengatur batas usia paling
tinggi untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi adalah 65 tahun.
Kemudian dengan menggunakan alasan batasan itu dinilai menghalangi hak
seseorang yang telah duduk sebagai hakim konstitusi, ketentuan tersebut
dibatalkan MK (Kompas, 15/02).
Menjaga MK
Secara
terang-benderang, putusan ini jelas punya kepentingan langsung dengan salah
seorang hakim konstitusi. Karena itu pilihan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa jadi
kehilangan basis logika yang dapat diterima dalam batas penalaran yang wajar.
Untungnya, dalam putusan batasan umur maksimal ini, masih ada dua hakim
konstitusi (Harjono dan Maria Farida) yang memiliki sensitivitas dengan
memilih pendapat berbeda (dissenting
opinion).
Sebetulnya, apabila
mau agak sedikit bertenang-tenang membaca Perppu No 1/2013 yang ditetapkan
dengan UU No 4/2014, substansinya jelas bertujuan menjaga MK sebagai sebuah
institusi. Upaya menjaga ini didesain begitu rupa: mulai dari pembenahan
persyaratan menjadi hakim konstitusi, melakukan proses seleksi yang
transparan dan akuntabel, sampai menjaga perilaku hakim konstitusi dengan
membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) bersifat permanen.
Berkaitan syarat ”tidak menjadi anggota partai politik
dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai
calon hakim konstitusi”, tambahan ini seharusnya dibaca sebagai langkah
strategis untuk mencegah dominasi aktivis parpol jadi hakim konstitusi.
Dengan dibatalkannya syarat ini dalam waktu dekat, sangat mungkin mayoritas
hakim konstitusi akan disesaki kalangan partai. Bahkan, suatu waktu nanti,
jika ada sebuah partai menjadi kekuatan mayoritas (50 persen lebih) di DPR
dan partai bersangkutan juga memegang posisi presiden, sangat mungkin enam
hakim konstitusi akan berasal atau didukung dari partai sama. Bilamana itu
benar-benar terjadi, sangat mungkin MK mengalami kelumpuhan. Karena itu,
banyak kalangan sulit menerima ketika tak satu pun hakim konstitusi
melakukan dissenting opinion dengan pembatalan syarat ini. Padahal,
masih segar dalam ingatan ketika mayoritas hakim yang ada sekarang dengan
suara bulat memutuskan jarak waktu lima tahun berhenti dari partai bagi calon
anggota KPU dan anggota Bawaslu. Karena itu, membatalkan syarat tujuh tahun
dengan menerobos asas nemo judexidoneus in propria causa tindakan
kebablasan.
Begitu pula dengan
perbaikan proses seleksi, dengan desain yang ditawarkan dalam UU No 4/2014,
banyak kalangan percaya kita punya peluang menghadirkan hakim lebih kredibel.
Dengan proses terbuka, selain memberi ruang bagi masyarakat berpartisipasi,
peran panel ahli dapat jadi tahapan penting menilai kemampuan calon hakim
konstitusi. Dalam hal ini, meski dipersyaratkan memiliki ijazah doktor,
secara substansi belum tentu ijazah itu sekaligus mencerminkan kemampuan
sesungguhnya.
Apalagi, sudah jadi rahasia umum, banyak fasilitas untuk meraih
doktor tanpa harus melalui proses yang berdarah-darah. Yang paling
menyedihkan, upaya membentuk MKHK yang permanen juga kandas dalam Putusan MK
No 1-2/PUU-XII/2014.
Padahal, MKHK amat diperlukan untuk menjaga integritas
dan kepribadian yang tak tercela hakim konstitusi. Bagaimanapun, dengan luas
wewenang yang dimiliki MK, lembaga penjaga kode etik menjadi kebutuhan yang
mendesak. Jika tidak, pengalaman Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi dan Akil
Mochtar sangat mungkin terulang kembali.
Kini, dengan
pembatalan UU No 4/2014, upaya menjaga MK secara sistematis dari hulu sampai
hilir sulit diwujudkan. Karena itu, ketika desain perbaikan tertolak palu
hakim, kita tetap harus berpikir keras menjaga dan merawat MK sebagai
institusi.
Apabila harus memilih, penyelamatan MK jauh lebih lebih penting
daripada penyelamatan hakim konstitusi. Apalagi, hari-hari ke depan kita
harus sedikit menahan napas mengikuti proses persidangan Akil. Semoga keterangan Akil tak kian menggerus
posisi MK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar