Saatnya Mendengar Peringatan
Cassandra
Akhmad Fauzi ; Guru Besar Ekonomi Sumber Daya
dan Lingkungan
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
|
KOMPAS,
11 Februari 2014
SETIAP kali terjadi bencana
ekologis, setiap kali pula terjadi perdebatan siapa yang salah. Orang di
daerah hilir seperti Jakarta merasa dapat banjir kiriman dari Bogor.
Sebaliknya orang daerah hulu menuding orang Jakarta yang merusak daerah
resapan di hulu.
Perdebatan ini tentu tidak
menyelesaikan masalah. Kondisi geografis adalah given, bukan suatu
pilihan. Sejatinya yang bisa diubah adalah pilihan kebijakan pembangunan
kita, terlepas apakah itu daerah hilir atau hulu.
Banjir dan bencana alam di
berbagai wilayah di Indonesia adalah buah dari kebijakan pembangunan. Ibarat
kanker, kata Edward Abbey, orientasi pembangunan ekonomi yang mengejar
pertumbuhan semata ibarat sel kanker yang tumbuh besar, tetapi merusak.
Sudah lebih dari empat dekade para
ahli mengingatkan ”ongkos” yang harus kita bayar. Degradasi lingkungan,
perubahan iklim, dan menurunnya keanekaan hayati penopang kehidupan adalah
ongkos yang harus dibayar mahal. Studi dari tim Bank Dunia sejak tahun 2009
menunjukkan ongkos lingkungan dari pembangunan tidak berkelanjutan yang
menggerus produk domestik bruto (PDB) kita 0,13-2 persen, tetapi terus saja
diabaikan.
Dilema Cassandra
Semua ini mengingatkan kita pada
dilema Cassandra, dewi mitologi Yunani yang dikenal
memiliki prophecy atau ramalan yang tajam. Sayang,
peringatan-peringatannya yang sering terbukti tidak didengar.
Dalam ranah ekonomi dan
pembangunan sudah berulang kali teriakan ”Cassandra” bergema. Dari Limit to Growth sampai Green Economy yang sempat mencuat
tahun 2012 ketika Rio+20 diselenggarakan.
Teriakan ”Cassandra” juga mencuat
seputar penggunaan PDB sebagai indikator ekonomi yang
cenderung misleading. Berbagai indikator alternatif ditawarkan untuk
mengakomodasi aspek lingkungan seperti PDB-hijau dan indikator sosial lain
(misalnya Butan dengan Indeks Kebahagiaan-nya). Namun, seperti halnya
peringatan ”Cassandra”, ini pun diabaikan.
Akibatnya prophecy Cassandra kembali terbukti dengan maraknya
bencana lingkungan.
Ketergantungan pada indikator semu
seperti PDB menyebabkan apa yang disebut oleh David Orr sebagai progress
trap atau jebakan kemajuan. Semakin banyak mobil atau motor di jalanan
memang bisa meningkatkan PDB. Namun, PDB tidak mencatat ”ongkos” yang dibayar
oleh masyarakat berupa stres, pencemaran, kehilangan waktu akibat kemacetan,
dan seterusnya.
Pengukuran PDB juga cenderung
menimbulkan fenomena broken window
fallacy. Ketika bencana timbul seperti saat ini, pemerintah mengeluarkan
banyak uang untuk membayar upah, membeli peralatan, dan sebagainya.
Pengeluaran pemerintah ini akan memberi kontribusi terhadap peningkatan PDB
sehingga terjadi fallacy: makin banyak bencana makin naik PDB.
Gagal internalisasi
PDB juga gagal dalam
menginternalisasikan degradasi lingkungan akibat pembangunan. Ketika pohon
ditebang hanya hasil kayu yang dinilai, sementara fungsi pohon dalam
ekosistem tidak diperhitungkan. Ketika wilayah pesisir direklamasi,
penerimaan dari bisnis yang diperhitungkan. Namun, fungsi wilayah pesisir
sebagai ”ginjal” ekosistem tidak masuk dalam analisis biaya manfaat.
Undang-Undang Lingkungan Hidup
Nomor 32 Tahun 2009 sebenarnya banyak memberikan amunisi, di antaranya
melalui instrumen ekonomi (Pasal 42 dan 43) untuk mengarahkan kita pada
pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya terkait dengan skema
imbal jasa lingkungan antara daerah hulu dan hilir (Pasal 43c) sehingga Jawa
Barat dan DKI Jakarta bisa bekerja sama konservasi dan ekonomi melalui
mekanisme imbal jasa lingkungan.
Sayang peraturan pemerintah
terkait instrumen ekonomi ini belum keluar. Padahal, PP ini sangat penting
bagi pengembangan kerja sama konservasi dan pengembangan ekonomi berbasis
jasa lingkungan antara daerah hulu dan hilir.
Imbal jasa lingkungan
Mekanisme imbal jasa lingkungan
adalah mekanisme berbasis insentif yang bukan saja mampu menekan kerusakan di
wilayah hilir, melainkan juga memberikan peluang ekonomi di wilayah hulu.
Instrumen ekonomi yang ada dalam UU No 32/2009 juga banyak memberikan ”menu”
bagi pengambil kebijakan untuk mengubah orientasi pembangunan yang cenderung
pada pertumbuhan semata.
Perubahan pola pikir para
pengambil kebijakan juga sangat diperlukan. Jangan sampai terus-menerus
timbul dikotomi antara ekonomi dan lingkungan. Jika kerusakan lingkungan
timbul karena kerakusan ekonomi, sejatinya prinsip ekonomi pula yang harus
memulihkan melalui mekanisme insentif atau pasar.
Pemerintah China akhir Desember
lalu, misalnya, memberikan bonus tunai kepada para petani di wilayah hulu
yang telah berusaha menanam pohon dan melakukan konservasi. Kapan petani kita
memperoleh bonus serupa?
Perubahan pola pikir yang lebih
besar lagi diperlukan untuk mengubah paradigma pembangunan ekonomi kita ke
arah ekonomi hijau. Kita sudah memiliki landasan ekonomi hijau sebagaimana
diamanatkan UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Berbagai
konsep dan program juga diwacanakan. Namun, kembali yang diperlukan adalah
dorongan besar (big push)
implementasi dari pemimpin nasional.
Ekonomi hijau akan mengantarkan
kita pada the right kind of growth.
Tantangan implementasi ekonomi hijau ini tentu akan semakin besar pada tahun
politik ini. Mudah-mudahan berbagai bencana yang terjadi menyadarkan kita
untuk mendengar Cassandra. Semakin kita menunda, semakin besar pula
ongkosnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar