Relokasi
Korban Sinabung
Joyakin Tampubolon ; Widyaiswara
Madya Kementerian Sosial, Lulusan S3 IPB
|
KORAN
JAKARTA, 08 Februari 2014
Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) mengisyaratkan pemerintah akan merelokasi korban erupsi
Gunung Sinabung dari lima desa di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara.
SBY mengemukakan rencana itu
ketika berdialog dengan para pengungsi di tenda pengungsian, Kabanjahe,
Kabupaten Karo, 23 Januari.
Relokasi untuk melindungi
korban terdampak Sinabung agar ke depan meraih kehidupan yang aman, tenteram,
dan damai. Kondisi pengungsi yang memprihatinkan sekarang harus berubah
menjadi lebih baik di masa depan.
Hanya, untuk sementara,
pemerintah jangan mengasesmen apa pun terkait relokasi saat warga terdampak
dalam kondisi ketidakpastian karena mengungsi, jauh dari lingkungan
permukiman.
Mereka meninggalkan harta benda
produktif dan harta berharga lainnya. Pemerintah jangan menafsir ketika
hampir lima bulan bayi, anak-anak, remaja, pemuda, ibu hamil, orang lanjut
menempati tenda pengungsian serbaminim fasilitas kemanusiaan. Warga belum
bisa menentukan sikap terkait relokasi.
Para pengungsi dalam situasi
negatif, kini menghabiskan sebagian besar waktu secara tidak produktif. Tidak
banyak kegiatan produktif dilakukan seperti membuat kue nastar agar
mendatangkan penghasilan, seperti dijalani ibu-ibu di Paroki Santo Petrus dan
Paulus, Kabanjahe.
Juga, umumnya, warga terdampak
dalam kondisi kesehatan jasmanirohani yang sangat menurun. Mereka kehilangan
harta benda, rumah, perabot kemungkinan rusak, sumber daya pertanian hancur.
Ini berdampak penghasilan
menurun drastis. Berlama-lama di pengungsian mengganggu kesehatan. Dari sisi
pendidikan, anak di berbagai strata sekolah, warga dikepung persoalan berat.
Biaya bulanan pendidikan anak di luar kota tergganggu.
Bantuan pendidikan pemerintah
memang menolong, tapi warga memerlukan kepastian, kapan penghasilan kembali
stabil agar keperluan pendidikan tertanggulangi baik seperti semula.
Relokasi! Program ini pada era Orde Baru (Orba) bernama resetlemen.
Banyak ditemukan "duri dan
onak” dari program resetlemen, memindahkan manusia dari permukiman lama
dengan segala potensi ke lokasi baru. Resetlemen memiliki keterikatan dengan
aspek keluarga, emosional, historikal, sosial, sumber daya alam, dan sumber
daya ekonomi.
Program resetlemen bisa dinilai cukup berhasil dari dimensi redistribusi
lahan baru kepada penduduk (landreform)
oleh pemerintah Orba.
Jika memilah-milah persoalan
resetlemen masa lalu, ada beberapa masalah penting yang harus diantisipasi.
Resetlemen maupun relokasi intinya sama: memindahkan manusia dari permukiman
lama ke tempat baru.
Pelaksana adalah Direktorat
Jenderal Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal
Bantuan Sosial dan Direkorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Departemen
Sosial.
Pemerintah
membangun/menyediakan minimal sekitar 60 rumah sederhana, maksimal sekitar
150 rumah bergantung kondisi lokal. Rumah sederhana digratiskan berukuran 4 x
6 meter2 berdinding gedek, atap seng. Lahan tidur pun digratiskan.
Warga memberdayakan lahan
sebagai usaha pertanian dan peternakan. Ukuran lahan usaha maksimal per
kepala keluarga (KK) dua hektare. Ketika itu, potensi lahan tidur milik
pemerintah relatif luas.
Jarak lokasi permukiman
"lama” dan baru relatif terjangkau, berada dalam satu daratan, juga pada
wilayah administratif pemerintahan atau satu kabupaten. Kemudian melakukan
sosialisasi, penyuluhan, bimbingan sosial, usaha ekonomis produktif.
Ada pendampingan, dan petugas
lapangan (pendamping) tinggal bersama warga. Pendamping sebagai agent of changes pada tiap lokasi.
Persoalan krusial ketika hari "H” banyak keluarga enggan dipindahkan.
Alasan utama, tak mau
"berpisah” dengan lingkungan, situasi dan kondisi lokasi lama. Warga
merasa "krasan” di lokasi lama. Mereka telah tinggal dalam waktu
panjang, bahkan turun-temurun. Terkait keengganan/penolakan sebagian
penduduk, bahkan warga yang sudah pindah pun, dalam waktu singkat memutuskan
kembali menetap di lokasi permukiman lama.
Pembelajaran
Kendala program resetlemen dulu
harus dijadikan pembelajaran dalam program relokasi warga lereng Gunung
Sinabung, mengingat mereka berasal dari daerah pertanian subur, produk
pertanian bernilai ekonomi tinggi, marketing produk yang baik, usaha pun
propektif.
Masalah-masalah tadi sebagai
contoh yang bisa saja terjadi dengan rencana pemerintah merelokasi warga
terdampak erupsi Gunung Sinabung. Tingkat kesulitan dari tiap problem ketika
implementasi resetlemen harus dapat dieliminasi seminimal mungkin.
Apalagi perpindahan manusia
dari permukiman lama ke baru biasanya berhadapan dengan problematik yang
kurang lebih sama. Perubahan yang terjadi di berbagai wilayah tidak terlalu
signifi kan.
Pemerintah merelokasi korban
erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dengan menyiapkan hunian tetap (huntap) 2.739
unit rumah di Plosokerep, Umbulharjo, Pagerjurang, Kepuharjo, Cangkringan,
Sleman.
Sebanyak 301 KK belum mau
dipindahkan karena Kali Gendol dan Kali Kuning dianggap rawan (keduanya
melalui daerah-daerah itu). Pengalaman di Daerah Istimewa Yogyakarta perlu
dikaji teliti oleh Pemprov Sumut dan Pemkab Karo dengan studi banding.
Untuk kasus Sinabung, relokasi
sebagai program jangka menengah. Maka, dalam waktu 5 tahun–10 tahun kemungkinan
program relokasi korban erupsi Gunung Sinabung baru dipersiapkan sebagai
alternatif perlindungan sosial. Presiden SBY menugaskan BNPB menangani
relokasi.
Kinerja BNPB dalam
penanggulangan berbagai bencana masih amburadul. Warga pesimistis melihat
praktik manajemen bencana berbiaya tinggi, tapi hasilnya mengecewakan.
Sinerji kebijakan dalam program kebencanaan bisa diimplementasi baik manakala
ditopang manajemen profesional.
Mekanisme kerja sama
antarpemangku kepentingan harus transparan. Mereka mematuhi komitmen UU Nomor
24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada tataran implementasi link and
match, lemah.
Badan penanggulangan bencana
pemerintah Amerika Serikat, Federal
Emergency Management Agency (FEMA) didukung peralatan canggih, SDM
unggul, profesional, berpengalaman, dan berketerampilan tinggi.
Walaupun FEMA profesional,
selalu merujuk berbagai persoalan teknis kepada pemerintah/swasta yang
memiliki kompetensi teknis. FEMA berupaya seluruh korban harus tertangani
baik. Relokasi berhasil jika berbasiskan masyarakat (community based).
Warga berhadapan dengan
"ujian hidup” di lokasi baru. Relokasi berbasis masyarakat mewajibkan
pemanfaatan potensi sumber daya alam, sosial, ekonomi di permukiman baru.
Korban tsunami Aceh, Nias, Sri Lanka, umumnya tak mau "mundur” dari
pesisir pantai.
Alasan, kultur kehidupan mereka
berinteraksi erat dengan lingkungan pantai dan laut. Apalagi sumber daya
pantai dan laut menjanjikan keuntungan ekonomis kini dan di masa depan.
Pantai juga menjadi salah satu objek wisata menjanjikan.
Korban badai Sandy di Manhattan
pun memilih kembali ke rumah, dan berencana membangun rumah lebih kuat,
ketimbang pindah tempat tinggal sekalipun aman dari langganan hantaman badai.
Relokasi korban erupsi Gunung
Si nabung perlu kajian pengalaman pemindahan di dalam maupun luar negeri.
Sebab, relokasi berada dalam konteks rehabilitasi sosial dan perlindungan
sosial terhadap manusia rentan. Mereka harus memperoleh pemulihan,
pemberdayaan, dan penguatan kehidupan secara berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar