Minggu, 02 Februari 2014

Presiden dan Literasi

Presiden dan Literasi

Bandung Mawardi  ;   Pengelola Jagat Abjad Solo
TEMPO.CO,  02 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Anas Urbaningrum (AU) menerbitkan buku berjudul Janji Kebangsaan Kita, 2013. Buku itu berisi esai-esai yang pernah dimuat di koran dan disampaikan dalam pidato di pelbagai acara. Status tersangka tak menghabisi ambisi intelektual dan literasi dari bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu. Ingat AU, ingat Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). AU pernah turut membesarkan partai bentukan SBY, menebar pujian bagi SBY selaku presiden. Dulu, AU pernah menerbitkan dua buku untuk pembentukan imajinasi politik dan opini publik: Bukan Sekadar Presiden: Daya Gugah SBY sebagai Pemimpin (2009) dan Revolusi Sunyi: Mengapa Partai Demokrat dan SBY Menang Pemilu 2009 (2010). 

Para pembaca bisa mengingat dua buku garapan AU jika ingin memberi tanggapan buku SBY, berjudul Selalu Ada Pilihan, 2014. AU pernah mengisahkan SBY bergelimang pujian meski berubah menjadi serangan kritik, akibat terlibat kasus korupsi dan konflik dalam Partai Demokrat. Sekarang, SBY menulis sendiri tanpa perantara atau juru pengisah. Buku setebal 808 halaman itu dipersembahkan bagi "pencinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia mendatang". Presiden sanggup menulis buku, memuat pembelaan diri dan petuah, dari urusan pribadi sampai politik. Kita mesti menebus keingintahuan mengenai SBY dengan pembelian buku seharga Rp 199 ribu.

SBY menjelaskan bahwa penulisan dan penerbitan buku bermaksud memberi "jawaban" dan edukasi atas pelbagai kritik, fitnah, komentar, gosip selama menjalankan amanah dua periode, sejak 2004. Buku memiliki tujuan agar rakyat mengerti jalan pikiran, kebijakan, dan tindakan SBY: "… memajukan kehidupan dan kesejahteraan rakyat Indonesia." Kita mulai mengerti bahwa SBY sengaja menghampiri kita tak cuma melalui lagu, puisi, dan pidato. Buku diniatkan menjadi sapaan bagi publik, mencipta hubungan literasi. Kapan SBY memiliki ketekunan dan waktu menulis buku? SBY menjawab: "Yang jelas, buku yang penulisannya saya cicil selama setahun ini, yang saya tulis di hari libur, di pesawat, dan di tengah keheningan malam, tidak sekali pun mengganggu tugas-tugas saya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan."

Kita mulai bercuriga. SBY itu sibuk menjadi presiden dan mendongkrak popularitas Partai Demokrat. Apakah SBY bakal menambah kesibukan dengan promosi buku? Ah, curiga kita berlebihan. Kita menanti SBY mengucap judul buku dalam pidato atau wawancara, beraroma promosi. Sebutan judul buku bisa mengajak publik tergoda membeli buku bersampul putih dan tebal. Publik pun diperkenankan mengekspresikan pujian atau kebanggaan, memiliki presiden sebagai penulis buku. 

Presiden menulis buku? Kita ingat Sukarno, penulis artikel dan buku-buku ampuh. Dalam pelbagai pidato, Sukarno sering berpesan agar orang-orang membaca Sarinah dan Di Bawah Bendera Revolusi. Pesan bermaksud politis dan intelektual, mengajak publik mengerti basis pemikiran revolusi, sejarah, demokrasi, kepribadian. Sukarno tampil sebagai intelektual, menyajikan tulisan-tulisan sangar dan menggugah. Sejak muda, Sukarno memang rajin membaca dan menulis, berlanjut saat menjabat presiden. Publik mengingat Sukarno, mengingat buku-buku. 

Pesona buku-buku dari Sukarno belum pudar, melintasi tahun demi tahun. Orang-orang masih ingat kutipan berisi pemikiran dan slogan-slogan buatan Sukarno. Agenda menggerakkan Indonesia dengan buku beretos literasi melekat ke Sukarno. Indonesia episode awal adalah negeri berpolitik dengan buku, berlimpah ide dan tanggapan. Ingatan itu memberi pengharapan ada komunikasi politik populis dan edukasi politik berbasis keaksaraan. Indonesia bergerak bersama buku-buku garapan Sukarno dan para penggerak bangsa: M. Hatta, Hamka, M. Natsir, Tan Malaka, M. Yamin. 

H Mualliff Nasution (1963), dalam sekapur sirih untuk buku Di Bawah Bendera Revolusi, menerangkan: "… buku ini dipersembahkan kepada rakjat dengan maksud djanganlah hendaknja hanja sekedar untuk penghias lemari buku, akan tetapi dengan penuh tjinta dan sadar mempeladjarinja setjara ilmiah betapa pasang surutnja pergerakan kemerdekaan di zaman pendjadjahan." Buku setebal bantal juga bertujuan "meratakan djalan bagi pembentukan masjarakat adil dan makmur." Ingat, buku dari presiden jangan cuma jadi penghias lemari buku!

Buku dari Sukarno dan SBY memiliki tujuan mulia, meski berbeda isi dan resepsi pembaca. Kita berharap buku SBY mampu dipelajari oleh publik, tak cuma jadi penghias lemari buku. Para pejabat dan pengusaha pun pantas diingatkan, jangan membeli buku dengan niat pamer kesetiaan kepada SBY! Apakah buku Selalu Ada Pilihan diminati pembaca? Kita belum bisa mengukur dan membuat evaluasi. Kita cuma melihat fakta, selama Januari 2014, Selalu Ada Pilihan sudah cetak dua kali. Ampuh! Kita bakal tercengang dengan jumlah penjualan jika ada promosi dari SBY. Buku telah menggenapi pengenalan publik terhadap SBY: penggubah lagu, pujangga, penulis.

Buku-buku warisan dari para penggerak bangsa dan sajian SBY membuat katalog Indonesia berlimpah. Membaca buku, membaca Indonesia. Presiden menulis buku tentu persembahan edukatif demi demokrasi berbasis literasi. Sukarno, B.J. Habibie, Gus Dur, dan SBY menjadi representasi dari klaim penggerak politik dan literasi. Mereka adalah presiden dan penulis. Kita membaca buku mereka dengan percik harapan: Indonesia berliterasi sepanjang masa. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar