Pers
dan Kontrol Publik
Hasyim Asy’ari ; Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum
Universitas
Diponegoro (Undip)
|
SUARA
MERDEKA, 08 Februari 2014
MAU mengakui atau tidak, bila pers memberitakan secara
bertubi-tubi suatu kasus hukum maka aparat penegak hukum lebih
memprioritaskan penanganan perkara tersebut. Kita sering mendengar aparat
penegak hukum menggunakan istilah ”kasus yang mendapat perhatian publik” dan
sejenisnya.
Terdapat kecenderungan aparat mendahulukan penanganan
kasus tersebut ketimbang kasus lain. Penanganannya pun lebih hati-hati dan
cermat, dan mereka cenderung terbuka kepada publik, minimal melalui pers. Di
satu sisi aparat merasa publik merasa tengah menyorot kinerja sehingga mereka
tidak mau kehilangan muka, sehingga
memprioritaskan penuntasan kasus itu.
Di sisi lain, pers berperan besar menyuarakan apa yang
dikehendaki masyarakat. Ada dua kasus menarik yang bisa menjadi contoh.
Pertama; ramainya pemberitaan seputar pengangkatan mantan sekda Kabupaten
Bintan Azirwan sebagai Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan
Riau (Kepri) sekitar Oktober 2012. Semula pengangkatan itu dinilai tidak
menyalahi peraturan hukum.
Belakangan pengangkatan itu menjadi ”badai kritik” setelah
sejumlah aktivis antikorupsi dan akademisi mengangkat isu itu ke permukaan
melalui pers. Salah satu kritik tajam dan mendasar disampaikan Rois Syuriah
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Masdar Farid Masíudi, yang berpendapat
mantan terpidana koruptor semestinya jangan dipilih lagi.
Argumentasinya adalah pejabat itu pernah mendapat amanat
sebagai aparatur negara, tetapi mengkhianati. Karena itu, pejabat yang
terbukti pernah korupsi, jangan dipromosikan menduduki jabatan publik, bahkan
jika perlu diberhentikan dari PNS. Kepala daerah yang mengangkat mereka pun
berarti mencederai rasa keadilan dan moralitas publik.
Tak lama kemudian Mendagri mengeluarkan seruan melalui
Surat Edaran Nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan
Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Edaran itu menegaskan, mantan terpidana
dilarang menjadi pejabat, dan seandainya mereka terlanjur diangkat pun harus
diberhentikan.
Pada awal November 2012, hampir sepekan berturut-turut,
harian nasional menurunkan berita seputar pengangkatan sejumlah pejabat
struktural ”bermasalah” di beberapa pemda. Rangkaian judul berita headline
itu menuliskan ”Bersihkan Pemerintahan:
Masih Banyak Bekas terpidana Korupsi Bercokol di Pemerintahan Daerah”; ”153 PNS
Bekas Terpidana: Sejumlah Pejabat di Daerah Tak Gubris Edaran Mendagri”;
Lainnya adalah ”Amanat
Rakyat Diabaikan: Kepala Daerah Harus Punya Sensitivitas Tinggi Perangi
Korupsi”; ”Beri Sanksi Kepala Daerah: Promosi Eks Terpidana Korupsi”; dan
”Cabut SK Bekas Terpidana: Cederai
Gerakan Pemberantasan Korupsi”. Pilihan bahasa dalam berita itu pun
mengungkap fakta dan sekaligus menebar tuntutan masyarakat.
Kedua; kontrol masyarakat berupa petisi melalui media
sosial di dunia maya. Contohnya perebutan wewenang penyidikan kasus simulator
SIM Korlantas Polri. Situs media sosial change.org melansir petisi, ”Serahkan Kasus Korupsi Polri ke KPK!
Hentikan Pelemahan KPK!” Petisi ini dimulai dan didukung oleh sejumlah
tokoh.
Petisi itu berhasil mengumpulkan 15.036 tanda tangan lewat
media online hanya dalam waktu 3 hari (5-7 Oktober 2012). Kemudian change.org
mengirimkan 15.036 petisi itu kepada Susilo Bambang Yudhoyono (presiden),
Timur Pradopo (waktu itu Kapolri), Oegroseno (waktu itu Kepala Lembaga
Pendidikan Polri), Tjatur Sapto Edi (Wakil Ketua Komisi III DPR), Muhammad
Nasir Djamil (Wakil Ketua Komisi III DPR), dan Eva Sundari (anggota Komisi
III DPR).
Kita bisa membayangkan email mereka kebanjiran kiriman
15.036 email atas nama penanda tangan petisi. Gerakan petisi online lewat
change.org tersebut akhirnya mendorong Presiden SBY mengambil kebijakan pada
Selasa, 9 Oktober 2012 untuk menyerahkan penyidikan kasus Simulator SIM ke
KPK.
Posisi Pers
Pers akan ditempatkan dalam dua posisi, yaitu sebagai
mediator dan kekuatan sosial politik. Dalam posisi memediasi, pers merupakan
refleksi dari dinamika interaksi antara negara dan kekuatan sosial politik masyarakat, dan
antarkekuatan sosial politik di masyarakat. Pers juga menjadi salah satu
kekuatan sospol di tengah percaturan kekuatan politik antara negara dan
kekuatan sosial politik masyarakat. Pada posisi itu, pers menjadi salah satu
aktor kekuatan sosial politik masyarakat itu sendiri.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memberikan
jaminan kebebasan pers. Melalui regulasi itu mulai diperkenalkan hak tolak
wartawan mengungkap nama atau identitas lain sumber berita, yang harus
dirahasiakan. Undang-undang itu juga memberikan ruang kontrol terhadap pers
melalui hak jawab seseorang/sekelompok terhadap pemberitaan yang dianggap
merugikan.
Demikian pula hak koreksi dari tiap individu untuk
meluruskan informasi yang diberitakan pers, baik tentang individu tersebut
maupun orang lain. Pers juga dikenai kewajiban mengoreksi atau meralat suatu informasi, data, fakta,
opini, atau gambar yang tidak benar yang diberitakannya.
Pada akhirnya, di satu sisi pers, yang pada 9 Februari
besok memperingati Hari Pers Nasional (HPN), dapat berperan sebagai media
bagi masyarakat untuk mengontrol penegakan hukum. Di sisi lain, masyarakat
juga mengontrol pers melalui hak jawab dan hak koreksi supaya pers tak
terjatuh ke lembah fitnah yang merugikan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar