Sabtu, 08 Februari 2014

Penyidik Polri “Perlu Belajar” pada Penyidik KPK

Penyidik Polri “Perlu Belajar” pada Penyidik KPK

Reza Indragiri Amriel   ;   Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Mantan Peserta Community Policing Development Program di Jepang
KORAN SINDO,  07 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Bertahun-tahun bekerja sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (dahulu Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) membuat saya bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai lebih trengginas daripada penyidik Polri. 

Padahal, baik penyidik KPK maupun penyidik Polri berasal dari institusi yang sama, yakni Polri, dan telah menempuh proses pendidikan yang kurang lebih juga sama. Tidak mudah menentukan parameter yang dapat digunakan untuk menakar, apalagi membandingkan, kualitas kerja penyidik KPK dan penyidik Polri. Salah satu tolok ukur yang bisa dipakai adalah apresiasi masyarakat. 

Dan karena selama ini masyarakat memberikan respons lebih positif terhadap lembaga KPK ketimbang Polri, maka tidak berlebihan untuk berasumsi bahwa respons tersebut merupakan kondisi di mana performa penyidik KPK dipersepsikan lebih memuaskan daripada performa penyidik Polri. Kemungkinan pertama yang menjelaskan perbedaan persepsi tentang mutu kerja kedua kelompok penyidik itu adalah karena satu sama lain memiliki tingkat kesejahteraan yang berbeda.

Penyidik Polri yang bekerja di KPK dikabarkan memperoleh imbalan kerja lebih baik daripada penyidik Polri yang tetap bekerja di Polri. Kendati tali-temali antara penghasilan dan produktivitas kerja sudah disimpulkan banyak peneliti, namun ketika yang menjadi sorotan adalah lembaga penegakan hukum, pengaruh faktor penghasilan terhadap kinerja perlu dipahami secara ekstra hati-hati. Pasalnya, ketika bayaran yang baik dijadikan sebagai prasyarat bagi positifnya kinerja aparat penegak hukum, interpretasinya akan sangat buruk: polisi baru akan bekerja sungguh-sungguh hanya jika mereka menerima bayaran. 

Semakin baik bayaran yang polisi terima, niscaya akan semakin baik pula kualitas profesionalitas mereka. Logika sedemikian rupa nyata-nyata tidak cocok untuk kerja kepolisian yang diasosiasikan sebagai pelayan dan pengayom. Seakan, dengan simpulan seperti itu, hanya warga yang berduit saja yang akan bisa menggerakkan polisi. Sebaliknya, masyarakat miskin akan menjadi warga buangan karena tidak mungkin memperoleh layanan dari polisi. 

Karena kemungkinan pertama di atas terlalu absurd untuk diangkat sebagai penjelasan definitif, kemungkinan lainnya yang masuk akal: sumber daya manusia Polri yang diberikan tugas sebagai penyidik KPK adalah lebih bermutu daripada penyidik Polri yang tetap berdinas di Polri. Dengan kata lain, KPK beruntung karena mendapat penyidik-penyidik kelas satu, sedangkan Polri harus berlapang dada menerima penyidik-penyidik sisa. Dugaan tentang kelas sumber daya manusia tersebut terpatahkan ketika dibandingkan dengan data di Pusat Pendidikan Reserse dan Kriminal (Pusdik Reskrim) Polri. 

Informasi yang saya peroleh dari diskusi di sana menunjukkan bahwa personel Polri yang kini bekerja sebagai penyidik KPK ternyata tidak memiliki nilai belajar yang spektakuler. Hampir semua penyidik tersebut mendapat nilai biasa-biasa saja semasa menjalani penempaan di Pusdik Reskrim. Itu artinya, kebanyakan penyidik dengan nilai terbaik tetap berada di dalam institusi Polri. 

Menyadari hal itu, saya langsung teringat pada sebuah temuan riset bahwa pengaruh proses pelatihan (analog dengan pendidikan dan pelatihan) terhadap modifikasi perilaku sesungguhnya sangat kecil. Dengan kata lain, jika diterapkan untuk menjelaskan perbedaan kualitas penyidik KPK dan penyidik Polri, terlalu utopis untuk berharap bahwa setelah mengikuti diklat (termasuk diklat reskrim), para peserta diklat akan mengalami lompatan kemampuan kerja secara signifikan. 

Karena kontribusi diklat kurang signifikan, maka—rekomendasi dari temuan tadi— peningkatan kompetensi kerja yang sesungguhnya ditentukan oleh perlakuan yang diterima personel di kantor mereka masing-masing. 

*** Pertanyaannya, bagaimana perlakuan yang penyidik Polri alami di KPK dan bagaimana pula perlakuan yang diterima penyidik Polri di Polri? Dinamika di internal KPK seperti yang menyeruak ke publik beberapa bulan silam, memberikan gambaran tentang perlakuan atau bentuk relasi antara bawahan dan pimpinan di lembaga antirasuah tersebut. Kala itu tersiar kabar bahwa ada sejumlah penyidik KPK (asal Polri) mengajukan protes ke pimpinan KPK. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, mengoreksi penggunaan kata ”protes” dengan ”diskusi”. 

Ia bahkan menegaskan diskusi itu laksana komunikasi antara orang tua (pimpinan KPK) dan anak (penyidik KPK). Juru Bicara KPK Johan Budi pada kesempatan terpisah menimpalinya dengan memberikan deskripsi bahwa antara pimpinan KPK dan penyidik KPK selama ini telah terbangun hubungan yang egaliter. Terlepas apakah itu protes (berkonotasi negatif) maupun diskusi (bersentimen netral), situasi di internal KPK tersebut menunjukkan adanya ruang bagi para penyidik KPK selaku bawahan untuk berkomunikasi intens dengan atasan mereka. 

Penyidik Polri, selama berdinas di KPK, mempunyai akses untuk mempertanyakan keputusan ataupun langkah pimpinan KPK. Relasi semacam itu terkesan lebih horizontal. Pola komunikasi di lembaga Polri bisa jadi bertolak belakang dengan itu. Wawancara Radio Elshinta pada akhir pekan lalu dengan salah seorang kapolsek di wilayah Depok, Jawa Barat, mengindikasikan hal tersebut. Alkisah, seorang warga diburu dan akhirnya babak belur dihakimi puluhan massa yang menggunakan kendaraan bermotor roda dua. 

Massa tersebut bergerak setelah teragitasi oleh pekikan bahwa warga tersebut adalah maling, meskipun ia sesungguhnya bukan maling. Penyiar radio bertanya ke kapolsek perihal langkah-langkah yang telah diambil kepolisian setempat guna menindak massa tersebut. Kapolsek memberikan jawaban serba ”akan”, ”nanti”, dan berputar-putar. Penyiar mencoba menarik simpulan penegas bahwa jajaran kepolisian yang dipimpin kapolsek tersebut belum bertindak. Kapolsek seperti terdesak, dan akhirnya menjawab— kurang lebih, ”menunggu petunjuk pimpinan.”

Para penelepon sahut-menyahut menilai sinis si kapolsek. Salah seorang di antaranya bahkan menyebut, ”Kapolri salah pilih kapolsek!” Apabila dialog tersebut dianggap representatif, kalimat singkat ”menunggu petunjuk pimpinan” memberikan gambaran utuh tentang pola relasi yang sangat vertikal antara bawahan dan pimpinan di institusi Polri. Kapolsek masih berparadigma kuno bahwa pertanggungjawaban kerjanya berpuncak dan berakhir di pimpinan. Ia alpa bahwa pertanggungjawaban personel kepolisian sesungguhnya berada di masyarakat. 

Mindset usang kapolsek tersebut pada akhirnya membuat korban (warga yang dihajar massa) terkendala memperoleh perlindungan hukum, dan— ironisnya—hambatan terbesar untuk itu justru datang dari lembaga pelayan, pelindung, pengayom masyarakat, sekaligus penegak hukum sendiri. Kapolsek yang ”terpenjara” juga mengirim pesan sangat buruk kepada masyarakat luas. Bahwa, akibat kurangnya ketegasan kapolsek, jenis kejahatan maupun pelanggaran hukum tertentu tidak akan ditindak oleh polisi. 

Kapolsek tersebut merupakan cermin kegagalan salah satu komponen dalam struktur organisasi Polri yang seharusnya mampu mengejawantahkan peran vital polsek sebagai ujung tombak Polri. Kembali ke pokok bahasan artikel ini; kapolsek tersebut ataupun penyidik Polri pada umumnya tidak memiliki cukup kemandirian dalam menjalankan tugas. 

Campur tangan bahkan kemungkinan sanksi pimpinan masih kuat menghantui, sehingga menghalanghalangi bawahan untuk merealisasikan profesionalismenya di hadapan publik. Inilah, hemat saya, jawaban paling solid atas pertanyaan mengapa kinerja penyidik Polri di institusi Polri masih senjang dari ekspektasi masyarakat. Allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar