Omong
Kosong
Mohamad Sobary ; Budayawan
|
SINAR
HARAPAN, 12 Februari 2014
|
“Di
mana-mana rakyat tertipu proyek omong kosong.”
Orang
Jawa punya konsep tata ruang yang berbau magis dan sakral, “kosong, tapi
isi”. Kelihatannya memang seperti sekadar gurauan dan main-main, tapi orang
tahu, “kosong, tapi isi ini” berhubungan dengan yang duniawi dan yang
adikodrati, yang fana dan yang kekal serta abadi, yang “di sini” dan yang “di
sana”, dengan segenap yang “kini “ maupun “yang akan datang”.
“Kosong,
tapi isi” pendeknya mencerminkan kematangan cara pandang dan perencanaan yang
matang dan final.
Alun-alun
keraton jelas merupakan ruang terbuka. Namanya juga alun-alun, itu adalah
wujud tanah kosong.
Itu
salah satu contoh terbaik mengambarkan makna “kosong, tapi isi”
tadi. “Kosong, tapi isi” merupakan ruang yang sudah mempunyai isi, tetapi
tampaknya kosong. Isi tidak harus tampak ragawi. Isi tak harus bernilai
rupiah. Isi akan tampak bila punya pengertian mengenai fungsi.
Zaman
sekarang, konsep “kosong, tapi isi” dianggap omong kosong: percuma, sia-sia,
tidak produktif, tidak efisien, dungu, menjunjung tinggi klenik dan mitos,
serta segenap pemikiran maupun tindakan yang tidak rasional, tanpa kalkulasi,
tanpa orientasi untung rugi.
Jadi,
di mana-mana para pengembang selalu sensitif memberi arti masa depan bagi
suatu lokasi. Daerah yang terbelakang, jauh dari pusat kemajuan, dan seperti
tak ada harapan, para pengembang bisa membaca dengan tepat bahwa di masa
depan wilayah ini akan menjadi kompleks hunian, sekaligus pusat dagang yang
maju. Mereka pun siap menanam investasi besar-besaran.
Para
pengembang, yang hanya tahu tanah kosong harus diisi bangunan dan bahwa yang
kosong itu barang percuma, tersia-sia, dan tidak produktif, seperti disebut
di atas, selalu sigap mengisinya dengan bangunan. Tata ruang tak diindahkan.
Estetika dihancurkan. Ruang terbuka sebagai sumber udara bersih dan daya
penampung air agar tidak banjir dianggap tidak punya arti sama sekali.
Banyak
pengambang dan arsitek yang tak memiliki konsep tata ruang yang komprehensif,
yang siap mengakomodasi dan menghormati makna “kosong, tapi isi” tadi. Para
pengembang siap dengan lahap menelan kali, danau, kuburan,
sekolahan, sekaligus masjid atau rumah suci lainnya. Itu untuk
diperdagangkan.
Tata
ruang hancur luluh berantakan tak dipedulikannya. Kota kehilangan estetika
dan kenyamanan bagi penghuninya tak menjadi masalah. Mereka bicara efisiensi
yang tidak efisien sama sekali. Mereka bicara keutungan besar hari ini dan
siap mati terkubur bangunannya di hari esok.
Tak
adanya konsep “kosong, tapi isi” membuat tiap-tiap kota di negeri kita
penuh jajaran beton kokoh, kuat, tapi kaku, dingin dan beku.
Kota,
di mana-mana, kehilangan keceriaan, tawaran daya hidup yang penuh energi, dan
tidak lagi segar, tidak lagi punya pesona. Kota, di mana-mana berisi warung,
toko, supermarket, mal,dan dibanggakan sebagai simbol
modern. Di banyak tempat disebut center
of business district.
Siapa
berani mengajukan proposal ke keraton-keraton untuk membangun mal di
alun-alun? Siapa berani bermaksud mengisi “ruang kosong yang sudah punya isi”
itu? Siapa berani menganggap alun-alun hanya tanah kosong yang dibiarkan
percuma, sia-sia, tidak efisien, dan tidak produktif?
Mengapa
para pengembang menahan keserakahan untuk tidak
berusaha menelan alun-alun menjadi bangunan yang kelihatannya menghidupi
ekonomi rakyat, tapi sebenarnyamembunuh mereka?
Di
banyak lapangan bola, taman, dan pasar-pasar tradisional dilahap para pengembang atas izin bupati atau wali kota setempat. Di
mana-mana para calon bupati dan calon wali kota, dalam kampanye mereka,
berteriak hendak membangun dan mengubah daerah mereka menjadi modern.
“Kalau saya menjadi bupati atau wali
kota, kubangun mal di sini, lambang modernitas bagi daerah kita. Pasar
tradisional yang yang kumuh dan becek bakal kusulap menjadi pusat belanja
serbaada, serbamodern, tempat warga di sini bisa membeli apa pun yang mereka
butuhkan.”
Kita
percaya pada kampanye yang intinya omong kosong itu. Menjual pasar
tradisional untuk diubah menjadi mal atau pusat belanja modern, berarti
membunuh kesempatan dagang warga masyarakat yang selama ini hidup dari pasar
tradisional. Itu mematikan sumber ekonomi rakyat, tapi dianggap kemajuan dan
tanda modern. Apa ini bukan omong kosong?
Pusat
belanja, pusat dagang, mal-mal, dan toko-toko gemerlap dengan modal besar
memang menggiurkan dan memberi tanda, seolah-olah daerah itu modern. Siapa
pemilik pusat-pusat belanja itu? Pedagang setempat? Warga masyarakat ekonomi
lemah yang ditampung di dalamnya?
Pemiliknya
orang lain, yang tinggal di kota yang jauh dan keutungan bisnis itu mereka
yang menguasainya. Ekonomi kelihatannya tumbuh di daerah itu. Tapi, siapa
yang menikmati pertumbuhan? Di sana memang menjadi pusat peredaran uang, tapi
uang siapa yang beredar itu. Kita tahu, bukan petani dan pedagang setempat yang
punya.
Kerja
sama pedagang besar dari tempat yang jauh dengan penguasa lokal yang omong
kosong seperti ini sudah berlangsung lama. Tapi, omong kosong, yang
betul-betu kosong tanpa isi, tanpa makna, ini tetap dilanjutkan. Penguasa
setempat menjual pasar, masjid dan rumah suci lain, taman dan lapangan bola,
kuburan dan kali, demi kemajuankah?
Apanya
yang maju? Ini proyek omong kosong. Di mana-mana rakyat tertipu proyek omong
kosong. Di mana-mana penguasa setempat serakah, manipulatif, dan omong kosong. Anehnya, orang percaya pada omong
kosong. Kita doyan omong kosong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar