Negara
Bayar Saksi Parpol
Sumaryoto Padmodiningrat ;
Calon Anggota DPD
dari Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 01 Februari 2014
Hendaknya kita bisa melihat
kenyataan sejarah, dan tak terjebak pandangan stereotip terhadap orang
Tionghoa NEGARA akan membayar para saksi partai politik di tempat pemungutan
suara (TPS) dalam Pemilu 2014.
Hal ini berbeda dari beberapa
pemilu sebelumnya mengingat parpol masing-masing yang membayarnya. Mendagri
Gamawan Fauzi mengungkapkan tengah menyusun peraturan presiden (perpres)
mengenai dana saksi parpol yang masuk dalam anggaran pengawasan Pemilu 2014.
Pengesahan anggaran tinggal
menunggu tanda tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di sisi lain, Pasal
12 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, melarang negara membiayai
parpol, kecuali anggaran yang sudah ditetapkan sesuai perolehan suara pada
pemilu sebelumnya.
Gagasan ’’kontroversial’’
pemerintah itu, yang akan membayar saksi dari partai, memancing respons yang
juga kontroversial. Ketua Dewan Pembina Partai Nasional Demokrat Surya Paloh
menyatakan tak setuju dengan dalih menambah berat beban keuangan negara.
Sebaliknya, Wakil Ketua Umum
Partai Gerakan Indonesia Rakyat Fadli Zon menyatakan setuju dengan dalih
untuk meminimalisasi korupsi parpol setelah pemilu. Parpol-parpol lain
kebanyakan sebarisan dengan Gerindra.
Jumlah TPS pada Pemilu 2014 di
Indonesia mencapai 561.393, sementara jumlah peserta 12 parpol. Bila tiap
parpol memiliki satu saksi di tiap TPS maka ada 6.736.716 saksi.
Bila benar saksi parpol
dibiayai negara, rakyat bisa melihat betapa besar anggaran yang harus
dikeluarkan. Dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2014, ada 6.608 calon
anggota anggota legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang akan
bertarung di 77 daerah pemilihan (dapil). Sementara puluhan ribu caleg
lainnya memperebutkan 2.137 kursi DPRD provinsi dan 17.560 kursi DPRD
kabupaten/kota se-Indonesia.
Apakah hanya mereka yang akan
menikmati uang negara? Bagaimana dengan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) pada Pemilu 2014 yang berjumlah 945 orang dari 34 provinsi, yang akan
memperebutkan 136 kursi DPD, 32 di antaranya dari Jawa Tengah? Haruskah para
peserta pemilu perseorangan ini merogoh kocek sendiri untuk membiayai saksi?
Bila saksi dari parpol dibiayai negara, sementara saksi calon anggota DPD
tidak, di manakah asas kesetaraan dan keadilan? Tidakkah itu akan melanggar
prinsip equality before the law (kesetaraan di muka hukum)?
Apalagi Pasal 27
Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, ’’Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.’’
Kewenangan DPD
Kesetaraan warga negara dalam
bidang politik juga diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, yang menyatakan,
’’Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.’’
Kesetaraan warga negara untuk
menunaikan hak pada bidang politik kemudian dijabarkan dalam UU Nomor 2 Tahun
2011 tentang Partai Politik; UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DRPD, dan DPD; serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan kata lain, bila para
saksi dari parpol dibayar negara maka para saksi calon anggota DPD yang
berjumlah 530.516.385, dengan asumsi jumlah calon anggota DPD (945 orang)
kali jumlah TPS (561.393 buah) pun harus dibayar negara.
Demi asas kesetaraan dan
keadilan, pemerintah tak boleh berdalih tak mau membiayai saksi calon anggota
DPD karena jumlahnya jauh lebih banyak daripada saksi dari parpol. Apalagi
selama ini ini calon anggota DPD seakan terzalimi. Betapa tidak? Untuk bisa
maju ke pemilu, tiap calon harus bisa mengumpulkan dukungan, dalam bentuk
fotokopi KTP minimal 5.000 lembar.
Dibutuhkan waktu dan dana tak
sedikit untuk mengumpulkan fotokopi KTP sebanyak itu. Sebaliknya, caleg dari
parpol tak perlu. Di tiap provinsi hanya tersedia 4 kursi DPD, berbeda dari
kursi DPR yang jumlah pada tiap daerah pemilihan (dapil) mencapai 7 hingga 10
kursi.
Hal itu mengingat pada tiap
provinsi ada beberapa dapil, sebagai contoh di Jateng ada 10 dapil. Tidak itu
saja, beratnya merebut kursi DPD ternyata berbanding terbalik dengan
kewenangan yang dimiliki.
Kewenangan anggota DPD jauh
lebih kecil daripada kewenangan anggota DPR, padahal perjuangannya lebih
berat anggota DPD. Kita tentu sependapat bila saksi dari parpol dibayar
negara, dengan catatan para saksi calon anggota DPD pun dibayar oleh negara.
Hal ini akan mengurangi politik
berbiaya tinggi yang bisa berujung pada tindak pidana korupsi, apalagi
biasanya juga dibarengi politik uang dalam setiap pemungutan suara. Sepanjang
2004-2012, ada 349 kasus yang melibatkan anggota DPRD provinsi dan
kabupaten/kota.
Sementara dari 385 kasus yang
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak berdiri tahun 2004,
masing-masing melibatkan anggota DPR dan DPRD sebanyak 72 kasus. Catatan
lain, Pasal 12 UU tentang Parpol, yang melarang negara membiayai parpol
kecuali anggaran yang sudah ditetapkan sesuai perolehan suara pada pemilu
sebelumnya, juga harus diamendemen. Bila waktunya tidak cukup maka bisa
dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang atau perppu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar