Menyikapi
Konfigurasi Ekonomi Global
Firmanzah ; Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi
dan Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 03 Februari 2014
Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun
ini sebesar 0,2% dari perkiraan sebelumnya menjadi 3,2%.
Revisi ke atas proyeksi pertumbuhan global ini setelah negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan zona Euro menunjukkan perkembangan positif sepanjang kuartal terakhir 2013 hingga awal 2014. Pertumbuhan ekonomi negaranegara maju diperkirakan menguat 20 basis poin dari proyeksi sebelumnya 2% ke level 2,2% pada 2014. Penguatan ini didorong oleh bergairahnya ekonomi Amerika yang menguasai 20% perekonomian dunia. Perekonomian Amerika diproyeksikan dapat tumbuh 2,8% tahun ini atau meningkat dari 1,8% tahun lalu. Sedangkan zona Euro diperkirakan menguat 0,2% dari perkiraan sebelumnya 0,9% menjadi 1,1% di 2014. Penguatan kawasan ini dipicu oleh tumbuhnya sektor industri, khususnya di negara seperti Jerman, Prancis, serta Inggris setelah dua tahun ini mengalami kontraksi. Seperti halnya Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) juga merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan global ke level 3,7% tahun ini atau naik dari proyeksi Oktober 2013 sebesar 3,6%. Revisi ke atas ini merupakan pertama kali dilakukan IMF dalam dua tahun terakhir setelah sinyal positif pemulihan negara-negara maju. Ekonom IMF Olivier Blanchard menilai telah terjadi perbaikan perlahan sistem keuangan global dan sumber ketidakpastian cenderung menurun. IMF memprediksi permintaan domestik di Amerika dapat tumbuh 2,8% tahun ini, atau naik dibandingkan proyeksi Oktober, 2,6%. Kawasan euro diperkirakan dapat tumbuh pada level 1,0% dan Jepang sebesar 1,7% tahun ini. Perekonomian Inggris juga diperkirakan dapat tumbuh 2,4% tahun ini atau naik dari proyeksi sebelumnya 1,9%. Penguatan pertumbuhan di negara maju ini tentunya akan mendorong permintaan global yang tertekan dalam beberapa tahun ini. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang direvisi menurun ke level 5,3% tahun ini atau turun dari proyeksi Bank Dunia sebelumnya, 5,6%. Namun, revisi ini diperkirakan masih tetap lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan negara berkembang di 2013 yang sebesar 4,8%. Sementara tahun 2015 dan 2016, Bank Dunia memprediksi ekonomi negara berkembang akan tumbuh berturut-turut 5,5% dan 5,7%. Beberapa negara berkembang yang disebutkan masih akan tumbuh di atas 5% di tahun 2014 menurut Bank Dunia antara lain Angola (8%), China (7,7%), India (6,2%), dan Indonesia (5,3%). Sementara negara seperti Brasil dan Rusia diperkirakan hanya mampu tumbuh di kisaran 2%. Perlambatan di negara berkembang selain akibat perlambatan mesin utama China, terutama dipicu oleh tekanan restrukturisasi arus modal keluar dan penataan kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkesinambungan. Restrukturisasi arus modal keluar dilakukan setelah The Fed mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus quantitative easing (QE) secara bertahap dan diperkirakan selesai tahun ini. Di awal 2014, The Fed sudah mengeluarkan kebijakan pengurangan USD20 miliar (USD10 miliar di Januari dan USD10 miliar di Februari) dari program stimulus USD85 miliar per bulan menjadi USD 65 miliar. Dengan perkembangan positif perekonomian Amerika beberapa triwulan terakhir, program pengurangan ini diperkirakan selesai pertengahan 2014. Khusus terkait kebijakan suku bunga murah, The Fed masih mempertahankan suku bunga 0,25% dalam jangka pendek hingga angka pengangguran berada di bawah 6,5% (per Desember 2013 di level 6,7%). Penarikan stimulus QE ini tentunya berimplikasi terhadap dinamika dan gejolak pasar mata uang, ekuitas dan obligasi. Hal ini terjadi sejak 2013 dan Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampaknya. Nilai tukar rupiah melemah, indeks menurun dan potensi capital outflow. Untuk meredam hal ini, pemerintah meningkatkan koordinasi otoritas moneter-fiskal dan mengambil respons cepat kebijakan yang salah satunya menaikkan suku bunga acuan ke level 7,5%. Pascapengumuman penarikan QE sebesar USD10 miliar yang kedua dan berlaku 1 Februari 2014 serta diperkirakan selesai pada pertengahan 2014, kebijakan suku bunga murah di Amerika berakhir seiring dengan berkurangnya data pengangguran. Skenario ini kemudian memicu sejumlah negara berkembang (khususnya negara dengan defisit transaksi berjalan yang besar) menempuh kebijakan menaikkan suku bunga di awal tahun ini, setelah menghadapi tekanan mata uang dolar AS dan perlambatan aliran modal masuk serta kenaikan risiko inflasi. Tercatat negara seperti Turki, Afrika Selatan, India, dan Brasil menaikkan suku bunga acuannya setelah mata uang mereka tertekan dan inflasi yang terus meningkat. Turki menaikkan suku bunga pinjaman hampir dua kali menjadi 12% dari 7,75%, menaikkan suku bunga repo satu minggu menjadi 10% dari 4,5%, dan menaikkan suku bunga pinjaman overnight menjadi 8% dari 3,5%. Langkah ini dilakukan setelah mata uang Lira terus tertekan dalam beberapa waktu terakhir di tengah penguatan dolar AS. Inflasi di Turki bahkan mencapai 7,4% di akhir 2013. Di Afrika Selatan, bank sentral South Africas Reserve Bank (SARB) menaikkan suku bunga utama ke level 5,5% atau naik 0,5% dari sebelumnya. Bank Sentral Brasil juga menaikkan suku bunga acuannya ke posisi 10% dan diperkirakan akan menuju level 10,5%. Begitu juga dengan India, Bank Sentral India telah mengumumkan kebijakan kenaikan suku bunga acuan di level 7,75% dan berpotensi ke level 8%. Bagi Indonesia, dinamika konfigurasi ekonomi global di awal2014 merupakan fenomena konsolidasi ekonomi dunia menuju keseimbangan baru. Kekuatan ekonomi negara berkembangyangsepanjang2008– 2011 menjadi penopang ekonomi dunia juga sedang mencari keseimbangan baru sejak 2012, seiring dengan pemulihan ekonomi negara-negara maju. Untuk memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian ekonomi dunia, pemerintah terus meningkatkan lima hal utama yakni: Pertama, terus mendorong penguatan daya beli masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasokan (ketersediaan dan pasokan barang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/ tidak langsung kepada masyarakat). Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas dan daya saing logistik nasional. Realisasi investasi pembangunan infrastruktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203 triliun atau naik 16,4% dari tahun 2012 sebesar Rp174,9 triliun. Dalam APBN 2014, alokasi belanja infrastruktur ditargetkan sebesar Rp208 triliun. Sementara realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada MP3EI per akhir 2013 mencapai Rp828,7 triliun (sektor riil dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun. Ketiga, terus mendorong investasi sebagai salah satu motor pertumbuhan. BKPMmerilis realisasi investasi Januari– Desember 2013 mencapai Rp398,6 triliun atau melebihi target sebesar Rp390 triliun. Untuk tahun 2014, pemerintah menargetkan investasi yang masuk baik PMA maupun PMDN dapat mencapai Rp506,7 triliun. Keempat, penguatan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM sebagai basis penopang perekonomian nasional (mengingat hingga 95% unit usaha di Indonesia adalah UMKM) perlu terus didorong dalam meningkatkan daya saing, kapasitas, cakupan, dan akses permodalan. Kelima, denganpembangunan infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan UMKM diharapkan dapat memperlebar pasar tenaga kerja nasional sehingga ekonomi dapat terus tumbuh positif dan berkualitas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar