Menjadi
Politikus
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota
Dewan Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Februari 2014
SEKITAR delapan minggu
menuju pemilu, perasaan waswas menghinggapi mereka yang akan bertarung
memperebutkan kursi legislatif. Di luar mereka, banyak yang mengkhawatirkan
kemungkinan terjadinya salah pilih oleh para konstituen. Dalam tahun politik
ini, sekalipun kita ramai berbicara soal politik, soal visi-misi partai dan
gagasan-gagasan para tokoh yang menyiapkan diri untuk menjadi presiden,
sebenarnya masyarakat jarang mendapat kesempatan bicara dengan tokoh-tokoh
yang menampilkan diri untuk menjadi calon pemimpin. Apakah mereka merasa
memenuhi syarat? Apa kekuatan dan kelemahan masing-masing? Kalau saja tiap
calon menyadari mengapa mereka terpanggil untuk menjadi politikus dan
bersedia introspeksi, dan tahu diri, mungkin salah pilih oleh konstituen bisa
dihindari.
Masa depan yang
merentang panjang semoga tidak akan terlalu banyak sandungan seperti situasi
sekarang karena jajaran pemimpin yang akan terpilih mudahmudahan sesuai
dengan tuntutan keadaan. Perubahan merupakan keniscayaan. Kita baru berhasil
bila berani meninggalkan sikap pura-pura dan dengan sepenuh hati melakukan
pembenahan.
Ketuk tiga jari,
jangan sampai konstituen memilih political
animals. Mungkinkah? Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pendidikan
mayoritas konstituen, mereka bisa saja dikelabui ketika harus berhadapan
dengan political animals; orang-orang yang berlagak seperti politikus yang
negarawan, tetapi sebenarnya hanya pemburu harta, kekuasaan, dan nama, dengan
banyak menyebar omongan dan menebar pesona. Dengan mengamati
kejadian-kejadian dalam politik praktis dan menyimak perilaku politisi
akhirakhir ini, mudah-mudahan kita bisa memetik pelajaran.
Kekecewaan banyak
orang terhadap perilaku sebagian politikus pasti berpengaruh terhadap mereka
yang peka akan situasi masyarakat. Suatu kali Anies Baswedan memberikan
pendapat yang intinya menyatakan kalangan cerdik pandai kurang berminat
terjun ke politik, apa pun alasannya. Mereka berdiri di pinggir dan
mengamati. Namun, ada sebagian yang geram atas perkembangan itu dan akhirnya
ikut terjun ke politik demi perubahan.
Tuntutan di balik atribut
Banyak yang
mendambakan menjadi politikus. Menurut mereka, politisi memperjuangkan
kemaslahatan bersama. Idealnya hanya mereka yang berhati nurani, cerdas,
memiliki disiplin keras, dan memiliki kemampuan mengatur masyarakat dan
negara yang akan berhasil menjadi politikus sejati. Dalam kaitan itu, tidak
diragukan, partaipartai politik merupakan sarana paling penting untuk
membangun demokrasi; pemerintahan oleh dan untuk rakyat. Ke sanalah kalangan
politikus mengelompok. Maka, idealnya partai-partai politik dan seluruh
jajaran mereka memperhatikan sikap dan perilaku. Soal menang atau kalah dalam
persaingan rasanya bukan yang utama. Akan tetapi, pemenangnya memang perlu
mendapat perhatian dan pengawasan semua pihak, termasuk oleh kalangan
politisi.
Jajaran pemimpin yang
baru terpilih memerlukan evaluasi berkesinambungan tentang bagaimana perilaku
politik mereka. Evaluasi membantu agar mereka jangan sampai mengabaikan
kepentingan orang banyak. Itu sebabnya sejak awal sebenarnya sudah harus
diperhatikan bagaimana para kader direkrut dan dari latar belakang yang
bagaimana, ditinjau baik dari pendidikan maupun aspirasi mereka sebagai insan
politik.
Falsafah bangsa dan kebijakan soal agama, kesukuan/ etnik, ataupun ekonomi
ikut menentukan perilaku mereka sebagai pemimpin bangsa. Janganlah atribut
sebagai politikus malahan dimenangkan dari tuntutan mendasar lainnya.
Syarat-syarat itu penting. Bila terpenuhi, barulah dia lulus sebagai
politikus yang berkarakter dan akan tiba masanya dia disebut sebagai
negarawan yang terhormat.
Kemiskinan moral dalam politik
Konstituen bisa
terjebak oleh kemiskinan moral sebagian kader yang menganggap partai politik
sebagai lahan untuk mendapatkan uang atau kekuasaan. Gejala-gejala yang
tampak akhir-akhir ini membuktikan ada kemiskinan moral itu. Mungkin mereka
terjun ke politik untuk melanjutkan atau meningkatkan kekuasaan. Mereka
mencari landasan baru sebelum merasa mapan. Bahkan mungkin untuk sekadar
mencari kerja. Mereka beda dari yang merasa terpanggil menjadi politikus. Yang
terpanggil, ada hasrat menjadi politikus sepanjang hayat. Dia bersedia
meninggalkan keberhasilan lain demi menjadi politikus.
Kultur perpolitikan
berawal dari Barat. Bila ditinjau dari etimologinya, terkandung makna
bijaksana, beradab, cerdas, dan pintar untuk proses pembentukan dan pembagian
kekuasaan dalam masyarakat yang terwujud dalam pengaturan tata negara. Teori
klasik filsuf Yunani Aristoteles (384322 SM) menyatakan politik merupakan
usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Maka,
politik meliputi proses perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan publik.
Sesuai dengan kriteria
tersebut, di Barat politisi membentuk bagian eksekutif dan legislatif dalam
negara, dari tingkat pusat sampai regional dan lokal; presiden dan
jajarannya, gubernur, bupati/wali kota, dan anggota DPR. Bagian yudikatif dan
penegakan hukum lain, termasuk kepolisian, bukan kelompok politikus; begitu
juga kalangan militer.
Konsep politisi yang
sekarang menyebar di antara kita; mereka orang-orang yang terlibat dalam politik,
kadangkadang termasuk di dalamnya para ahli politik dan tokoh-tokoh lain yang
terlibat dalam pemerintahan. Perilaku politik dijalankan individu atau
kelompok guna memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara; mengikuti
pemilihan untuk memilih atau dipilih. Mereka berhak ikut dalam partai
politik. Sebagai insan politik, mereka melakukan perilaku politik yang telah
disusun dalam UUD dan perundangan hukum yang berlaku. Politik ialah seni dan
ilmu meraih kekuasaan secara konstitusional demi kemaslahatan bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar