Media dan Pemberantasan Korupsi
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan Agama Tarakan,
Kaltara
|
KORAN
JAKARTA, 11 Februari 2014
Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers
menduduki posisi penting dalam bernegara. Eksistensi pers tak sekadar
menjalankan fungsi penyaji informasi dan sarana pendidikan, tapi sekaligus
memiliki fungsi kontrol terhadap kebijakan penyelenggara negara.
Beberapa kebijakan tidak populis dan
penggunaan anggaran negara yang tidak rasional ditelusuri lebih mendalam
melalui kerja jurnalistik sehingga masyarakat mengetahui potensi
kesewenang-wenangan penguasa berwujud korupsi.
Beberapa skandal megakorupsi terus dikawal
pers, mulai dari penyelidikan hingga penjatuhan vonis di pengadilan. Apabila
ada kejanggalan dan perlakuan tebang pilih terhadap koruptor, pers menggalang
suara publik melalui pemberitaan yang imbang. Dapat dikatakan bahwa kedudukan
pers sebagai instrumen check and balances berjalannya pemerintahan.
Sepanjang tahun 2013 pers setidaknya
memiliki kiprah positif dalam pemberantasan korupsi, di antaranya berhasil
mendukung dan merilis kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
tentang sejumlah transaksi finansial yang mencurigakan kepada masyarakat.
Misalnya, siasat koruptor mengelabui
penegak hukum dengan menyimpan hasil korupsi di rekening anak, istri, suami,
atau sanak saudara. Begitu pula aset koruptor yang berjumlah besar dan telah
terintegrasi dalam sebuah capital perusahaan berskala internasional berhasil
diungkap berkat peran media.
Pers memberi informasi berharga kepada
masyarakat tentang sejumlah koruptor yang belum dieksekusi lantaran melarikan
diri dan belum dijebloskan ke penjara karena sejumlah alasan. Pemberitaan
demikian sangat penting diarusutamakan dalam mewujudkan prinsip kesamaan
kedudukan di hadapan hukum.
Pers sangat kritis menyorot tren vonis
rendah yang dijatuhkan hakim pengadilan tipikor. Kejelian pers dalam menggali
informasi, tak pelak, membuat hakim yang sejak awal dicurigai putusannya
memihak harus tertangkap tangan oleh KPK tersebab menerima suap. Dengan
demikian, peran pers sangat vital di tengah ancaman korupsi yang tak
terbendung.
Potret evolusi korupsi di Indonesia kian
mengerikan. Bukan perkara perubahan siasat cara sederhana menjadi lebih
canggih seperti korupsi kebijakan, kongkalikong perizinan dalam bisnis,
jual-beli pasal dalam perumusan aturan, hingga praktik dagang hukum.
Persoalan korupsi patut juga dilihat dari
segi kualitas pelaku yang bukan lagi pada level aparat setingkat kelurahan.
Pejabat negara dan kalangan elite politik
pun kini justru semakin banyak terperangkap dalam jaringan korupsi. Meluasnya
level pelaku korupsi hingga ke jantung pemangku utama negara tentu semakin
menyulitkan Indonesia keluar dari mimpi buruk peringkat negara dengan tingkat
korupsi tinggi.
Makin Muda
Kondisi keprihatinan terhadap sikap kemaruk
elite bangsa tersebut semakin diperparah dengan persebaran virus korupsi pada
generasi muda. Berdasarkan kualifikasi umur, mulai banyak koruptor muda yang
menduduki jabatan strategis di partai politik maupun lembaga pemerintahan
harus mendekam di balik jeruji.
Hal ini menandakan regenerasi koruptor
telah membiak secara berjenjang pada berbagai level jabatan dan rentang usia. Transparency International Indonesia
(TII) menyebut Indonesia sebagai negara ke-114 dari 1 negara dengan indeks
persepsi korupsi terendah.
Berdasarkan hasil survei tersebut, dari 1
negara yang menjadi lokus survei, 0 persen negara-negara di dunia memiliki
skor di bawah 50. Ironisnya, hanya sedikit negara yang memiliki mitigasi
risiko korupsi cukup baik. Indonesia termasuk dalam kualifikasi negara dengan
indeks persepsi korupsi rendah dengan skor 32 atau setara dengan Mesir.
Berkaca pada fenomena regenerasi koruptor
dan kualitas pelaku korupsi tadi, pemberdayaan pers yang independen harus
terus dilakukan. Pers harus membebaskan diri dari konflik kepentingan
industri media yang belakangan acap membelokkan idealisme untuk kepentingan
tertentu. Pers juga diharapkan tampil lebih tangguh menghadapi serangan balik
pemegang tampuk kekuasaan melalui peningkatan akurasi informasi.
Sekali lagi, pers Indonesia harus merdeka!
Pekik harapan ini mengemuka pada tiap momentum Hari Pers Nasional, 9
Februari. Dalam perjalanannya pers acap kali dipandang secara tidak
proporsional. Benar doktrin kebebasan pers dijamin di Indonesia, namun pada
saat yang sama keberlangsungannya selalu disudutkan penguasa.
Setiap Hari Pers, Presiden kerap
mengapresiasi kiprah pers nasional yang dianggap mampu menjalankan fungsi
sebagai bagian dari proses check and
balances penggunaan kekuasaan. Namun, giliran pers menjalankan fungsi
kontrol, tak jarang disikapi penguasa dengan mengecam sehingga media
kehilangan independensi. Wajar Napoleon Bonaparte gelisah sembari mengatakan,
"Apabila pers dibiarkan, saya
tidak akan kuat memerintah lebih dari 3 bulan."
Pemerintah hanya melanggengkan media yang
dianggap mendukung politik pencitraan, sementara harapan membangun pilar pers
yang merdeka dengan memelihara nalar kritisnya hanyalah cita-cita utopis.
Padahal, pers menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian persoalan bangsa.
Kemerdekaan pers, menurut Bagir Manan (2010), merupakan kebebasan dalam
menjalankan tugas jurnalistik untuk mendapat berita, mengolah, menyusun, serta
menyiarkan.
Semua bentuk pengerdilan otoritas pers,
baik pembatasan bersifat preventif ataupun represif, yang dilakukan adalah
kesewenang-wenangan. Karena itu harus dilarang. Selama ini, pers dianggap terlalu
"kebablasan"dan kerap mengkritik pemerintah.
Ini menjadi mimpi buruk kebebasan pers di
Indonesia dan awal mula robohnya media karena tidak mungkin mengkritik
pemerintah tanpa dasar. Pers "ngawur"dalam pemberitaan tanpa
didukung fakta, secara alamiah akan ditinggalkan pembaca.
Pemerintah tidak perlu pusing dikritik
media. Masyarakat yang akan menilai. Cukuplah menjawab kritikan itu dengan
kerja keras dan karya nyata. Terlalu mahal jika energi pemerintah terkuras
habis hanya berpolemik dengan media sehingga agenda besar terbengkalai.
Sekarang zaman yang menghendaki kedewasaan
dalam bernegara, ketulusan dalam memimpin tanpa mengaharap pujian, serta
diperlukan problem solving. Anggap
saja kritik pers sebagai cambuk introspeksi atas kinerja. Masyarakat lebih
jeli dan cerdas dalam menilai pemerintah.
Tanpa kritik pers pun, jika melihat banyak
kegagalan pemerintah dalam memimpin, masyarakat sudah tahu. Hanya masyarakat
perlu media untuk menyalurkan aspirasi karena lembaga legislatif yang
diharapkan menyuarakan kepentingan rakyat kadangkala tersumbat.
Ketidakharmonisan hubungan pers dengan
kekuasaan akan menimbulkan banyak beberapa implikasi. Pengecaman atas fungsi
kontrol pers akan melanggengkan rezim otoriter sehingga berpotensi munculnya
kekuasaan sewenang-wenang. Ketika pemerintah antikritik, check and balances negara dan masyarakat terganggu. Ini sangat
membahayakan bagi berlangsungnya sistem demokrasi.
Pers sebagai unsur kekuasaan sosial akan
kehilangan napas untuk hidup di alam demokrasi. Dalam jangka panjang ini akan
melemahkan keberdayaan masyarakat. Ketika pers mengkritik penguasa,
sesungguhnya sedang mewakili suara masyarakat.
Dengan kata lain, pers menjadi instrumen
demokrasi untuk menyuarakan mereka yang tidak mampu lagi bersuara. Di masa
mendatang pers yang merdeka semakin diperlukan untuk mendobrak mental korup
para penguasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar