I
Kill Mochtar
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 22 Februari 2014
Stiker – juga pada plat nomor mobil bertuliskan I Kill Mochtar, Who Is The Next,
merupakan ekspresi kejengkelan dan kemuakan pada sosok Akil Mochtar, mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi. I Kill
bisa dibaca sebagai “saya bunuh”, bisa juga diucapkan sebagai nama, Akil. Plesetan kreatif yang pas, walau
sekilas terasa kasar.
Tapi benar jika diucapkan sebagai nama. Jauh sebelumnya, sudah
beredar joke, gurauan nakal: “kalau
anak muda berbuat nakal itu tandanya akil baliq, tapi kalau orang tua berbuat
jahat itu akil mochtar.” Orang bahkan melupakan arti akil sebagai
berakal, cerdik atau pandai. Atau kalau menghubungkan juga sebagai orang yang
pandai mempermainkan dan melecehkan hukum, untuk memperkaya diri.
Dalam dakwaan di persidangan, ada uang sebesar 161 miliar rupiah
yang disangkakan telah ditilep dalam urusan sengketa Pilkada yang ditanganinya.
Ada yang melalui calo, ada yang “tembak langsung”, diurusi sendiri. Begitu
pede-nya Akil melakukan kebusukan ini sehingga leluasa dilakukan di rumah
dinas—seperti saat tertangkap tangan.
Enam dakwaan ditujukkan padanya dengan hukuman tertinggi seumur
hidup. Dan bukan Akil kalau tak menyangkal semua tuduhan itu. Walau ditemukan
bukti uang ditransfer ke rekening istrinya, Akil menjawab itu urusan dagang
istrinya. Bahkan, Akil mengatakan jaksa hanya
berkhayal.
Khayalan yang bisa dibuktikan, itu bernama kenyataan. Dan
kenyataan yang hari-hari ini adalah sidang yang penuh drama. Antara tokoh
protagonis melawan antagonis, antara kebenaran dan kepalsuan, atau mengakui
atau mengingkari. Baik dalam bahasa hukum dengan pasal-pasal yang susah
dimengerti awam, maupun dalam bahasa sederhana: tertangkap tangan, mobil
disita, dan lalu lintas keuangan, atau pertemuan.
Secara pribadi, saya tidak mengenal beliau. Satu-satu kesempatan
bertemu saat MK mengundang saya sebagai saksi adanya gugatan pasal-pasal
mengenai penghinaan agama. Waktu itu ,ketua masih dijabat Mahfud MD, dan
sidang berjalan tegang karena banyak pendemo. Dalam kesempatan itu, saya
mengucapkan keinginan saya untuk berjabat tangan dengan sembilan hakim yang
sungguh mulia memutuskan apakah ada pasal—atau tidak ada pasal, yang
bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Pak Mahfud tertawa, dan kurang lebih mengatakan: ”Ini sidang resmi. Nanti kalau sudah
selesai, saudara boleh berjabat tangan.” Begitulah selesai sidang, saya
maju menyalami para hakim satu per satu—dan disiarkan kemudian dalam acara
televisi mengenai kegiatan MA.
Seingat saya, Akil gagah, berwibawa, dengan semburat uban
kearifan, pandangan matanya tajam, suaranya berat tinggi. ”O, ini kamu yang mengatakan pernah
menyuap jaksa.” Itu diucapkan karena Pak Mahfud mengomentari begitu.
Dengan hakim agung yang lain, ya jabat tangan biasa.
Kadang terpikir oleh saya kasus-kasus yang ditangani Akil
Mochtar sehingga terjadi suap atau paksaan. Kondisinya terlihat gawat ketika
para pencari keadilan harus membayar, walau ia benar. Artinya, dalam Pilkada
dinyatakan menang, kalau digugat, juga harus membayar untuk tetap menang.
Kalau tidak, penggugat yang dimenangkan. Arti lainnya bahkan untuk dinyatakan
menang secara hukum sebagai orang yang benar pun, harus menyuap. Kalau ini
berlaku untuk urusan lain pada tingkat sengketa— baik perdata atau pidana,
alangkah buruk atau busuknya penegakan hukum selama ini.
Dan kalau saja Komite Pemberantasan Korupsi tidak menangkap dan
mengungkapkan, betapa mekanisme kerja menjijikkan ini masih akan terus
berlangsung oleh pelaku yang sama. Atau bisa juga pelaku yang berbeda.
I Kill Mochtar, adalah raungan kegeraman dan sekaligus perlawanan kreatif yang
menyediakan unsur humor. Yang dalam persidangan di pengadilan diterjemahkan
dalam bahasa yang bisa dipahami dari tuntutan atau pada akhirnya keputusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar