Sabtu, 08 Februari 2014

Gerobak

Gerobak

Irfan Budiman   ;   Wartawan Tempo
TEMPO.CO,  08 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Menyantap kembali ketoprak semestinya menjadi nostalgia yang menyenangkan. Di masa kecil, saya sangat menikmati duduk di bangku si penjual makanan yang terdiri atas bihun, tauge, dan ketupat yang digulingkan dalam bumbu kacang ini.

Gerobak ketoprak, tempat si penjual melayani para pembelinya, teramat unik. Ukurannya besar-mungkin karena tubuh saya masih kecil. Namun, yang sangat menarik adalah bentuknya yang mirip perahu. Ya, layaknya sebuah perahu, di bagian belakang ada dapur, yakni kompor untuk memanaskan tahu. Bagian depannya berbentuk moncong, seperti kepala perahu.

Adapun bagian kiri dan kanannya adalah tempat si penjual mengulek bumbu. Di depannya adalah kami, para pembeli. Di atas papan yang memanjang itu, pembeli duduk berjajar menikmati makanan yang khas dengan bawang putih itu. 

Kini semuanya nyaris hilang. Gerobak perahu yang sangat mempesona itu telah berubah menjadi sebuah gerobak yang tampil seadanya. Tak ada lagi moncong yang mempesonakan itu. Warna biru dan merah yang menjadi ciri khas gerobak ini pun hilang. Persis seperti gerobak kebanyakan penjual makanan lainnya. 

Pedagang punya alasan. Selain ongkos pembuatannya lebih murah, mereka bisa lebih mudah berkeliling. Saat mereka mangkal, gerobak baru ini tidak terlalu banyak makan tempat. 

Memang, bukan hanya perkembangan zaman yang membuat semuanya menjadi compact.Me­reka pun membutuhkan fleksibilitas bergerak sehingga bisa menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Mereka melakukan banyak modifikasi gerobak. 

Sebagian pedagang bakso melakukan modifikasi ekstrem. Mereka membuang roda dan menaikkan gerobaknya ke atas motor. Mereka berjualan dengan sepeda motornya. Si penjualnya pun rela duduk di ujung jok dekat setang karena sebagian joknya habis termakan oleh modifikasi gerobak yang berada di sisi kiri-kanan joknya. 

Namun, bapak penjual bakso ini juga punya alasan. Dia ingin berkeliling dan bisa menjangkau para pelanggannya dengan waktu yang lebih cepat pula. Pedagang lainnya, seperti penjual siomay ataupun sayur-mayur yang menjadi sahabat kaum ibu, juga menyulap gerobaknya menjadi lebih compact dan bisa dipasangkan di sepeda motornya.

Tapi itu juga belum cukup. Penjual roti pun tidak lagi berteriak brood atau boti, melainkan menekan tombol untuk membunyikan rekaman potongan jingle produk mereka. 

Pedagang es krim, bacang (penganan dari beras yang dibungkus daun), sampai pedagang ayam goreng pun melakukan hal yang sama. Musik yang keluar dari speaker layaknya brand identity produk ini.

Suara musik itu membedakan dengan pukulan kentongan dari penjual mi dokdok, suara piring dengan sendok dari tukang ketoprak, atau mangkuk yang dipukul dengan sendok oleh penjual es atau bubur sumsum. Semua produk butuh identitas untuk dirinya.

Usaha mereka memang harus lebih keras lagi. Maklum, pesaingnya tidak lagi dari kalangan mereka sendiri. Restoran makanan cepat saji atau pedagang makanan berwaralaba menggempur berbagai tempat. Mereka pun mampu mengantarkan barang dagangannya hingga ke depan rumah. Hanya dengan menekan nomor-nomor telepon, makanan yang dipesan bisa segera sampai di rumah pemesan dalam keadaan hangat. 

Bisakah dilawan? Gerobak nan compact dan modifikasi sepeda motor adalah cara mereka berupaya untuk tidak kehilangan pelanggan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar