Eksperimen
Perppu Melawan Konstitusi
Bambang
Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 21 Februari 2014
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)
kembali dipermalukan, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak Undang-Undang
(UU) No 4/2014 tentang Penetapan Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua
atas UU Mahkamah Konstitusi.
Niat baik sang presiden memulihkan wibawa
MK dimentahkan MK karena berpotensi menimbulkan masalah serius. Dengan alasan
dan pertimbangan yang sangat konstitusional pula, MK memang harus
menggugurkan UU No 4/2014 yang materinya bersumber dari Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perppu) No 1/2013 itu. Benar bahwa wibawa MK harus dipulihkan,
tetapi pemulihan wibawa MK harus konstitusional dan bebas dari kepentingan
sempit atau kepentingan jangka pendek. Maka sebelum didapatkan rumusan
perubahan yang konstitusional atas UU tentang MK, UU No 24/2003 harus
diberlakukan kembali.
Masalahnya adalah muatan Perppu No 1/2013
itu sendiri tidak konstitusional. Sebelum
dibahas di DPR, sejumlah elemen masyarakat, termasuk sebagian kekuatan
politik di DPR, sudah mengingatkan kalau Perppu itu tidak layak. Ketidaklayakannya
semakin nyata dalam proses persetujuan perppu itu di DPR. Sebagian anggota DPR, khususnya fraksi-fraksi pendukung
pemerintah, kehilangan objektivitas. Utamanya dalam memaknai persyaratan
calon hakim konstitusi, peran dominan panel ahli dan majelis kehormatan hakim
konstitusi. Kemudian, sangat jelas kalau persetujuan
perppu itu menjadi UU amat sangat dipaksakan.
Harus dilakukan serangkaian lobi
antarfraksi untuk mendapatkan suara mayoritas yang menyetujui perppu itu.
Proses seperti ini saja sudah aneh, karena memperlihatkan perilaku parlemen
yang tidak patuh pada UUD 1945. Pemerintah
mengklaim bahwa Perppu No 1/2013 itu dirancang oleh para ahli dari berbagai
bidang, utamanya ahli hukum tata negara. Sayang, karena sarat emosi dan
merasa paling pintar sendiri, para perangsang perppu itu tak mampu berpikir
jernih. Serbaterburu-buru sehingga produk itu jauh dari sempurna sebagai
pengganti UU.
Mereka tidak lagi melihat dan mengkaji UU
tentang Komisi Yudisial (KY), serta mencermati tugas dan fungsi KY menurut UU
pendiriannya. Ketidaksempurnaan itu demikian mencoloknya sehingga mereka yang
awam soal perundang- undangan pun mampu melancarkan kecaman. Semua warga
negara setuju wibawa MK harus segera dipulihkan. Betul bahwa citra dan wibawa
MK ambruk karena sang ketua menggunakan kapasitas jabatannya untuk melakukan
tindak pidana korupsi. Juga tak terbantah bahwa kepercayaan publik pada MK
nyaris hilang.
Tapi bukankah institusi MK sendiri tidak
terperangkap dalam situasi genting? Pun tidak ada kegentingan yang
mengeliminasi tugas dan fungsi MK. Karena situasinya yang demikian itu, sama sekali tidak ada urgensi atau alasan masuk akal untuk
mengubah UU tentang MK. Hal yang paling dibutuhkan adalah menegakkan kode
etik secara ketat dan tanpa kompromi. Itu sebabnya, beberapa kalangan
menilai, amat berlebihan kalau niat memulihkan wibawa MK harus ditempuh
dengan mengubah UU tentang MK. Perilaku tak terpuji pimpinan MK harusnya
dilihat sebagai masalah personal, bukan institusi.
Karena itu, tak ada relevansinya sama
sekali dengan keharusan mengubah UU tentang MK. Apalagi dengan pendekatan
sangat ekstrem serta mengabaikan konstitusi. Perppu
No 4/2014 itu jelas-jelas mengangkangi UUD 1945 yang menetapkan hak dan
wewenang Presiden, DPR, serta Mahkamah Agung (MA) untuk mengajukan calon
hakim konstitusi. Perppu itu melahirkan monster bernama Panel Ahli yang
diberi peran sangat dominan, sebab panel ahli merampas hak dan wewenang
presiden, DPR serta MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Logika sistem perundang-undangan negeri manakah yang dipakai
sehingga perppu bisa mengabaikan UUD 1945? Titah konstitusi sangat jelas bahwa presiden berhak mengajukan tiga
calon hakim konstitusi, DPR pun berhak mengajukan tiga calon, dan begitu juga
MA.
Eskalasi Fungsi KY
Mereka yang memaksakan pemberian peran
dominan kepada panel ahli itu rupanya merasa dirinya lebih tinggi dari
konstitusi. Atau, boleh jadi karena dia tidak paham mengenai sistem dan
struktur perundang-undangan Indonesia. Namun, apa pun alasannya, perilaku
amatiran seperti ini tidak hanya sangat merepotkan, tapi akan merusak
tatanan. Harus dikatakan bahwa muatan perppu itu
amat memprihatinkan. Dan, kendati berniat baik, perppu itu justru membuat
presiden semakin tidak kredibel. Menurut UU No 22/2004 tentang KY, fungsi KY
hanya mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung dan
hakim ad hoc MA kepada DPR.
Dalam mengawasi perilaku hakim, KY bertugas
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
KY juga berwenang menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)
bersama MA serta menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH. Perppu No 1/2013
itu, lagilagi, mengangkangi UU. Sebab, Perppu itu memperluas wewenang KY tak
kepalang tanggung. Panel ahli yang menyeleksi calon hakim konstitusi itu
bahkan dibentuk oleh KY. Sama artinya KY boleh mengusulkan calon hakim
konstitusi, bukan hanya calon hakim agung. Lalu, perppu itu juga memperbesar
kapasitas fungsi dan tugas KY.
Perppu itu menugaskan KY dan MA membentuk
Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang permanen. Dan, majelis kehormatan
ini akan diperkuat oleh sekretariat yang berkedudukan di KY. Tidakkah ini
berarti KY, bersama MA, juga bertugas mengawasi hakim konstitusi? Kalau
begini maunya Perppu No 1/2013 itu, konsekuensi logisnya adalah mengubah UU
tentang KY lebih dulu. Kalau KY dipaksa melaksanakan pekerjaan di luar
jangkauan UU pendiriannya, itu inkonstitusional. Jadi, selain syarat
kegentingan tidak terpenuhi , perppu yang menjadi bahan baku UU No 2014
bahkan juga cacat materiil. Pasal tentang pembentukan panel ahli dan Majelis
Kehormatan Hakim Konstitusi itu tidak jelas acuannya.
Karena dua soal ini dipaksakan ke dalam
perppu, ada kesan bahwa orang-orang dekat presiden sedang bereksperimen.
Derajat Perppu diadu dan dinaik-naikkan melampaui konstitusi dan UU. MK dalam
putusannya menegaskan, UUD 1945 Pasal 24 C Ayat (3) memberikan kewenangan
atributif bersifat mutlak kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan
calon hakim konstitusi. Kewenangan itu tidak boleh diberi syarat-syarat
tertentu oleh UU dengan melibatkan KY yang tidak diberi wewenang oleh UUD.
Dan, tentang Majelis Kehormatan Hakim
Konstitusi, MK juga menegaskan bahwa KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi
lembaga yang berwenang menilai benar-tidaknya putusan MK sebagai lembaga
peradilan. Pelibatan KY, menurut MK, merupakan salah satu bentuk
penyelundupan hukum karena hal itu bertentangan dengan putusan MK tentang UU
KY. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar