Selasa, 11 Februari 2014

Di Balik Pengunduran Diri Gita Wiryawan

Di Balik Pengunduran Diri Gita Wiryawan

Benny Susetyo   ;   Budayawan
SINAR HARAPAN,  10 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
“Politik adalah seni permaian untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara menyakinkan publik.”

Langkah pengunduran diri Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan masih menuai polemik. Muncul asumsi, pengunduran diri mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini lantaran persoalan impor beras ilegal yang belakangan mencuat.

Meski Gita menegaskan pengunduran dirinya karena ingin fokus mengikuti konvensi capres, hal itu tetap mengundang tanda tanya.

Apa pun alasannya, meskipun terlambat, sebagai pejabat publik seharusnya ia bisa membedakan kepentingan bangsa dan partai politik (parpol).

Etika politik, menurut Ricoeur, tidak hanya menyangkut perilaku individual, tapi juga terkait tindakan kolektif. Ketika suatu keputusan butuh persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara, legitimasi kolektif publik dapat dimanfaatkan dalam menerapkan politik yang beretika.

Biasanya untuk memperoleh persetujuan, politikus perlu memiliki kemampuan yang meyakinkan. Agar tidak mudah terpengaruh terpaan isu yang diangkat politikus, warga negara perlu kritis. Langkah pengunduran diri Gita Wirjawan direspons publik negatif melihat pejabat memiliki kepentingan ganda. Tujuannya, menaikkan posisi tawar agar mempunyai kans terpilih dalam konvensi.

Hal ini dalam politik adalah seni permaian untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara menyakinkan publik lewat kemasaan, menjual sosok serta rekam jejak.
Pengunduran diri ini adalah momentum para pejabat yang memiliki kepantasan publik menggunakan fasilitas jabatan. Itu karena rakyat merindukan pemimpin berjiwa kesatria dan mampu membedakan mana kepentingan negara atau kepentingan politik yang mencari kekuaasan semata.

Budaya mundur karena merasa konflik kepentingan harus mendapatkan respons, baik menata keadaban politik. Itu karena dalam budaya demokrasi kita, sudah lama tidak dikenal budaya mundur karena ketidakmampuan atau alasan lain.

Budaya mundur dianggap sesuatu yang tabu, sebagaimana budaya malu yang hampir musnah dalam kamus para pejabat. Mundur bahkan sering dianggap aib karena masyarakat seolah akan seterusnya menorehkan tinta hitam sepanjang masa untuk itu.

Seseorang akan merasa malu jika mundur karena sepanjang masa publik melihatnya sebagai masalah. Berbeda dengan nilai di Jepang, seorang pejabat tinggi atau pemimpin perusahaan dengan sangat cepat memutuskan mundur bila berbuat salah atau merasa berbuat salah. Mereka malu terhadap masyarakat.

Di sana, mundur menjadi kesepakatan umum, bukan aib. Begitu pula di Inggris. Mengundurkan diri bagi kalangan politikus dianggap tindakan perwira, jantan, dan ekspresi rasa malu karena merasa telah melakukan kesalahan atau kegagalan dalam menjalankan tugas.

Tradisi ini dilakukan tanpa melihat seberapa besar kekuasaannya atau betapa kuat posisi politiknya dibandingkan dengan seberapa kecil kesalahannya. Banyak pula contoh dari negara besar, seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia. Dalam etika kekuasaan, mereka justru lebih memiliki rasa malu.

Dalam banyak hal, para pejabat kita sering memersepsikan yang ada dalam masyarakat sebagaimana apa yang ada dalam dirinya, subjektif dan sering simplifikatif. Pandangannya sering meleset dan tidak objektif. Hal yang dianggapnya sebagai benar, ternyata menurut sebagian besar masyarakat salah. Begitu juga sebaliknya.

Hal esensial dalam sebuah jabatan publik adalah etika dan kepantasan. Apakah suatu perbuatan menyalahi kepantasan publik atau tidak, itulah yang seharusnya menjadi perhatian utama.

Semua orang berebut menjadi pejabat tanpa mengukur kemampuannya. Segala cara dilakukan untuk menjadi pejabat, termasuk melakukan hal-hal tersembunyi, walaupun bertentangan dengan hati nuraninya, apalagi hati nurani publik.

Jabatan dimaknai sebagai kekuasaan daripada kemampuan. Etika politik tidak 
berjalan. Etika yang semestinya menyangkut dimensi etis seorang pemimpin yang berani bertanggung jawab terhadap segala persoalan, tidak lahir karena dimensi kekuasaan yang terlalu besar. Sikap kesatria, yang mengakui bahwa dia tidak seharusnya menjalankan tugasnya, tidak lahir.

Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan, “Kita gagal menjadi bangsa besar karena kita kehilangan rasa malu.” Jepang menjadi bangsa yang kokoh karena memiliki budaya malu (shame culture) yang sangat tinggi. Padahal, malu adalah nilai moral yang paling utama, yang mengendalikan perilaku moral masyarakat, walau tanpa aturan tertulis.

Bangsa ini membutuhkan teladan yang baik dari pejabatnya. Teladan buruk yang selama ini diadopsi rakyat dari pejabat secara tidak langsung telah ikut memengaruhi cara masyarakat umum berperilaku dan menentukan tindakan.

Politik seharusnya mencerahkan, bukan menambah awan kegelapan dan ketidakjelasan. Para elite kita bagai singa sirkus yang lihai memerankan tipu muslihat yang membuai dan menipu penonton. Mereka bagai pemain sulap yang pandai membuat penonton tertawa sekaligus menangis.

Mereka pandai menyembunyikan sesuatu tanpa terlihat penonton dan memperlihatkan sesuatu yang menakjubkan. Demokrasi yang kita tumbuhkan selama ini seharusnya disadari baru seumur jagung.

Kekeliruan kita dalam memelihara nilai dan moralitas demokrasi secara tidak tepat akan menghasilkan kualitas demokrasi yang buruk pula. Itu merupakan kualitas demokrasi yang rapuh dari dalam. Setiap tindakan dan sikap pejabat merupakan pencerminan langsung dari nilai-nilai demokrasi yang hendak dikembangkan.

Apabila selama ini demokrasi hanya ditegakkan pada aspek ritual dan formal, perlahan-lahan demokrasi akan punah karena kehilangan semangat dan nilai-nilai kokoh yang dihormati bersama.

Kekuasaan akan menjadi penguasa demokrasi, bukan sebagai penjaga nilai-nilai yang ditaati bersam. Siapa pun kelompok penguasa akan mudah membelokkan aturan dan menjadikan kepentingan rakyat hanya untuk keuntungan pribadi.

Dalam konteks ini, kita sedang diuji untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi secara substansial. Teladan para pejabat sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian bahwa demokrasi sungguh-sungguh ditegakkan, bukan sekadar pemanis bibir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar