Rabu, 11 Januari 2012

Kendala Program Efisiensi Energi


Kendala Program Efisiensi Energi
Makmun Syadullah, PENELITI UTAMA BADAN KEBIJAKAN FISKAL, KEMENTERIAN KEUANGAN
Sumber : SUARA KARYA, 10 Januari 2012


Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang sangat boros dalam penggunaan energi listrik. Begitu borosnya hingga angka pertumbuhan penggunaan listrik pernah mencapai 20%. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan di negara maju yang sadar betul dalam memanfaatkan listrik secara benar dan tepat. Di negara maju, pertumbuhan penggunaan energi listrik hanya 2%, bahkan beberapa negara ASEAN pertumbuhan penggunaan listrik juga telah mendekati angka tersebut.

Salah satu pendekatan yang dapat dikembangkan pemerintah untuk mengerem laju pertumbuhan konsumsi listrik adalah melalui demand side management (DSM). DSM dapat didekati melalui pengembangan program efisiensi konsumsi energi. Melalui program ini, selain dapat mengurangi laju pemakaian energi juga akan membawa multiplier effect pada keuangan negara. Program ini dalam praktiknya dapat didekati dari dua sisi.

Pertama, peralihan penggunaan sumber energi dari non-terbarukan ke penggunaan sumber-sumber energi terbarukan. Dari sisi ini, sebenarnya Indonesia kaya akan sumber daya terbarukan, namun pemanfaatannya masih sangat rendah. Hal ini disebabkan, selain harga energi terbarukan masih belum bisa bersaing dengan energi tidak terbarukan, juga penguasaan teknologi energi terbarukan masih rendah. Di samping, penerapan kebijaksaan energi ini yang belum optimal, lokasi yang cukup sulit serta kurangnya investasi.

Kedua, mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi. Pendekatan ini, kini sudah mulai dikembangkan oleh banyak negara di Asia untuk membantu memperbaiki efisiensi energi melalui 'produksi bersih'. Manfaat-manfaat dari program efisiensi energi adalah mengurangi risiko dan menaikkan keuntungan insentif harga energi dan kurangnya pasokan energi. Kemudian, mendorong perbaikan produktivitas dan kualitas produk, perbaikan reputasi dengan pelanggan, pemerintah dan masyarakat, perbaikan kesehatan, keselamatan dan moral, perbaikan pemenuhan peraturan perundangan/hukum dan target-target ISO 14001, dan perbaikan kinerja lingkungan.

Untuk mendorong berkembangnya produsen peralatan hemat energi, sejumlah negara memberikan berbagai insentif fiskal (dalam bentuk fasilitas perpajakan, bea masuk maupun subsidi), insentif finansial (dalam bentuk pinjaman lunak, pendanaan inovatif dan hibah), dan instrumen pasar (dalam bentuk standar dan lebel, clean development mechanism dan kuota).

Dalam praktiknya, bentuk insentif yang diberikan oleh negara berbeda-beda. Jepang, misalnya, memberikan insentif pajak berbasis biaya dengan mengurangi pajak sebesar 7% dari biaya akuisisi peralatan untuk produsen energy effisiency dengan maksimum 20% dari total kewajiban pajak pada tahun fiskal berjalan. Thailand juga memberikan insentif yang sama dalam bentuk potongan pajak untuk investasi awal senilai 50 juta baht untuk jangka waktu lima tahun.

Bentuk insentif fiskal lainnya adalah insentif pajak berbasis kinerja yang diberikan oleh Pemerintah Thailand kepada konsumen yang melakukan penghematan produsen energy effisiency. Insentif ini diberikan dalam bentuk potongan pajak berdasarkan penghematan energi yang diperoleh. Di samping itu, Thailand juga memberikan insentif pajak untuk biaya penyusutan bagi perusahaan untuk mendapatkan pengurangan pajak secara tidak langsung melalui biaya penyusutan.

Insentif finansial bagi produsen diberikan dalam bentuk penyaluran pinjaman melalui lembaga keuangan yang ditunjuk. Hal serupa juga dilakukan di Hongaria, di mana pemerintah menyediakan dana jaminan pada bank dalam menyalurkan fasilitas pinjaman. Sementara itu Pemerintah China pada periode 2008-2010 juga memberikan subsidi langsung kepada produsen untuk lampu hemat energi, sehingga harganya di pasar dapat turun sampai 50%.

Dalam rangka mensukseskan program efisiensi energi, pemerintah telah memberikan insentif kepada produsen penghasil peralatan hemat energi. Bentuk insentif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2009 tentang Konversi Energi ini berbentuk instrumen fiskal, dan instrumen pasar. Adapun kriteria penerima insentif adalah produsen yang memproduksi peralatan hemat energi yang tingkat efisiensinya lebih tinggi dari benchmark, dan mencantumkan label tingkat efisiensi sesuai dengan standar.

Lebih lanjut dalam PP 70 Tahun 2009, pemerintah juga memberikan insentif dalam bentuk (i) fasilitas perpajakan, (ii) pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak daerah, dan (iii) fasilitas bea masuk. Pemerintah juga memberikan insentif finansial dalam bentuk pinjaman lunak. Untuk mendorong pengembangan peralatan hemat energi, pemerintah juga mulai menetapkan standar dan label. Bentuk-bentuk insentif ini masih berpeluang untuk dikembangkan lebih lanjut, setidaknya dengan mencontoh pada jenis-jenis insentif yang sudah lazim dijalankan oleh berbagai negara.

Meski pemerintah telah memberikan berbagai bentuk insentif, program efosoensi energi terkendala pada harga energi listrik. Pemberian subsidi energi selama ini secara nyata telah membuat harga listrik di Indonesia saat ini relatif murah dibandingkan negara-negara lain. Akibatnya, kesadaran masyarakat untuk berhemat dalam mengonsumsi listrik sangat rendah. Tentunya kondisi ini juga akan berdampak pada konsumsi alat-alat hemat energi yang pada umumnya harganya lebih mahal dibandingkan dengan peralatan yang tidak hemat energi.

Sekiranya program efisiensi energi berjalan dengan lancar, maka akan terjadi penghematan konsumsi energi dalam jumlah yang cukup besar. Berdasarkan Rencana Induk Konversi Energi Nasional (RIKEN), peluang penghematan energi di industri bisa mencapai sekitar 15%-30%, sektor transportasi 25% dan sektor rumah tangga dan bangunan komersial 10%-30%.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar