Jangan
sampai Hangus Terbakar
Sulastomo,
KETUA UMUM PB HMI 1963-1966
Sumber
: KOMPAS, 20 Januari 2012
Buya Syafii Maarif awal tahun ini di Kompas
menulis dengan judul ”Biar Negara Hangus Terbakar”. Buya prihatin, semboyan
mengusir penjajah di awal kemerdekaan yang membangkitkan semangat merdeka atau mati
yang berbunyi ”Biar negara hangus terbakar” telah berganti menjadi ”Biar negara
jadi sapi perahan dan korupsi merajalela, asal aku tetap berkuasa”.
Lagi-lagi kekuasaan menjadi tujuan tertinggi.
Inilah penguasa ”londo-ireng” (Belanda berkulit hitam), tulis Buya.
Buya sedih, tidak banyak yang berpikir untuk
masa depan. Sebaliknya, orang hanya berpikir kekinian, hanya pragmatis, yang
dikatakan sudah jadi agama. Buya sedih, masyarakat kita telah menjadi
masyarakat konsumtif. Masyarakat telah menghasilkan barang-barang tunaguna dan
pada tingkat yang sama melahirkan pula manusia tak berguna. Kita telah
mengalami kelumpuhan nurani yang menjadi sumber utama segala ketidakberesan di
Indonesia sekarang.
Alhamdulillah, di bagian lain, Buya menulis,
sudah begitu burukkah masyarakat kita sekarang? Saya rasa belum. Namun, gejala
ke arah itu memang semakin terang benderang. Jika tidak dibendung secara
saksama oleh seluruh kekuatan akal sehat yang sesungguhnya masih hidup dalam
jiwa bangsa ini, jalan ke arah itu akan semakin terbuka, demikian tulis Buya.
Apa yang ditulis Buya sangat menyentuh.
Mengesankan, kita tidak hanya tidak amanah terhadap cita-cita kemerdekaan, tetapi
juga sebagai ”khalifah” di Bumi sebagaimana ajaran agama. Sebab, cita-cita
kemerdekaan yang dicanangkan para pendiri bangsa penuh dengan nilai-nilai moral
yang tinggi. Mengapa kondisi bangsa sekarang seperti digambarkan Buya?
Perjalanan bangsa ini dapat dikatakan sangat
berliku dan melalui jalan terjal yang dapat menggagalkan Indonesia untuk
mencapai tujuan kemerdekaan.
Salah Jalan
Seusai perjuangan kemerdekaan, sejak tahun
1950-an Indonesia memiliki momentum yang baik untuk mengisi kemerdekaan. Namun,
kita memilih jalan yang keliru. Kita memilih sistem parlementer, dengan
demokrasi (liberal) yang membuka persaingan ideologi begitu tajam.
Pemilihan umum yang berlangsung tahun
1954/1955—yang kita nilai sebagai yang paling demokratis—gagal melahirkan stabilitas
politik. Kabinet Ali/Roem/Idham (koalisi PNI/Masyumi/NU), meskipun didukung
suara yang sangat besar di parlemen, hanya berusia 17 bulan.
Selain itu, timbul pergolakan daerah,
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat dan Perjoangan
Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara.
Dwitunggal Soekarno/Hatta tanggal ketika Bung
Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden. Konstituante pun gagal
merumuskan Undang-Undang Dasar karena pertentangan ideologi Islam dengan
Pancasila.
Akhirnya, Presiden Soekarno membubarkan
konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekret Presiden 5 Juli
1959. Semua partai politik, termasuk partai politik Islam, menyetujui kebijakan
Presiden.
Tahun 1960-1965, kita memasuki era baru. Bung
Karno , sesuai UUD 1945, merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Sistem politik disesuaikan dengan UUD 1945, di mana diakui keberadaan
perwakilan golongan di DPR dan utusan daerah di MPR. ABRI dengan dwifungsinya
dan pegawai negeri sipil/Korpri masuk ke politik melahirkan Fraksi Karya
Pembangunan di DPR/MPR.
Di luar DPR/MPR, mereka bergabung dalam
Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Pertentangan ideologi
ternyata tidak menyurut meskipun dalam bungkus Pancasila. Partai Komunis
Indonesia (PKI) menempatkan Pancasila sebagai alat pemersatu yang kemudian
diakomodasi dalam konsep Nasionalis/Agama/Komunis (Nasakom) yang diperkenalkan
Bung Karno.
PKI ternyata semakin dominan dan hanya dapat
diimbangi oleh TNI Angkatan Darat sebagai bagian dari Sekber Golongan Karya.
Puncaknya adalah tragedi 30 September 1965, di mana pimpinan teras Angkatan
Darat diculik, dibunuh, kemudian diiringi dengan bunuh-membunuh antarwarga yang
melahirkan era ”Orde Baru”.
Orde Baru lahir dengan tekad untuk
mengamalkan Pancasila/UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Melalui kursus
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Pancasila disosialisasikan
kepada seluruh warga negara. Kebijakan yang berorientasi program diperkenalkan
sebagai pengganti kebijakan berorientasi politik.
Strategi pembangunan diperkenalkan sebagai
Trilogi Pembangunan mencakup stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Selama 30
tahun Orde Baru, Indonesia telah mengalami pertumbuhan yang tinggi. Namun,
strategi Orde Baru itu dinilai tidak demokratis, bahkan otoriter. Jumlah partai
dibatasi dan diharuskan berasas Pancasila. Orde Baru akhirnya jatuh.
Era Reformasi
Memasuki era refomasi pada tahun 1998,
tatanan berbangsa dan bernegara diperbarui untuk mewujudkan kehidupan yang
lebih demokratis. UUD 1945 diamandemen, otonomi daerah didorong, pendirian
partai baru dibuka lebar, dan pemilihan langsung diperkenalkan.
Sampailah kita pada kondisi yang digambarkan
Buya Syafii Maarif. Hampir setiap hari kita menyaksikan kekerasan dengan
berbagai alasan, korupsi menjadi berita sehari-hari, sengketa pilkada terus
berjalan, dan bahkan ada istilah :mafia hukum” ataupun ”korupsi berjemaah”.
Semua itu mengesankan bangsa ini telah
kehilangan nurani sebagaimana digambarkan Buya Syafii Maarif. Suara-suara
keprihatinan dan koreksi mulai bergaung, bahkan dalam bentuk yang sangat
pesimistis, biar negara hangus terbakar.
Tugas setiap generasi adalah meninggalkan
kondisi yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Kalau hal ini berlangsung,
kehidupan bangsa ini ibarat rantai yang panjang. Idealnya, setiap generasi
harus belajar dari generasi sebelumnya. Meneruskan yang baik dan memperbaiki
yang belum baik atau yang buruk. Inilah makna seruan Bung Karno, ”Jas merah,
jangan sekali-sekali melupakan sejarah!”
Namun, sebagaimana digambarkan di atas, di
setiap pergantian, kita selalu memulai dari ”nol”. Seolah-olah generasi
pendahulu tidak pernah mewariskan kondisi yang baik dan generasi penerus selalu
menganggap generasi sebelumnya buruk. Jalan kita menjadi berkelok dan
terombang-ambing situasi.
Tugas setiap generasi adalah meluruskan
kembali jalan yang berkelok itu. Jangan sampai negara hangus terbakar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar