Jumat, 20 Januari 2012

Aparat dan Bisnis Kekerasan


Aparat dan Bisnis Kekerasan
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
Sumber : KOMPAS, 20 Januari 2012


Dalam lingkup bisnis yang melibatkan aparat penegak hukum, baik secara lembaga maupun personal, terdapat tiga kategori umum yang berlaku.

Pertama adalah bisnis formal sebagaimana tecermin dalam kepemilikan yayasan, koperasi, dan badan usaha lain yang dimiliki institusi penegak hukum, baik Polri maupun TNI.

Jenis kedua adalah bisnis informal di mana para petinggi Polri dan TNI memiliki serta mengoperasikan badan usaha langsung ataupun tidak langsung, baik sebagai komisaris, direktur, maupun posisi strategis lain dalam suatu badan usaha.

Terakhir adalah bisnis ilegal, yaitu sebuah aktivitas usaha yang ditopang otoritas koersif, seperti praktik beking penyelundupan, narkotika, perdagangan manusia, atau menjadi centeng pengusaha (Bisnis Militer Mencari Legitimasi, ICW, 2004).

Pemerintah baru menyentuh level bisnis formal dengan membentuk tim nasional pengalihan bisnis militer sebagai implementasi perintah UU No 34/2004 untuk melepaskan semua kegiatan bisnis TNI. Kerja tim ini dipandang gagal karena tidak jelasnya definisi dan tipe bisnis yang harus diambil alih negara. Sebaliknya TNI berkukuh mengelola usaha skala kecil untuk membiayai kebutuhan prajurit yang belum disediakan oleh negara (APBN).

Human Rights Watch mencatat berbagai kegagalan transformasi bisnis militer, terutama pada bisnis ilegal, karena masih maraknya praktik pembekingan oleh aparat TNI (HRW, 2010).

Reformasi Absen

Gagalnya usaha untuk mengembalikan khitah TNI sebagai aparat yang profesional dan tunduk pada kekuasaan sipil dilengkapi dengan tidak adanya kebijakan pemerintah untuk mereformasi bisnis di tubuh Polri.

Sebelum dipisahkan, TNI/Polri adalah satu kesatuan sehingga baik TNI maupun Polri memiliki karakteristik penyimpangan yang sama, terutama dari sisi penyalahgunaan wewenang.

Di Polri, koperasi, seperti Primkopol dan Yayasan Brata Bhakti Polri, adalah bentuk nyata dari bisnis Polri hingga hari ini. Akan tetapi, dorongan melakukan transformasi bisnis baru diarahkan kepada institusi TNI. UU No 2/2002 tentang Polri juga tidak memberikan mandat untuk mereformasi bisnis yang dikelola Polri.

Implikasi dari absennya agenda reformasi pada bisnis di tubuh kepolisian adalah meningkatnya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan koersif yang mewujud dalam berbagai pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian di sejumlah daerah.

Hal ini karena kepolisian pascareformasi memiliki wewenang tambahan untuk menjaga keamanan, mengambil alih fungsi yang sebelumnya dimiliki TNI. Pada aspek mengawal keamanan inilah, eskalasi kekerasan terhadap warga sipil terjadi. Kasus kekerasan di Freeport, Mesuji, Bima, dan sejumlah tempat lain membuktikan indikasi penyimpangan wewenang Polri.

Swastanisasi Fungsi

Salah satu implikasi serius dari pembiaran bisnis aparat, baik dalam lingkup formal, informal, maupun ilegal adalah sulitnya aparat kepolisian bersikap obyektif dalam merespons keadaan. Definisi keamanan jadi bias karena ada situasi bahwa biaya operasional kepolisian dalam menjaga keamanan disediakan oleh perusahaan atau pihak ketiga.

Dalam kasus Freeport, misalnya, adanya biaya operasional untuk kepolisian dari pihak Freeport membuat aparat bertindak brutal dalam merespons demonstrasi karyawan dan warga Papua. Pengabdian atas tugas dan tanggung jawab kepolisian dalam memberikan rasa aman kepada publik pun diswastakan.

Patut diduga tindakan brutal aparat kepolisian menghadapi tuntutan warga dalam sejumlah konflik agraria pun ditimbulkan oleh tiadanya independensi pembiayaan operasi aparat. Akibatnya, pengambilalihan lahan secara sewenang-wenang oleh kalangan swasta tidak pernah dianggap sebagai masalah hukum oleh pihak kepolisian.

Dengan demikian, tanpa ada pembenahan yang mendasar dalam berbagai pelaksanaan fungsi dan wewenang aparat kepolisian—khususnya di bidang keamanan—akan selalu ada potensi kekerasan struktural dan berujung pelanggaran HAM.

Polri memang tengah menggulirkan reformasi saat ini dalam bentuk perbaikan pelayanan publik dan peningkatan transparansi dalam pelaksanaan penegakan hukum (quick-win). Namun, hal itu masih belum memadai untuk menghentikan aksi kekerasan aparat Polri dalam kasus-kasus konflik warga sipil dengan pihak ketiga (pengusaha).

Penting bagi pemerintah dan DPR untuk memikirkan bagaimana mengendalikan institusi penegak hukum yang mendapat kewenangan melakukan kekerasan atas nama UU agar tidak sewenang-wenang menggunakannya. Polri juga perlu membangun independensi pada aspek anggaran sehingga kegiatan aparat penegak hukum ini dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas sipil. Memang seharusnya begitulah sistem demokrasi bekerja untuk rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar