LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Senjakala
Perumahan Rakyat
Sumber : KOMPAS, 13 Desember
2011
Tahun 2011 menoreh catatan manis bagi
industri properti. Derapnya kian lincah, baik sektor perkantoran, kondominium,
apartemen sewa, residensial, pusat perbelanjaan, maupun kawasan industri.
Kegairahan bisnis properti masih menjanjikan
harapan cerah pada 2012. Pertumbuhan ekonomi nasional, perkembangan industri,
dan meningkatnya kaum menengah baru menjadi kunci gairah investasi.
Meski demikian, semarak properti menyisakan
potret buram di sektor perumahan rakyat menengah bawah. Perumahan rakyat mulai
memasuki ”zona merah”, ditandai dengan kekurangan rumah yang semakin kronis.
Dalam evaluasi perumahan rakyat, awal
Desember lalu, Kementerian Perumahan Rakyat mengakui pemenuhan rumah rakyat di
Indonesia sudah mencapai kondisi darurat. Jika pada 2004 rumah tangga di
Indonesia kekurangan rumah 5,4 juta unit, tahun 2010, Badan Pusat Statistik
mencatat kekurangan bisa 13,6 juta unit.
Krisis rumah rakyat sesungguhnya sudah bisa
diprediksi. Pertumbuhan kebutuhan rumah setiap tahun mencapai 800.000 unit,
sedangkan ketersediaan rumah tidak lebih dari 500.000 unit. Apabila 70 persen
kebutuhan rumah itu berasal dari masyarakat menengah bawah, bisa dipastikan
segmen masyarakat ini kian jauh dari hak dasarnya memperoleh rumah layak.
Harga rumah susun bersubsidi dipatok maksimum
Rp 144 juta per unit, rumah tapak maksimum Rp 70 juta per unit, sedangkan rumah
murah Rp 25 juta per unit. Sasaran rumah susun subsidi adalah masyarakat
berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan, sedangkan rumah tapak dan rumah
murah adalah masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 2,5 juta per bulan.
Untuk membantu penyerapan rumah bagi segmen
masyarakat ini, pemerintah menggulirkan fasilitas likuiditas pembiayaan
perumahan atau FLPP sejak Oktober 2010. FLPP berupa subsidi suku bunga kredit
tetap sebesar 8,15-9,95 persen selama tenor 15 tahun. Dana dihimpun dari
pemerintah dan perbankan.
Tahun 2010, anggaran FLPP dari pemerintah
sebesar Rp 2,6 triliun untuk membiayai kredit rumah susun, rumah tapak sederhana,
dan rumah murah bagi masyarakat menengah bawah. Namun, terobosan pemerintah
dalam pembiayaan perumahan terganjal sejumlah masalah.
Sejak 2010, pengembang menghentikan
pembangunan rumah susun bersubsidi di DKI Jakarta, padahal 60 persen kebutuhan
rumah susun berada di Jakarta. Pengembang tiarap karena proyek rusun sederhana
dinilai tak lagi menguntungkan akibat ketidakjelasan perizinan dan kriteria
konsumen rumah susun subsidi yang memberatkan. Oktober 2011, hanya satu
pengembang menyatakan minat membangun rumah susun di Jakarta.
Dari sisi pembiayaan, kinerja bank pelaksana
untuk menyalurkan FLPP masih jauh dari harapan. Hingga 7 November 2011,
realisasi FLPP baru 74.400 unit atau 46,23 persen dari target penyaluran
160.925 unit, dengan nilai Rp 2,45 miliar. Dari jumlah tersebut, penyerapan
rumah susun subsidi hanya 116 unit atau 11 persen dari target 1.000 unit.
Selama ini, pengembang membangun rumah tapak
bersubsidi berukuran 22-36 m2 yang dijual dengan harga
maksimum Rp 70 juta per unit. Dengan ketentuan baru tipe rumah minimal 36 m2,
pengadaan rumah akan sulit, terutama di kota-kota besar yang harga tanahnya
semakin mahal.
Di tengah krisis pengadaan rumah tapak,
pemerintah membuat langkah blunder dengan rencana menaikkan harga patokan
maksimum rumah susun subsidi pada 2012. Bisa dipastikan, masalah rumah rakyat
akan melebar tidak sebatas pengadaan dan pembiayaan, tetapi juga keterjangkauan
rumah.
Dengan harga patokan maksimum rumah subsidi
saat ini, penyerapan rumah masih rendah. Kenaikan harga rumah subsidi akan
menambah sulit keterjangkauan rumah bagi masyarakat menengah bawah. Kesenjangan
pemenuhan kebutuhan dasar yang meruncing dapat mengganggu stabilitas sosial
kemasyarakatan.
Kegagalan sistem kelembagaan penyediaan rumah
publik harus segera disikapi. Pembangunan rumah tak bisa lagi diserahkan penuh
kepada pengembang yang berorientasi mencari keuntungan. Saatnya pemerintah
mengikuti jejak negara-negara maju yang dominan dalam penyediaan rumah rakyat.
Di Singapura, 80 persen rumah susun publik dibangun pemerintah.
Pembentukan badan perumahan rakyat di
Indonesia dinantikan untuk mendorong program perumahan lebih fokus melalui
koordinasi dengan BUMN lain atau pemerintah daerah guna menghimpun lahan (bank
tanah) dan memudahkan perizinan. Selain itu, akuisisi lahan, merencanakan
pembangunan rumah, mengelola aset negara, dan sumber daya. Tahun 2012 adalah
masa pembuktian bagi seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, BUMN, dan
pemda—untuk menggerakkan kembali perumahan rakyat. ●
(BM Lukita
Grahadyarini)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar