LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Tahun
Prihatin Pertanian-Pangan
Sumber : KOMPAS, 13 Desember
2011
Pemerintah tahun 2011 menetapkan sejumlah
sasaran produksi pangan dan pertanian. Ada lima komoditas utama yang menjadi
prioritas penanganan, yaitu beras, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi.
Produksi empat dari lima komoditas utama itu
tidak mencapai target. Produksi beras, jagung, dan kedelai malah turun.
Jika dibandingkan target produksi 2011,
produksi padi lebih rendah 5,2 juta ton gabah kering giling, jagung 4,77 juta
ton pipilan kering, kedelai 629.932 ton kupasan kering, dan 400.000 ton gula
kristal putih.
Akibat tak tercapainya target produksi,
negara kehilangan potensi pendapatan riil dari empat komoditas strategis itu
sebesar Rp 40,2 triliun. Bukan angka yang kecil. Sebab, uang itu akan langsung
ada di masyarakat dan nyata menggerakkan perekonomian nasional, terutama di
desa.
Daging sapi berbeda masalahnya. Hasil sensus
sapi Badan Pusat Statistik 2010 menunjukkan populasi sapi nasional 15,8 juta
ekor. Itu karena selama ini Indonesia jorjoran mengimpor sapi bakalan dan
daging sapi. Namun, yang pasti, impor daging sapi dan jeroan sekitar 90.000 ton
serta sapi bakalan 500.000 ekor pada 2011.
Jika dihitung secara keseluruhan, impor
komoditas pangan, baik yang berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Perindustrian, pada 2011
mendekati Rp 100 triliun.
Dibandingkan era 2004 saat anggaran sektor
pertanian hanya Rp 4 triliun, dana APBN dan APBN-P 2011 untuk sektor pertanian
di atas Rp 17 triliun atau lebih dari empat kali lipatnya.
Kalau kinerja lima komoditas utama itu saja
loyo, kita tidak usah bicara komoditas pertanian lain karena tentu perhatian
pemerintah, khususnya Kementerian Pertanian, tidak akan sebesar lima komoditas
utama itu. Kalaupun ada peningkatan, sangat mungkin karena sistemnya sudah
jalan dan swasta lebih banyak berperan.
Melihat kenyataan di atas, sangat boleh jadi
dikatakan tahun ini merupakan tahun kegagalan produksi pangan dan pertanian.
Memang data BPS menunjukkan nilai tukar petani mengalami peningkatan 0,12 poin
menjadi 105,64 dibandingkan 2010. Namun, kenaikan nilai tukar petani lebih
karena naiknya harga semua komoditas pertanian, bukan karena peningkatan
produksi dan produktivitas.
Wacana
Ada sejumlah faktor pemicu kegagalan. Yang
terutama adalah pemerintah masih senang berwacana. Makin hari, pemerintah
justru makin menjauhkan diri dari petani. Pemerintah kurang mendengarkan
persoalan petani, menangkap persoalan itu, mendudukkan soal, lalu mencarikan
solusi paling tepat, bukan untuk mengejar kepentingan segelintir pejabat dan
pengusaha, melainkan untuk bangsa.
Ibarat orang menderita panas dan demam akibat
radang karena bakteri di tenggorokan, yang diberikan hanya obat panas. Itu juga
yang terjadi di pertanian.
Pada saat petani memerlukan berbagai dukungan
yang lebih, seperti perbaikan infrastruktur irigasi, jalan, benih, pupuk, alat
produksi, sarana pascapanen, lahan, industri pengolahan untuk memberikan
jaminan pasar, pengaturan tata niaga yang baik, dan pendampingan, yang
diberikan malah program bantuan sosial.
Sebut saja program pengembangan usaha
agribisnis pertanian yang sudah menyalurkan dana lebih dari Rp 2,8 triliun,
lembaga mandiri mengakar di masyarakat, dan sarjana membangun desa.
Sejumlah program itu merupakan program instan
untuk meredam panas dan demam petani, itu pun kalau tepat sasaran. Hal itu
mengingat dana bansos tersebut, seperti terungkap dalam rapat kerja Komisi IV
DPR dan Menteri Pertanian, tak lebih dari sekadar kompromi bagi-bagi uang.
Pengawasan dan evaluasi minim.
Pemerintah juga tidak pernah secara terbuka
menunjukkan kepada publik progres berbagai program itu, lengkap dengan
evaluasi. Publik juga tidak diajak turut mengawasi, kecuali sekadar formalitas.
Pada saat yang sama, petani dan para pelaku
usaha di bidang hortikultura memimpikan ada gudang penyimpanan lengkap dengan
ruang pendingin skala besar untuk menampung komoditas seperti buah dan sayur
dalam jumlah puluhan ribu ton di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta, dan di
sejumlah tempat lain.
Manajemen stok diperlukan agar saat produksi
melimpah, semua barang petani bisa diserap. Dengan demikian, harga bisa dijaga
dan petani tetap semangat berproduksi. Kalau perlu, bisa untuk ekspor.
Sebaliknya, kalau produksi turun, barang di
dalam gudang tinggal dikeluarkan. Biayanya tentu murah. Apalagi jika
dibandingkan manfaat yang bisa didapat mengingat Indonesia negara dengan jumlah
penduduk besar dan 43 persen penduduknya bertumpu pada sektor pertanian.
Namun, yang terjadi, pemerintah tak pernah
mau melakukan lompatan pemikiran. Sudah bisa ditebak, berbagai program
biasa-biasa saja yang dilakukan. Kalau membantu ruang pendingin ya cukup ukuran
satu kontainer. Dan celakanya, sudah merasa melakukan banyak hal.
Dalam hal ini, Indonesia harus meniru China.
China menyadari memiliki jumlah penduduk besar, apa yang mereka buat selalu
berskala raksasa sehingga manfaatnya terasa.
Kondisi sama juga menimpa tanaman pangan.
Sudah tahu produktivitas tak beranjak sejak sepuluh tahun terakhir, tetapi
lahan pertanian terus dikonversi. Setiap saat, Menteri Pertanian dan DPR serta
masyarakat berteriak, konversi lahan sawah 110.000 hektar per tahun. Namun, tak
ada satu pun yang bergerak menghentikannya. Alasannya kendali ada di pemerintah
daerah. Sulit dipahami kalau pemerintah pusat punya tujuan baik bagi
kepentingan bangsa harus kalah dengan kepentingan sempit daerah. Kok, presiden
kalah dengan bupati/wali kota.
Bagaimana dengan benih. Petani selalu
menginginkan benih berkualitas unggul, benih apa saja. Begitu juga dengan
pasar, yang mulai senang dengan komoditas spesifik. Yang terjadi, penelitian
kita tidak mampu memenuhi itu. Ada baiknya kalau lembaga penelitian berada
dalam satu kendali, seperti BPPT, agar semua terpusat, mulai dari perencanaan
kebijakan, anggaran, hingga evaluasi.
Kementerian Pertanian cukup mengorder sesuai
kebutuhan dengan batas waktu tertentu. Kalau tidak memenuhi, berarti kegagalan
bagi lembaga penelitian sehingga semua jelas.
Perusahaan BUMN terkait pertanian dan pangan
juga senang jalan sendiri. Sampai saat ini, PT Sang Hyang Seri, perusahaan
benih BUMN, hanya sibuk menggarap benih padi, itu pun keteteran dan sebagian
besar tugas PSO. Jangan harap bisa mengembangkan sayap ke bisnis benih
hortikultura, perkebunan, dan sebagainya.
Industri pupuk dengan rencana penyeragaman
pupuk majemuk juga mengingkari keberagaman lokasi. Tentu sulit diterima,
apalagi oleh petani.
Yang sangat penting dan tak boleh diabaikan
adalah passion para pemimpin dan pejabat, baik pusat maupun daerah, terhadap
sektor pertanian dan pangan. Ini sudah hilang sejak era reformasi. Sepertinya
hal ini juga berulang pada 2012. ●
(Hermas E Prabowo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar