LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
“Permata”
Ekonomi yang Bisa Lebih Berkilau
Sumber : KOMPAS, 13 Desember
2011
Sebuah bank internasional di Jakarta
memberikan judul ”Indonesia, the Economic Jewel of Asia” untuk acara Global
Economic Outlook 2012. Sebuah ungkapan yang bukan tanpa alasan karena
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 bakal tetap tinggi.
Sejumlah pimpinan perusahaan berskala dunia
dan pengamat internasional mengungkapkan hal senada. Paul Polman, Chief
Executive Officer (CEO) Unilever Global, akhir September lalu, menegaskan,
ekonomi Indonesia akan tetap tumbuh sekalipun ada krisis di Eropa dan Amerika
Serikat. Rick Goings, CEO Tupperware Worldwide, pekan lalu, di Jakarta
menegaskan, saat ini merupakan era emas bagi Indonesia.
Penulis buku laris Asia Hemisfer Baru Dunia,
Kishore Mahbubani, menegaskan, saat ini merupakan era Asia, dan Indonesia
merupakan salah satu negara Asia yang akan tampil. ”Indonesia punya keindahan
fisik dan budaya. Tidak ada tempat lain di dunia seperti ini. Hilangkan sedikit
’kesopanan’ yang Anda miliki untuk merebut peluang investasi,” ujar Kishore
Mahbubani.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif
menggembirakan. Pemerintah dan DPR menetapkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Bank Indonesia lebih
berhati-hati dengan menetapkan pertumbuhan 2012 sebesar 6,3-6,7 persen.
Lembaga internasional seperti Dana Moneter
Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) juga relatif
optimistis. Ekonomi Indonesia masih akan bergerak pada kisaran 6,3-6,7 persen.
Skenario terburuk, jika krisis ekonomi global berlanjut serta memengaruhi China
dan India, ekonomi Indonesia masih tumbuh sekitar 4 persen.
Ekonomi yang terus tumbuh di tengah krisis
global jelas membuat Indonesia bagai ”permata”, baik bagi pemerintah, swasta
nasional, maupun investor asing. Apalagi dengan jumlah kelas menengah Indonesia
yang kini mencapai 56,5 juta orang. Kelas menengah versi Bank Dunia adalah
mereka yang belanja per kapitanya 2 dollar AS (sekitar Rp 19.000) hingga 20
dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari.
Bagi pemerintah, pertumbuhan ekonomi 6,7
persen dengan asumsi pertumbuhan 1 persen menyerap 450.000 tenaga kerja, maka
bisa terserap sekitar 3 juta tenaga kerja. Bisa menekan jumlah penganggur yang
sekitar 16,5 juta orang (sekitar 6,8 persen) belakangan ini.
Namun, kalau pemerintah mau serius mengatasi
pengangguran sekaligus angka kemiskinan negeri ini yang mencapai 29,7 juta
orang (12,5 persen), sebenarnya angka pertumbuhan ini bisa lebih tinggi lagi.
”Permata” ekonomi yang ada bisa lebih berkilau lagi.
Nouriel Roubini, Guru Besar New York
University, di Jakarta mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa 8 persen
sampai 9 persen. Semua ini bisa terjadi apabila Indonesia serius menangani
pembangunan infrastruktur.
Sebenarnya soal pembangunan infrastruktur,
banyak pihak, terutama pengusaha, mengeluhkannya. Biaya angkutan truk di
Indonesia mencapai Rp 3.300 per kilogram, sementara di negara tetangga hanya Rp
2.200 per kilogram. Bagaimana bisa bersaing?
Tidak mengherankan, harga jeruk china di Jawa
lebih murah daripada harga jeruk pontianak atau jeruk medan. Lebih murah
membawa barang dari Jakarta ke Singapura dibandingkan dengan Jakarta ke
Surabaya.
Itu sebabnya, Indonesia, yang merupakan
negeri agraris, mengimpor buah-buahan dan sayur-sayuran senilai Rp 17,6
triliun. Bahkan juga mengimpor ikan dan garam, padahal laut di negeri ini luas
dan kaya.
Pemerintah Tidur?
Muncul tuduhan bahwa pemerintah tidak banyak
berbuat. Bahkan ada tuduhan, pemerintah hanya tidur. Jika pemerintah sigap,
pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi, bahkan mencapai angka dua digit.
Pemerintah sebenarnya punya sejumlah program
berkaitan dengan percepatan pembangunan ekonomi. Mei lalu, muncul Rencana Induk
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Penentuan enam
koridor pembangunan ekonomi yang dipuji berbagai pihak.
Namun, dalam kenyataannya, MP3EI sampai kini
belum banyak beranjak dari rencana. Padahal, kalau segera diimplementasikan,
ada peluang investasi yang hebat. Sebuah daya dorong pertumbuhan ekonomi yang
berdampak luas.
Dalam kenyataan, pemahaman soal MP3EI saja
tidak sampai ke pemerintahan di daerah. Banyak kepala daerah tidak paham MP3EI,
apalagi sampai menerapkannya. Alhasil, semuanya mandek, apalagi jika tak ada
upaya terobosan, inovasi.
Di sisi lain, pemerintah juga tak punya dana
yang cukup untuk bermanuver membangun infrastruktur. Dari APBN 2012 sekitar Rp
1.400 triliun, sekitar 80 persen untuk belanja rutin. Pemerintah hanya berharap
dari swasta, termasuk swasta asing, untuk membangun infrastruktur.
Sementara swasta malas bergerak jika
kondisinya tak menggairahkan. Semisal, banyak dari mereka keberatan dengan UU
Ketenagakerjaan yang tidak kondusif. Korupsi dan ekonomi biaya tinggi membuat
investor harus kehilangan sejumlah besar uang pada awal berusaha.
Belum lagi ketidakpastian hukum seperti
berkaitan dengan upaya pembebasan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Di sisi
lain, ada tumpang tindih dan peraturan yang saling tidak mendukung antara
daerah dan pusat, semangat otonomi yang tak mendukung iklim berusaha.
Tak heran investor lebih suka membuka sektor
jasa perdagangan. Pusat pembelanjaan paling mudah. Perbankan juga lebih suka
memberikan pinjaman ke arah ini.
Munculnya kelas menengah yang demikian besar
dengan potensi beli yang tinggi dipermarak munculnya sektor jasa. Padahal, dari
sisi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pertumbuhan ekonomi akibat sektor
jasa dan sektor konsumsi tidak signifikan dalam menyerap tenaga kerja
dibandingkan dengan sektor manufaktur dan pertanian.
Maka terlihat Indonesia lebih suka mengimpor
garam, ikan, sapi, beras, gula, jagung, buah-buahan, dan sayuran. Tak ada upaya
mendorong sektor pertanian yang intinya lebih memberdayakan kehidupan
masyarakat desa, juga lebih menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun, masih ada asa bagi Indonesia untuk
berbenah diri. Dengan produksi dan ekspor seperti minyak sawit mentah,
batubara, karet, timah, dan kakao, Indonesia masih bisa bermanuver menjadi
target investasi. Apalagi, pertumbuhan ekonomi yang positif di tengah krisis
global saat ini membuat Indonesia tetap menarik.
Infrastruktur yang pas-pasan, korupsi yang
masih mewabah, ekonomi biaya tinggi, dan peraturan yang tidak mendukung sudah
membuat pertumbuhan ekonomi bisa 6,7 persen. Sebuah permata ekonomi yang sudah
menarik. Permata ini akan kian berkilau jika hal-hal itu diatasi. Perlu segera
bertindak. ●
(ppg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar