LAPORAN AKHIR TAHUN 2011
Hambatan
Pengembangan Industri
Sumber : KOMPAS, 13 Desember
2011
Mengembangkan industri dalam negeri
membutuhkan upaya yang tidak sederhana. Upaya tersebut harus dimulai dengan
memetakan persoalan yang dihadapi setiap sektor industri terlebih dahulu.
Memetakan persoalan dengan tepat dan diikuti solusi yang sesuai akan memandu
Indonesia menahan fase deindustrialisasi yang tengah berlangsung.
Meski sudah menapaki sektor industri lebih
dari 30 tahun, Organisasi Pengembangan Industri PBB menyatakan Indonesia tidak
pernah menjadi negara industri. Indonesia baru menjadi negara semi-industri
karena tidak memenuhi beberapa kriteria sebagai syarat sebuah negara industri.
Bank Dunia pun pada 2008 pernah melansir
berita bahwa sejak 2003 daya saing Indonesia dalam kancah industri antarbangsa
memperlihatkan adanya paradoks. Di satu sisi, terjadi peningkatan daya saing
komoditas hasil industri Indonesia di pasar dunia. Namun, di sisi lain,
industri dalam negeri banyak yang gulung tikar.
Sementara ekonom di dalam negeri banyak yang
menyatakan bahwa Indonesia sekarang masuk dalam proses deindustrialisasi. Data
menunjukkan, pada 2009 terdapat 2.635 perusahaan industri yang tutup. Pada saat
yang sama hanya 2.018 perusahaan yang baru tumbuh. Selisih angka-angka tersebut
menunjukkan pertumbuhan perusahaan industri yang minus, yaitu sebesar 2 persen
dari total industri yang ada.
Peran sektor industri manufaktur dalam produk
domestik bruto pun kian menurun dalam lima tahun terakhir. Porsinya tinggal
sekitar 26 persen terhadap PDB. Porsi paling besar berada di sektor-sektor
tersier (48 persen).
Secara makro, ciri-ciri deindustrialisasi
dapat dilihat dari melambatnya pertumbuhan sektor industri, menurunnya
kontribusi sektor industri terhadap PDB, melemahnya sektor industri dalam
penyerapan tenaga kerja, tingginya ekspor primer tanpa nilai tambah, dan
lonjakan produk impor yang dijual dengan harga murah.
Adapun secara mikro, ciri-ciri
deindustrialisasi dapat dilihat dari meningkatnya sektor informal akibat
pemutusan hubungan kerja sektor manufaktur dan menurunnya kapasitas produksi.
Hasil studi Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) 2010 bahkan menunjukkan
banyaknya produsen beralih menjadi pedagang karena tingkat risiko bisnis yang
rendah.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya
deindustrialisasi. Mulai dari tidak dikuasainya rantai pasokan untuk
meningkatkan daya saing, ekonomi biaya tinggi, lemahnya dukungan perbankan dan
infrastruktur, hingga keterbatasan inovasi teknologi. Tidak dikuasainya rantai
pasokan (supply chain) untuk meningkatkan daya saing industri menunjukkan
adanya pemetaan masalah yang tidak sempurna dalam rantai nilai dari hulu hingga
hilir. Akibatnya, langkah penanganannya pun menjadi tak tepat sasaran.
Litbang Kompas mencoba memetakan persoalan
daya saing industri di tiga sektor, yaitu industri tekstil dan produk tekstil
(TPT), kerajinan ukiran, serta kerajinan perak dari sisi rantai nilai dengan
keterkaitan ke belakang (backward) dan ke depan (forward). Secara sederhana,
rantai nilai dengan keterkaitan ke belakang bermakna hubungan industri dengan
input-input atau proses penyediaan bahan baku (praproduksi hingga produksi).
Sementara rantai nilai dengan keterkaitan ke depan terkait dengan kegiatan
pascaproduksi ketika produk dilempar ke pasar.
”Backward” dan ”Forward”
Hasil survei terhadap pelaku UKM di tiga
sektor industri ini menunjukkan pola persoalan yang berbeda. Industri TPT
memiliki persoalan keterkaitan ke belakang yang lebih banyak dibandingkan
dengan dua industri lain. Dari 15 variabel yang diukur, industri TPT memiliki
hambatan praproduksi di 10 variabel.
Dalam berproduksi, industri TPT menghadapi
persoalan utama terkait ketersediaan bahan baku. Untuk tahun ini saja, Asosiasi
Pertekstilan Indonesia di Jawa Barat menyebutkan industri tekstil pada awal
tahun mengalami kekurangan bahan baku kapas. Penghasil kapas, seperti Amerika
Serikat, China, Pakistan, dan Australia, mengalami kegagalan panen. Juga
terjadi perubahan fungsi lahan dari ladang kapas menjadi ladang jagung. Hal ini
menyebabkan suplai berkurang yang akibatnya tidak hanya dirasakan oleh
Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.
Namun, bukan soal bahan baku itu saja. Masih
ada kendala terkait permesinan yang berumur tua, jenis dan biaya transportasi,
retribusi dan pungutan liar terhadap bahan baku yang menyebabkan ekonomi biaya
tinggi, pemanfaatan teknologi, peran perbankan, ketersediaan energi listrik,
serta regulasi di daerah yang membebani. Hambatan sebelum dan selama
berproduksi inilah yang lebih dirasakan industri TPT ketimbang saat produk
sudah dilempar ke pasar. Setelah proses produksi, relatif perusahaan TPT tidak
menemui hambatan karena produksinya masih mudah diserap pasar, baik pasar
domestik maupun ekspor.
Para pelaku UKM TPT mengakui, perjanjian
perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan China dapat dan telah membuat
rantai produksi terganggu. Impor pakaian jadi meniadakan proses pengolahan.
Namun, produksi lokal masih tertolong karena sejumlah inovasi yang dilakukan
dan adanya momen musiman seperti awal tahun ajaran baru atau hari-hari raya
agama yang membuat permintaan produk masih cukup tinggi.
Persoalan di industri kerajinan, seperti
perak dan ukiran, lain lagi. Meskipun tidak memiliki hambatan keterkaitan ke
belakang sebanyak industri TPT, ia juga mengalami kesulitan utama dalam
penyediaan bahan baku. Namun, kesulitan ini bisa diatasi dengan diversifikasi
bahan baku.
Persoalan di kedua jenis industri kerajinan
ini lebih banyak terkait dengan kegiatan pascaproduksi. Dari 14 variabel yang
diukur, industri kerajinan perak dan ukiran memiliki hambatan pascaproduksi di
10 variabel. Hambatan tersebut menyangkut strategi memasarkan produk, pemenuhan
selera konsumen, pungli dan retribusi saat pemasaran, jumlah konsumen yang
menyusut, serta ketiadaan asosiasi yang bisa memperjuangkan nasib mereka.
Persoalan berbeda yang dihadapi ketiga
industri ini pada dasarnya terletak pada karakteristik produk. Untuk industri
yang produknya termasuk barang tidak tahan lama (seperti tekstil dan
produknya), permintaan pasar cenderung lebih dinamis (elastis).
Dengan
demikian, persoalan pascaproduksi relatif minim. Sementara industri yang
produknya tergolong barang tahan lama, permintaan pasarnya lebih kaku
(inelastis) sehingga persoalan cenderung terletak pada pascaproduksi. Penyerapan
produk sangat ditentukan oleh kondisi daya beli masyarakat.
Pemetaan persoalan seperti ini perlu
dilakukan di seluruh sektor industri untuk mendapatkan solusi yang tepat dan
terarah. Dengan menguraikan persoalan satu demi satu, kebijakan yang diambil
akan lebih tepat sasaran sehingga dapat meningkatkan daya saing industri. ●
(GIANIE/RATNA
SRI WIDYASTUTI/BIMA BASKARA, Litbang Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar