Rawagede:
Menguak Cara Den Haag Berhitung
Joss Wibisono, REDAKTUR
SENIOR SIARAN INDONESIA RADIO NEDERLAND DI HILVERSUM
Sumber : KORAN TEMPO, 13 Desember
2011
Setelah
permintaan maaf dan santunan ganti rugi kasus Rawagede, tibalah saatnya kita
bertanya: mengapa Belanda baru melakukannya sekarang, 64 tahun setelah kejadian?
Mengapa tidak dulu-dulu? Di sini ucapan Liesbesth Zegveld, pengacara sembilan
orang yang menggugat negara Belanda, bermakna penting karena menyiratkan jawabannya.
Kepada
pers Belanda, Zegveld dengan jitu menguraikan hitung-hitungan politis dan
ekonomis Den Haag. Pertama-tama dia menganggap pemerintah Belanda sebenarnya senang
atas keputusan pengadilan yang memenangkan para penggugat. Jumlah mereka
sembilan, tetapi dua meninggal sebelum vonis, dan satu lagi (anak korban) ditolak.
Tinggallah enam orang ahli waris, dan itu adalah jumlah yang mudah diatasi. Makanya,
vonis pengadilan cepat-cepat diterima, Den Haag tidak naik banding dan juga
cepat mencapai schikking alias berdamai dengannya
sebagai wakil para penggugat.
Liesbeth
tidak mau menggunakan kata “murah” karena, baginya, hal itu “tidak cocok” untuk konteks ini. Tapi sebenarnya itulah
yang terjadi, Den Haag tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam tapi tetap bisa memohon
maaf. Dan karena permintaan maaf itu, pamor serta gengsi Belanda naik di pentas
internasional. Terkikislah noda-noda masa lampau yang mencorengi ambisi Belanda
menjadi markas besar pelbagai badan arbitrase internasional.
Kita
tahu, selain Mahkamah Internasional yang antara lain memutuskan Sipadan-Ligitan
sebagai wilayah Malaysia, di Den Haag masih ada pelbagai lembaga peradilan
internasional lain. Mahkamah Pidana Internasional ICC, Tribunal Yugoslavia, dan
Tribunal Sierra Leone, misalnya. Tentunya Den Haag lebih pantas menjadi tuan
rumah pelbagai lembaga internasional itu kalau bersih dari noda masa lampau.
Situs
Tempo.co memberitakan, masih ada 76 kasus kejahatan perang Belanda yang
potensial bisa dibawa ke pengadilan. Salah satunya adalah kasus Raymond
Westerling, kapten keturunan Belanda-Turki yang dianggap bertanggung jawab atas
pembunuhan 40 ribu orang di Sulawesi Selatan. Tapi pada situs yang sama juga ada
berita betapa sulit mengumpulkan korban yang berhasil selamat. Sampai sekarang baru
delapan orang yang berhasil didata.
Di
sinilah duduk masalahnya.Kelak, dalam kasus Westerling, Belanda bisa saja
kembali
kalah di pengadilan. Lagi-lagi Den Haag akan harus meminta maaf dan
membayar
santunan ganti rugi. Tapi berapa orang yang benar-benar akan menerima santunan
ganti rugi? Dari hari ke hari jumlah mereka makin sedikit, sehingga bisa-bisa
Den Haag kelak akan harus meminta maaf saja, tanpa perlu membayar santunan,
karena memang sudah tidak ada lagi korbannya. Permintaan maaf yang gratis,
betapa ini sebuah prospek yang sangat menarik bagi Belanda.
Cara
berhitung seperti ini baru diterapkan dalam masa jabatan Uri Rosenthal,
menteri
luar negeri sekarang yang berasal dari partai konservatif VVD. Sebelumnya, di
bawah Maxime Verhagen, seorang tokoh partai Kristen Demokrat CDA, yang terjadi justru
teguran kepada Koos van Dam. Sebagai duta besar di Jakarta,Van Dam, yang hadir
pada peringatan di Balongsari, Desember 2008,
sebenarnya sudah menyampaikan permohonan maaf. Mungkin ketakutan ditagih
santunan (yang lazimnya memang menindaklanjuti ucapan maaf), Menlu Verhagen
memarahi Van Dam. Tentu bisa kita pertanyakan kualitas iman Verhagen sebagai
seorang politikus partai agama.
Soal
jumlah saksi dan korban yang makin sedikit ini juga berlaku di Belanda. Sebab, di
Belanda, kita tentunya bicara tentang para pelaku, yaitu para veteran yang juga
makin sedikit jumlahnya. Salah satunya, secara anonim dan lewat seorang dokter,
sempat muncul di televisi Belanda, dalam acara Altijd Wat (Ada-ada
Saja) disiarkan akhir Oktober lalu oleh televisi NCRV.Kepada dokter
yang juga veteran dan pernah bertugas di Indonesia, dia mengaku melakukan penembakan
di Rawagede seminggu sebelum 9 Desember 1947, dan menurut dia korban tewas
mencapai 120 orang.Konon kabarnya, veteran ini sekarang sakit keras.
Bisa
jadi dia adalah pelaku terakhir pembantaian Rawagede yang masih hidup. Yang
lain sudah meninggal, termasuk pemimpin tertinggi para veteran Belanda:
Pangeran
Bernhard, ayahanda Ratu Beatrix. Ketika Bernhard masih hidup, sulit dibayangkan
pemerintah Belanda akan bertindak seperti sekarang. Pengungkapan kejahatan perang
di Indonesia sebenarnya sudah terjadi pada 1969 ketika dalam acara Achter
het Nieuws (Di Balik Berita) disiarkan oleh televisi VARA.
Empat
puluh tahun lebih tidak diambil tindakan apa-apa terhadap para veteran
ini.
Lobi mereka memang sangat kuat. Dan aksi mereka juga tak kenal lelah. Salah
satunya, pada awal 1990-an, mereka berhasil memaksa sejarawan Loe de Jong yang
menulis sejarah Belanda selama Perang Dunia Kedua supaya tidak menggunakan
istilah oorlog misdaden (kejahatan perang) bagi tindakan tentara Belanda
di Indonesia dalam buku sejarah Belanda.
Tapi
para veteran ini pun lekang oleh masa. Sejak Pangeran Bernhard tutup usia
pada
Desember 2004, mereka pun kehilangan pengaruh.Keperkasaan mereka patah, lobi
mereka mereda. Tidaklah mengherankan kalau pada 2005 Menteri Luar Negeri Ben
Bot berani menyatakan Belanda secara moral mengakui 17 Agustus 1945 sebagai
kemerdekaan Indonesia. Ben Bot adalah Menlu Belanda pertama yang hadir pada
peringatan detik-detik proklamasi dan peringatan banjir darah di Balongsari.
Sekarang
kita berharap Belanda akan benar-benar mengakui 17 Agustus 1945.
Yang
mungkin tak kita ketahui adalah bahwa keputusan pengadilan Den Haag
pada
14 September itu didasarkan pada dalil bahwa banjir darah Rawagede berlangsung ketika
Indonesia masih merupakan wilayah Belanda. Bagi pengadilan, Indonesia baru
merdeka pada 27 Desember 1949. Tidaklah mengherankan kalau pengadilan berpendapat
negara tidak boleh tidak sewenang-wenang terhadap warganya. Dan walaupun warga
itu adalah penduduk Rawagede, negara mereka bukanlah Indonesia, melainkan
Belanda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar