Agama
dan Sikap terhadap Waria
Abdul Muiz Ghazali, ALUMNUS PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA,
JOGJAKARTA
Sumber
: JIL, 12 Desember
2011
“Kita
membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria.
Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan
dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti
dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah,
bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya.”
Waria dianggap meresahkan. Mereka diusir,
dianiaya, dan dibunuh. Tak jarang pemerintah melalui aparaturnya seperti polisi
dan satpol PP melakukan sejumlah penggerebekan terhadap waria. Tindak kekerasan
dan diskriminasi tak pernah sirna dari kehidupan waria. Peminggiran bahkan tak
hanya terhadap waria, tapi juga terhadap siapa saja yang mendampingi dan
mendiskusikan tentang waria. Dengan demikian, tak banyak orang yang berani
turun tangan mengadvokasi waria. Sebab, waria telah dipandang sebagai
penyimpangan. Waria dianggap sumber maksiat dan kejahatan. Menurut kelompok
kontra waria, Allah hanya menciptakan laki-laki dan perempuan, tidak waria.
Tak satu pun ayat al-Qur’an yang menyinggung
jenis kelamin (identitas seks) selain laki-laki (al-dzakar) dan perempuan
(al-untsa). Tetapi, dalam hadits disebut jenis kelamin lain yang dinamakan
khuntsa, yakni seseorang yang mempunyai alat kelamin ganda (hermaphrodit).
Kitab-kitab fikih telah banyak menyinggung soal hukum khuntsa ini, bahkan fikih
telah mengajukan satu kategori lebih lanjut, yaitu khuntsa musykil, berikut
postulat-postulat hukumnya. Dengan demikian, khuntsa bukan waria karena waria
hanya memiliki satu alat kelamin: penis. Waria lebih tepat dipahami sebagai
seorang laki-laki yang memiliki kecenderungan seksual perempuan. Kondisi
seperti ini dalam hadits dinamakan mukhannats, yaitu laki-laki yang menyerupai
perempuan.
Dalam hadits riwayat ‘Aisyah dikatakan bahwa
seorang mukhannats pernah masuk ke ruangan istri-istri Nabi. Lalu Nabi tak
menginginkannya. Nabi bersabda, “Tidakkah kamu lihat, mukhannats ini mengerti
apa saja yang ada di sini. Maka, jangan masukkan mereka ke rumah kalian”.
Setelah itu, istri-istri Nabi menghalangi mukhannats tersebut jika yang
bersangkutan hendak memasuki rumah. (HR. Muslim). Menghadapi hadits ini,
al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim coba membuat kategorisasi. Yaitu,
mukhannats min khalqin (given) dan mukhannats bi al-takalluf (constructed).
Pada yang pertama, menurut al- Nawawi, mereka tidak tercela dan tidak berdosa.
Bergaul dengan mereka tidak dilarang. Sementara terhadap yang kedua, hukumnya
dosa dan terlaknat.
Setarikan nafas dengan al-Nawawi adalah
pendapat Ibn Hajar. Ia juga membagi mukhannats ke dalam dua bagian: min ashlil
khilqah (tercipta sejak dalam janin) dan bil qashdi (lelaki yang dengan sengaja
memoles dirinya dan berperilaku seperti perempuan). Menurut Ibn Hajar,
jenis pertama tak terlaknat (ghair mal’un) tapi harus tetap diupayakan agar
yang bersangkutan bisa mengubah diri menjadi lelaki sejati. Membiarkan dan merelakan
diri dengan kondisi itu tanpa ada usaha, ia akan tetap mendapat celaan—celaan
sosial juga teologis.
Pandangan al-Nawawi dan Ibn Hajar
“diinspirasikan” oleh firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 5. Dalam ayat ini
dijelaskan bahwa penciptaan manusia itu ada yang sempurna (mukhallaqah) dan ada
yang tak sempurna (ghair mukhallaqah). Mayoritas mufassir memahami ghair
mukhallaqah ini sebagai ketidaksempurnaan secara jasmaniah, baik berupa
keguguran maupun cacat. Ini wajar karena para mufassir hanya melihat apa yang
ada saat itu dan ilmu pengetahuan masih belum berkembang seperti sekarang ini.
Namun, jika memperhatikan penjelasan
kedokteran, kita akan menemukan penjelasan lain. Janin bermula dari zygote,
penyatuan sperma dan ovum. Jika zygote mengandung satu kromosom X dari
perempuan dan satu kromosom Y dari laki-laki, maka ia akan menjadi janin
laki-laki. Sebaliknya, jika zygote terdiri dari kromosom X dari benih laki-laki
dan satu kromosom X dari benih perempuan, maka ia akan menjadi janin perempuan.
Tapi, jika dalam zygote terjadi kombinasi tanpa mengalami pembelahan kromosom,
maka si janin akan mengidap kelainan. Bukan hanya itu, ketika janin berusia
delapan minggu akan tetapi kurang mendapat asupan testoteron ke otaknya,
sekalipun berjenis kelamin laki-laki, maka secara kejiwaan, termasuk orientasi
seksualnya, adalah perempuan.
Itu mungkin yang dimaksud ghair mukhallaqah
dalam ayat tersebut. Sebab, dalam al-Qur’an terdapat penjelasan bahwa ada
sebagian lelaki yang tidak berhasrat secara seksual dan tidak menginginkan
untuk hidup bersama perempuan. Al Qur’an menamakannya sebagai ghair uli
al-irbat min al rijal (QS., 24:31). Waria secara kejiwaan memang tidak memiliki
hasrat untuk membangun rumah tangga dengan perempuan.
Sebaliknya, sebagaimana
perempuan, waria menghendaki membangun rumah tangga bersama laki-laki. Ini
hanya sedikit ayat yang bisa dipakai untuk merespons waria, bahwa waria adalah
seorang lelaki yang sejak dalam janin memiliki “kelainan” otak atau jiwa (ghair
mukhallaqah) yang tidak memiliki hasrat seksual sedikitpun terhadap wanita
(ghair uli al-irbat).
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
kedudukan waria dalam hukum Islam? Bagaimana tentang perilaku seksualnya?
Sama-sama “berkelainan”, waria berbeda dengan khuntsa (hermaphrodit). Waria tak
pernah menjadi diskursus dalam fikih Islam. Misalnya, tentang shalatnya,
zakatnya, hajinya, dan hukum warisnya. Diskursus tentang waria selalu mengarah
pada perilaku seksualnya. Waria (di)identik(kan) dengan sodomi atau liwath.
Tentang sodomi ini, nyaris semua ulama mengharamkannya. Sodomi dianggap sebagai
perilaku seksual abnormal, menjijikkan dan karena itu harus diajuhi.
Dalil yang
menjadi sandaran keharamannya adalah al-Qur’an yang mengisahkan tentang kisah
Nabi Luth (misalnya, QS., 7:80-81; 26:165-166; 27:54-55). Sejumlah hadits yang
mengutuk perilaku kaum Luth juga banyak.
Namun sebagaimana zina, seluruh ulama memberi
satu rambu bahwa tuduhan sodomi memerlukan empat saksi yang masing-masing saksi
melihat dengan mata telanjang masing-masing, hubungan seksual itu dilakukan.
Tanpa ada empat orang saksi, tuduhan itu tidak sah dan penuduhnya bisa mendapat
hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Dengan perkataan lain, menuduh
sodomi kepada waria tanpa menghadirkan empat orang saksi adalah qadzaf, sebuah
tuduhan palsu yang notabene adalah tindak kriminal. Apalagi tak seluruh waria
melakukan praktek sodomi. Tak sedikit di antara mereka, yang memandang bahwa
sodomi adalah kejahatan. Karena itu, menghindari generalisasi terhadap perilaku
seksual waria adalah jalan arif dan bijaksana.
Dalam kasus sodomi banyak waria
mempertanyakan, kenapa hanya waria yang dipersalahkan. Kenapa publik tak juga
menghukum para pria yang datang menghampiri para waria. Di sini tampak adanya
diskriminasi dan ketidakadilan. Sebab, demikian waria beragumen, sodomi itu
mengandaikan dua pihak: waria dan pria yang mendatangi. Para waria juga kerap
bertanya, jika perilaku seksual waria dianggap menyimpang, mengapa orang ramai
tak jua memandang perilaku pria yang menyodomi waria sebagai menyimpang.
Dengan penjelasan-penjelasan ini, kita
membutuhkan tafsir keagamaan yang lebih menghargai dan memanusiakan kaum waria.
Sebagaimana manusia lain, waria juga punya hak untuk mendapatkan perlindungan
dan tidak mendapatkan penindasan. Tak seluruh waria berperilaku seksual seperti
dituduhkan sebagian kalangan. Banyak di antara para waria yang ahli ibadah,
bekerja produktif, berpendidikan tinggi, bermoral baik, dan sebagainya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar