LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 INTERNASIONAL
Ketika
ASEAN Menyelesaikan PR-nya
Sumber : KOMPAS, 19 Desember
2011
Kiprah organisasi negara kawasan Asia
Tenggara, ASEAN, sepanjang tahun 2011—bersamaan ketika giliran Indonesia
mengetuainya—boleh dibilang lumayan ”oke punya”.
Sejumlah ”pekerjaan rumah”, yang dalam
beberapa tahun terakhir sempat dibiarkan menumpuk dan terabaikan, bisa dibilang
beres dikerjakan walau belum bisa sepenuhnya disebut kelar.
Sebut saja kebuntuan seputar pembahasan tata
cara berperilaku dan kode etik antarnegara anggota ASEAN dan China di kawasan
perairan Laut China Selatan. Selain itu, juga terkait upaya ASEAN mengegolkan
penerimaan traktat kawasan bebas senjata nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) dalam
bentuk protokol untuk ditandatangani negara-negara pemilik senjata nuklir (P5).
Belum lagi persoalan urgen dan mendasar lain,
sebutlah masalah yang terkait upaya penuntasan konflik akibat sengketa wilayah
perbatasan, yang memang kerap terjadi antarnegara anggota ASEAN sendiri.
Belakangan konflik perbatasan memang sempat seru terjadi antara Thailand dan
Kamboja.
Insiden tembak-menembak antarmiliter kedua
negara terjadi di sekitar kawasan situs bersejarah Candi Preah Vihear. Sejumlah
korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak.
Salah satu pihak bertikai, Kamboja, beberapa
kali mencoba membawa isu sengketa itu ke tingkat internasional. Namun, beberapa
kali pula, baik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun Mahkamah Internasional
(ICJ), mengembalikan masalah itu agar cukup diselesaikan di level ASEAN.
Hal itu kemudian dianggap menjadi semacam
peneguhan dan pengakuan terhadap peran dan keberadaan ASEAN, termasuk dalam
menangani konflik yang terjadi antarnegara anggotanya sendiri.
Sementara itu, terkait pencapaian ASEAN
seputar isu Laut China Selatan, dalam pertemuan antarmenteri luar negeri ke-44
ASEAN di Nusa Dua, Bali, pertengahan Juli 2011, baik China maupun ASEAN
akhirnya menyepakati garis panduan (guidelines) deklarasi berperilaku (DOC) di
perairan itu,
Kesepakatan dicapai setelah sekitar enam
tahun terakhir pembahasan tentang garis panduan itu menggantung dan hampir
menemui jalan buntu. Kebuntuan itu juga berpengaruh pada kepastian untuk
memulai pembahasan kode etik berperilaku (COC) Laut China Selatan.
Akibat ketiadaan DOC dan COC, semua pihak
yang terlibat tidak punya aturan jelas yang bisa dijadikan pegangan bersama,
terutama jika antarnegara terkait ingin menggelar kerja sama di wilayah
perairan itu.
Sengketa Perbatasan
Insiden akibat sengketa perbatasan memang
kerap dan rentan terjadi antarnegara pengklaim (claimant states). Sengketa
terjadi dan beberapa kali memanas pasca-klaim sepihak China atas seluruh
wilayah Laut China Selatan. Selain berbenturan dengan Taiwan, klaim China juga
memicu ketegangan dengan empat negara anggota ASEAN: Malaysia, Brunei,
Filipina, dan Vietnam.
Situasi bahkan semakin bertambah rumit ketika
sang ”polisi dunia”, Amerika Serikat, seperti biasa ikut campur ”menceburkan
diri” dalam sengketa itu. Pihak AS mengklaim juga punya kepentingan besar dalam
menjaga stabilitas dan keberlanjutan rezim kebebasan bernavigasi di perairan
itu.
Lebih lanjut, begitu ASEAN dan China
menyepakati garis panduan DOC Laut China Selatan, ASEAN dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Ke-19 ASEAN, pertengahan November lalu, langsung melangkah ke tahap
selanjutnya: mulai membahas soal kode etik.
Sukses serupa juga dicapai ASEAN terkait
upaya penerimaan protokol traktat SEANWFZ oleh negara-negara P5. Dalam KTT
Ke-19 ASEAN, pihak ASEAN dan P5 berkompromi atas satu butir yang hingga menit
terakhir masih menjadi ganjalan, terkait zona penerapan.
Beberapa negara anggota ASEAN ingin kawasan
penerapan itu meliputi zona ekonomi eksklusif, sesuai Konvensi Hukum Laut PBB
(UNCLOS) tahun 1982.
Saat ditemui seusai menutup pertemuan rutin
Forum Demokrasi Bali (BDF) IV di Nusa Dua, Menteri Luar Negeri RI Marty
Natalegawa menyatakan, Indonesia sebagai ketua sengaja sejak awal memilih
menuntaskan sejumlah persoalan yang terus dan masih mengganjal.
”Kami sengaja memilih terlibat dalam upaya
memengaruhi suatu perubahan yang tengah berlangsung. Seperti saat ASEAN
berupaya mendorong Myanmar untuk berubah. Tanpa upaya proaktif seperti itu,
kita hanya pasif dan sekadar terkena dampak dari perubahan tanpa mampu ikut
memengaruhi jalannya perubahan tersebut,” kata Marty.
Dalam kesempatan terpisah, Deputi Sekretariat
Wakil Presiden Bidang Politik Dewi Fortuna Anwar mengingatkan ASEAN untuk bisa
mempertahankan kemampuannya dalam menjaga stabilitas, terutama di kawasan.
”Untuk itu ASEAN harus proaktif berupaya
menyelesaikan berbagai persoalan di level internal. Tidak bisa lagi pura-pura
tidak tahu atau tidak peduli seperti pada masa lalu,” ujar Dewi Fortuna Anwar. ● (Wisnu Dewabrata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar