Kemiskinan
dan Kesejahteraan
Samsudin Berlian, PENGAMAT KEADAAN SOSIAL
Sumber : KOMPAS, 7 Desember 2011
Laporan
Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2011 yang belum lama
diterbitkan untuk Program Pembangunan PBB (UNDP) kembali mengingatkan kita akan
beberapa fakta, ilusi, dan pengharapan tentang kemiskinan, pemiskinan, dan
kesejahteraan di Indonesia.
Kesadaran
akan kenyataan konkret dan cita-cita kebangsaan ini sangat menentukan sikap
kita menanggapi beragam umbaran para politikus sekarang tentang penghidupan
rakyat banyak dan kebijakan ekonomi yang diberlakukan dan ditawarkan.
HDR
menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 48,35 juta (20,8 persen) orang miskin
multidimensi, yakni yang diukur menurut indikator penghasilan, pendidikan, dan
usia harapan hidup. Walaupun ini angka besar, jumlah orang miskin sebenarnya
terus berkurang dari tahun ke ta- hun. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia
meningkat dari 0,423 pada 1980 menjadi 0,617 pada 2011, hampir 50 persen dalam
30 tahun, suatu pencapaian yang signifikan dibandingkan dengan banyak negeri
lain.
Kenyataan
ini tetap benar menurut ukuran yang berbeda. Bank Dunia menyatakan, jumlah
orang yang hidup di bawah 2 dollar AS (paritas daya beli) per hari pada 1984
adalah 88,4 persen, dibandingkan dengan 50,6 persen pada 2009, dan yang hidup
di bawah 1,25 dollar AS pada 1984 adalah 62,8 persen, dibandingkan dengan 18,9
persen pada 2009. Persentase orang sangat miskin saat ini menurut BPS lebih
kecil lagi, 13,33 persen, tetapi dengan garis kemiskinan yang terlalu rendah
untuk dianggap serius.
Data
ini membuktikan tiga hal dalam satu generasi terakhir ini. Pertama, orang
Indonesia pada umumnya makin sejahtera secara substansial. Kedua, telah terjadi
pengurangan kemiskinan yang besar. Ketiga, separuh rakyat Indonesia masih
sangat miskin.
Pemerintah
pada umumnya berusaha membesar-besarkan peningkatan kesejahteraan dan
pengurangan kemiskinan itu dengan angka-angka statistik, tetapi cenderung
mengecil-ngecilkan keberadaan orang miskin yang masih sangat besar. Sebaliknya,
politikus oposisi serta pejuang dan pembela orang miskin biasanya menekankan
kenyataan kemiskinan dan menyorot kesenjangan dengan cara mendramatisasi
kepahitan hidup orang miskin dibandingkan dengan kemewahan orang kaya.
Barisan
itu menggugat kemampuan orang kaya menyetir para penyelenggara negara sehingga
mengeluarkan kebijakan yang dianggap hanya menguntungkan mereka dikontraskan
dengan ketidakberdayaan orang miskin yang bahkan dengan demonstrasi, teriakan,
dan air mata jarang mendapatkan kebutuhan, apalagi keinginan mereka.
Fakta
dan Ilusi
Untuk
sampai pada pemilihan kebijakan ekonomi yang benar-benar bijaksana dan
bermanfaat bagi umum serta pada pembukaan mata orang banyak dalam menentukan
pilihan atas calon-calon pemimpin secara cerdas demi kesejahteraan mereka
sendiri, dan pada arah advokasi yang berwawasan kemakmuran jangka panjang universal
oleh organisasi masyarakat sipil (alih-alih demi kemenangan sesaat dan setempat
yang justru bisa menghambat pemajuan ekonomi yang diidamkan), fakta dan ilusi
harus dipisahkan dengan ketat.
Pemerintah
harus secara terbuka mengadopsi garis kemiskinan yang lebih realistis. Angka 2
dollar AS yang dipakai Bank Dunia adalah angka kasar, dan seperti angka-angka
BPS, perlu penjabaran lebih konkret menurut kenyataan kebutuhan hidup setempat.
Namun,
BPS memakai garis yang terkesan direndah-rendahkan, antara di bawah Rp 200.000
dan sedikit di atas Rp 300.000 per bulan per orang sehingga alih-alih
meyakinkan orang akan keberhasilan pembangunan malah menimbulkan keraguan akan
kejujuran pemerintah. Bahwa pa- ling tidak separuh penduduk Indonesia bisa
dianggap miskin dapat dijadikan titik tolak kasar untuk saat ini.
Pemerintah
juga perlu mengakui bahwa kesan kesenjangan (bahkan kalaupun dianggap bukan
persoalan mendasar menurut ilmu ekonomika dan adalah keniscayaan dalam setiap
pertumbuhan ekonomi menuju kemakmuran) bisa menimbulkan ketidakstabilan politik
dan memperlemah rasa persatuan kebangsaan apabila dibiarkan sangat melebar
sehingga wajib ditangani secara khusus dengan kebijakan ekonomi dan politik
yang efektif.
Keberadaan
kantong-kantong kemiskinan, penggerogotan terhadap tanah-tanah adat, dan
perusakan lingkungan hidup dalam sejumlah bentuk yang cenderung merugikan orang
kecil adalah masalah-masalah serius. Penyelenggara peradilan yang cenderung
mudah disuap orang kaya serta korupsi di tingkat menengah yang menjadi fokus
sekarang—demikian pula di tingkat atas dan bawah yang berdampak sangat besar
terhadap kesejahteraan umum—juga masalah yang tak kalah seriusnya.
Selain
kebijakan yang memajukan ekonomi secara keseluruhan, negara perlu secara
khusus, serius, serta meluas memberlakukan dan meneruskan kebijakan yang
targetnya hanya demi pendukungan terhadap orang miskin. Jadi, yang berkurang
tak hanya kesengsaraan hidup mereka (seperti Askeskin dan jaring keselamatan
sosial), tetapi juga mereka mendapat kemudahan melepaskan diri dari kemiskinan
(seperti penaikan batas penghasilan terendah untuk pembayaran pajak dan
penghilangan pemerasan birokratis, legal ataupun ilegal, atas usaha sangat
kecil).
Pernyataan
Bombastis
Sebaliknya,
para politikus oposisi dan organisasi masyarakat sipil pembela kemiskinan perlu
mempertimbangkan ulang kecenderungan mengeluarkan pernyataan bombastis yang
memang bermanfaat menggugah keprihatinan, tetapi berpotensi membawa orang pada
pemilihan jalan keluar yang keliru.
Apabila
orang banyak—bahkan pakar dan ilmuwan—salah percaya bahwa telah terjadi
pemiskinan parah yang meluas, makin banyak orang Indonesia kian miskin dan
rakyat pada umumnya makin tak sejahtera, sementara hanya sedikit orang yang
menarik manfaat dengan curang hingga menjadi kaya raya luar biasa, mereka
mungkin akan mengambil kesimpulan keliru bahwa semua kebijakan ekonomi dalam
beberapa puluh tahun terakhir telah gagal. Dengan demikian, mereka akan
berusaha membuang segala yang baik bersama-sama dengan yang buruk.
Kesadaran
teliti akan fakta dan ilusi ini semoga menolong kita lebih bijak dan cerdas
memilah mana padi mana ilalang, mana pupuk mana racun sehingga dengan
menyingkirkan kebijakan serta pemimpin buruk dan bodoh, dan terus-menerus
mendukung kebijakan serta pemimpin baik dan efektif, seluruh rakyat Indonesia
akan terus bergerak menuju kesejahteraan ekonomi sebagaimana dimandatkan
konstitusi kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar