Partai
Baru Memburu Pemilu
Yunarto Wijaya, PENGAMAT POLITIK & DIREKTUR RISET
CHARTA POLITIKA INDONESIA
Sumber : SINDO, 7 Desember 2011
Suasana kompetisi menuju Pemilu 2014
sudah mulai terasa.Padahal pemerintahan terpilih SBY-Boediono baru berjalan
sekitar dua tahun. Nama-nama calon presiden mulai bermunculan—ada tokoh lama,
ada yang baru.
Semua pihak sepertinya merasa memiliki kesempatan besar mengingat sosok ‘kuat’ elektoral bernama SBY tidak dimungkinkan lagi secara konstitusional untuk mencalonkan diri. Konstelasi menuju perhelatan pemilu legislatif juga tidak kalah panasnya. Muncul beberapa partai baru yang berpeluang meramaikan pemilihan anggota parlemen nanti.
Didasarkan pada pengumuman Kementerian Hukum dan HAM, ada Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang dinyatakan sudah memenuhi syarat sebagai badan hukum, dua partai lainnya, Partai Kemakmuran Bangsa Nusantara (PKBN) dan Partai SRI,masih diberi tenggat waktu untuk memenuhi persyaratan. Fenomena kemunculan partai baru ini selalu menarik untuk dicermati.
Kehadirannya dalam pemilu selalu mengundang berbagai reaksi, dari yang memandang sebelah mata sampai ada yang menjadikannya ‘pelarian’ akibat kecewa terhadap pilihan yang lama. Secara empiris, sejarah elektoral kita pascareformasi memang membuktikan tidak banyak partai baru yang bisa langsung ‘unjuk gigi’.
Prospek Pasar Elektoral
Layaknya produk komersial yang baru diluncurkan, peluang partai baru juga ditentukan oleh seberapa besar pangsa pasar yang belum tergarap oleh para ‘pemain’ lama.Selain itu, kemampuan partai baru untuk menghadirkan diferensiasi juga akan menentukan kuatnya posisi mereka untuk masuk dalam arena kompetisi. Dilihat dari pangsa pasar pemilih, ada beberapa kondisi yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh partai baru.
Tingginya angka swing voters, tingginya angka undecided voters, dan rendahnya tingkat Party ID menunjukkan bahwa hukum pasar masih berlaku. Sebagian besar dari segmen pemilih ternyata masih bisa mengubah pilihannya, termasuk kepada aktor baru yang muncul apabila dirasakan lebih menguntungkan dirinya.
Tingginya angka swingvoters (suara mengambang) misalnya bisa dilihat di survei nasional Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Mei 2011 yang memperlihatkan hanya sedikit partai yang bisa mempertahankan pemilihnya dari 2009 sampai sekarang. Hanya Golkar, PDIP, dan PPP yang berhasil mempertahankan pemilih 2009 sampai di atas angka 70%.
Padahal Pemilu 2009 baru dilakukan belum sampai dua tahun sampai dengan saat survei dilakukan. Kondisi inilah yang bisa menjelaskan mengapa pemenang pemilu legislatif dari tahun 1999 selalu berubah. Bisa dikatakan, tidak ada satu partai yang bisa mengklaim bahwa mereka memiliki captive market yang bersifat solid dan loyal. Selain itu, beberapa hasil survei juga menunjukkan bahwa pemilih kebanyakan masih belum menentukan pilihannya terhadap salah satu partai.
Undecided voters masih menjadi ‘partai’ pemenang survei. Masih dalam survei nasional LSI bulan Mei 2011, pemilih yang belum menentukan pilihan masih berada di angka 29,6%,jauh lebih tinggi dibandingkan semua partai yang menjadi pilihan. Tingkat loyalitas pemilih juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh partai-partai selama ini.Tingkat Party ID (perasaan kedekatan dengan partai) hanya berkisar di angka 20-30 persen.
Angka ini jauh di bawah tingkat Party ID di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia yang pemilihnya cenderung sudah lebih solid dalam menentukan pilihan. Kondisi ini tidak serta-merta akan menguntungkan partai baru secara elektoral.Peluang ini hanya bisa dimanfaatkan dengan kejelian partai dalam menampilkan diferensiasi yang bisa menjawab kekecewaan pemilih selama ini.
Diferensiasi ini bisa berupa brand, kebijakan dan pesan politik yang tentu saja orientasinya adalah konsumen (Lees-Marshment, 2001). Brand di sini bukan hanya terbatas pada institutional branding sebagai sebuah partai,tapi perlu diimbangi pula dengan variabel personal branding yang berfungsi sebagai magnet elektoral.
Bisa dilihat bagaimana kekuatan personal branding seorang SBY,Prabowo,dan Wiranto bisa menjadi faktor pendongkrak Partai Demokrat, Gerindra, dan Hanura dalam keikutsertaan mereka sebagai partai baru dalam pemilu. Selain itu variabel ‘infrastruktur politik’ juga masih sangat berpengaruh buat partai melakukan penguasaan secara elektoral di tingkat daerah.
Jaringan tokoh-tokoh daerah yang mengakar akan menjadi saluran informasi yang paling baik bagi partai baru untuk bisa menyampaikan kebijakan dan pesan politik untuk merebut hari pemilih (O’Shaughnessy, 2001).
Hambatan Sistem
Di luar segala peluang yang terbuka lebar,partai baru juga akan menghadapi beberapa tantangan teknis ataupun sistemik. Sudah menjadi sebuah konsekuensi yang harus diemban bahwa partai baru akan lebih sulit beradaptasi dengan aturan-aturan pemilu yang ada. Seperti kita ketahui, DPR sedang menggodok revisi UU pemilu legislatif yang baru sampai beberapa bulan mendatang.
Disinyalir akan muncul revisi yang akan menaikkan angka parliamentary threshold (PT) dan pengecilan jumlah kursi per daerah pemilihan yang tentu saja akan lebih menguntungkan buat partai besar secara elektoral. Naiknya ambang batas dan pemberlakuan PT sampai di level DPRD provinsi dan kabupaten/ kota akan menghadapkan partai baru dalam ‘zero-sum game’.
Kegagalan mencapai persyaratan PT akan memberangus suara partai sampai ke level daerah. Sementara itu pengurangan jumlah kursi per daerah pemilihan akan berdampak pada ‘pengetatan’ sistem kompetisi per daerah pemilihan. Masih banyak permasalahan lain yang akan menjadi tantangan buat partai baru untuk bisa tampil eksis di Pemilu 2014 nanti.
Tantangan yang tidak bisa sekadar dikeluhkan dan harus diatasi apabila memang target mereka adalah membuat perubahan besar, bukan sekadar menjadi kembang penghias pemilu semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar